"Argh, sial!" Apa yang kalian berdua lakukan, hah!? Kurang ajar sekali--"
"Shut! Dilarang memaki." Pelangi meletakkan jari telunjuk di depan bibirnya, meminta Gilang untuk diam. "Anda ini seorang atasan, Pak, jangan sembarangan bicara. Kalau orang lain dengar maka reputasi Anda akan hancur."
Gilang meringis mendengar perkataan Pelangi. Menurutnya gadis itu terlalu ikut campur, hanya karena ia pernah menyelamatkan gadis itu sekali, lantas membuat gadis itu bersikap sok akrab kepadanya.
"Siapa namamu?" tanya Gilang.
"Saya. Oh, saya merah, kuning, hijau, di langit yang biru, Pak." Pelangi terkekeh.
Gilang menatapnya dengan tatapan aneh. "Kamu waras? Tingkahmu aneh sekali."
"Tentu saya waras. Apa Bapak tidak lihat? Saya ini sehat dan waras."
"Baiklah, Merah kuning hijau di langit yang biru, cepat keluar dari mobil saya. Sebelum saya mulai berpikir untuk memecatmu!"
"Hah, pecat!" Wajah Pelangi seketika menjadi pucat. Kemudian tanpa mengatakan apa pun lagi, ia segera keluar dari mobil mewah itu dan berlari menjauh. Ia sungguh tidak ingin dipecat.
"Dasar, gadis aneh!" desis Gilang.
"Tapi, dia lucu juga." Toni tertawa melihat gadis itu berlari tanpa menoleh ke belakang, menuju gudang yang terletak tidak jauh dari bangunan utama.
"Kamu suka padanya? Pacari saja dia, kalian serasi kok."
"Ah, Bapak bicara apa." Toni kembali bersikap serius.
"Ck, jika kita sedang berdua saja jangan panggil aku dengan sebutan itu, Toni. Aku merasa tua sekali, padahal kita ini seumuran. Santai kah dan tanggalkan sikap sok seriusmu itu."
Toni terkekeh. "Baiklah, Gilang, aku hanya terlalu terbiasa. Sekarang mau ke mana kita. Biar aku antar."
"Mari kita ke apartemen Gisel."
"Gisel? Bukankah kalian sudah menghabiskan waktu bersama semalaman, segitu cepatnya kamu merindukannya," ucap Toni sembari menjalankan mobil itu keluar dari area perkantoran.
"Dia itu candu bagiku. Mau bagaimana lagi. Aku berniat akan segera melamarnya."
"Lagi? Bukankah kamu sudah melamarnya ratusan kali--"
"Ckck, jangan berlebihan." Gilang memotong ucapan Toni.
"Ya, tidak ratusan, tapi ribuan!" seru Toni. "Apa kamu tidak lelah terus-terusan melamarnya, hah?"
"Tidak. Lagi pula dalam waktu dekat ini aku memang harus menikah. Jika aku tidak segera meminta Gisel untuk menikah denganku, maka ayah yang akan mencarikan pengantin wanita untukku. Jelas aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi," jelas Gilang.
Toni mengerutkan dahinya, seolah ragu bahwa apa yang Gilang rencanakan kali ini akan berhasil. Gisel itu sudah sering sekali mendapat lamaran dari Gilang, tetapi tidak pernah sekalipun Gisel menerima lamaran pria itu. Entah karena memang Gisel belum siap atau memang Gisel tidak ingin melanjutkan hubungan mereka ke jenjang yang lebih serius. Hanya Gisel yang tahu.
"Jangan memasang wajah jelek seperti itu, Toni. Do'akan saja agar lamaranku kali ini berhasil."
***
Pelangi menendang batu krikil yang terlihat menghalangi jalannya. Walaupun sebenarnya ia bisa mengambil jalan lain tetapi tidak ia lakukan. Gadis berkacamata itu masih kesal akan sikap Gilang yang memintanya untuk keluar dari dalam mobil tadi. Padahal kesempatan seperti itu jarang sekali terjadi, tetapi bosnya yang tampan itu malah bersikap dingin kepadanya. 'Ah, tidak apa, yang penting aku tadi bisa memeluknya tadi,' batin Pelangi.
Saat ini pelangi sedang menuju kediamannya yang berada di sebuah gang kecil. Letaknya memang tidak terlalu jauh dari kantor, tetapi tetap saja melaluinya akan terasa jauh sekali.
Gang itu lumayan panjang, dengan tembok tinggi sebuah pabrik di samping kanan dan kirinya. Pada setiap bagian tembok terdapat banyak gambar hingga coretan yang bentuknya jauh dari kata indah. Beberapa bahkan memperlihatkan gambar tidak senonoh yang seharusnya tidak diperbolehkan untuk digambar di tempat umum seperti itu. Pada siang hari mungkin gang itu akan terlihat biasa saja. Namun, pada malam hari jelas sekali gang itu akan terlihat sangat menakutkan dan juga berbahaya.
Seperti saat ini, saat matahari mulai merangkak turun. Suasana di sekitar gang itu terlihat mengerikan. Membuat Pelangi merasa tidak nyaman dan tidak aman. Gadis itu memutuskan untuk berlari tepat saat ia menendang krikil terakhir yang menghalangi jalan, hingga dirinya tiba di ujung gang dan mulai terlihat beberapa rumah warga barulah ia menghentikan larinya dan mulai mengatur napas. Bukan hantu yang Pelangi takutkan, tetapi preman-preman yang sering bersantai di sekitaran gang itulah yang terlihat lebih berbahaya dibandingkan hantu.
Pelangi mengelus dada sambil melanjutkan langkahnya menuju rumah kontrakan kecil yang berada di ujung jalan.
"Pelangi!" Teriakan seorang wanita membahana, merusak suasana hening khas senja hari yang tenang.
Pelangi menepuk keningnya. Sebenarnya Pelangi sungguh ingin melarikan diri, tetapi saat sosoknya telah benar-benar terlihat oleh wanita yang tengah berdiri di teras kontrakannya, bukankah rasanya akan tidak sopan sekali?
Maka dengan langkah gontai Pelangi menghampiri sosok gemuk dan menor itu.
"Aku punya informasi baru!" wanita yang bernama Popy itu melemparkan gulungan kertas ke arah Pelangi, yang ditangkap pelangi dengan sigap.
"Apa ini?" tanya Pelangi terlihat penasaran.
"Lowongan pekerjaan."
"Tapi 'kan aku sudah kerja, Tente Popy."
Wanita bernama Popy itu berdecak. Wajahnya terlihat kesal. "Hanya melakukan satu pekerjaan mana bisa melunasi utangmu, La! Kamu itu harus ulet agar utangmu cepat lunas. Kalau malas-malasan mana bisa lunas!" sinisnya.
"Mana bisa lunas kalau bunganya semakin hari semakin bertambah," gumam Pelangi dengan wajah tertunduk. Sibuk memperhatikan kertas yang tadi dilemparkan kepadanya.
"Apa katamu?" tanya Popy.
"Ah, tidak apa-apa."
"Pekerjaan itu pekerjaan bagus. Gajinya juga lumayan. Dengan gaji sebanyak itu, kamu dapat membayarku dengan jumlah lebih."
Mendengar kata gaji, membuat pandangan Pelangi terfokus pada nominal yang tertera pada kertas itu.
"Wow," gumamnya lagi.
Popi tertawa. "Benar, 'kan?"
Pelangi mengangguk. "Hotel Blossom."
***
Gisel menggeliat manja di atas ranjang berukuran King Size sebuah hotel bintang lima. Perlahan ia bangkit, berniat untuk menarik selimut agar menutupi tubuhnya yang tidak mengenakan sehelai benang pun. Akan tetapi, sebuah tangan menariknya, membuat tubuhnya kembali berbaring dalam dekapan pria itu.
"Eeem," gumam Gisel, saat pria yang tengah memeluknya dari belakang itu mulai kembali mendaratkan kecupan di bagian belakang lehernya, membuatnya kegelian setengah mati.
Baru saja ia hendak membalikkan tubuh dan membalas kecupan dari pria tampan itu, tiba-tiba poselnya berdering.
"Jangan diangkat," pintar si pria.
"Tidak bisa, Sayang. Ini penting," jawab Gisel, sambil meletakkan jari telunjuknya di bibir, meminta si pria diam untuk sementara.
"Ya, halo, Sayang. Em ... aku sedang di salon. Oh, kamu di rumah! Baiklah, sebentar lagi aku pulang." Gisel menutup panggilan teleponnya. "Aku harus pulang, Sayang. Gilang ada di rumah," ujar Gisel, menatap pria di sampingnya dengan tatapan menyesal.
Pria bernama Alex itu kemudian berdecak kesal. "Ya, mau bagaimana lagi. Pulanglah!"
"Jangan marah. Besok kita bertemu lagi." Gisel mengecup singkat bibir Alex, sebelum akhirnya ia bangkit untuk mengenakan pakaian.
"Putuslah dengannya, Gisel," pinta Alex.
"Tidak semudah itu, Sayang. Ada sesuatu yang harus aku selesaikan dengannya. Lagi pula, dia itu ATM berjalanku."
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 194 Episodes
Comments
Laila Umami
💪💪💪
2022-06-18
0
usi Susi💐
lanjutkan 💞
2021-11-01
0