Gilang menatap gadis di hadapannya dengan iba. Pria tampan berperawakan tinggi itu memang memiliki sifat yang tidak tegaan. Sebenarnya bisa saja ia menyentakkan kakinya dari tangan si gadis cupu berkacamata itu, kemudian pergi meninggalkannya seorang diri, tetapi ia sungguh tidak tega melakukan hal seperti itu, apalagi gadis itu baru saja mengalami kejadian yang mengerikan.
"Bangunlah, aku akan mengantarkanmu pulang," ujar Gilang setelah beberapa saat.
"Tapi, Pak, Anda ada janji makan malam dengan Nona Gisel." Toni dengan cepat menyela ucapan Gilang. "Sekarang saja kita sudah sangat terlambat."
Gilang melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. "Tidak masalah terlambat sedikit lagi. Ayo cepat bangun!" pinta Gilang pada Pelangi yang masih memeluk kedua kakinya.
Mendengar ucapan Gilang, Pelangi segera bangkit dari posisi duduknya. Gadis berkacamata itu kemudian mengusap bulir dari sudut matanya dan menatap Gilang dengan malu-malu, sebelum akhirnya mengucapkan terima kasih.
Gilang hanya mengangguk, sementara Toni menatap Pelangi dengan sinis. Karena ulah gadis itu bisa-bisa Tuannya dan Gisel kembali terlibat pertengkaran yang tidak penting!
Mereka berjalan beriringan menuju basement di mana mobil Gilang terparkir.
Gilang dan Toni berjalan dengan langkah cepat, sehingga Pelangi kesulitan mengejar langkah kedua pria yang ada di depannya. Pelangi memang tidak mengatakan kepada Gilang dan juga Toni bahwa kakinya terkilir. Pelangi tidak ingin membuat kedua pria itu semakin kerepotan, diantarkan pulang saja ia sudah bersyukur, tidak mungkin 'kan ia minta digendong juga.
"Katakan padanya untuk lebih cepat, Toni," ujar Gilang pada Asistennya, saat ia menyadari bahwa gadis yang ia tolong ternyata tertinggal jauh di belakang.
"Cepatlah!" Toni berteriak kepada Pelangi sambil menunjuk arloji yang ada di pergelangan tangannya.
Pelangi mengangguk, kemudian dengan susah payah ia mempercepat langkahnya, menyusul kedua pria dingin yang telah berjalan jauh di depannya.
Beberapa menit kemudian, Pelangi telah duduk dengan nyaman di kursi belakang mobil mewah milik Gilang. ia sungguh tidak percaya jika Gilang benar-benar akan mengantarkannya pulang dan mereka sedang di dalam kendaraan yang sama sekarang.
Selama ini Pelangi hanya bisa menatap Gilang dari jauh. Pria itu memang sosok yang sangat menarik, dengan tinggi sekitar 170 cm, kulit putih bersih, tatapan tajam, hidung mancung dan rambutnya berwarna hitam legam, tidak heran jika banyak yang mengaguminya. Tidak terkecuali Pelangi.
Namun, Pelangi cukup sadar diri untuk tidak ikut heboh seperti gadis-gadis lainnya di kantor, saat mereka melihat direktur muda itu melintas di lobi atau pun saat berpapasan dengannya di koridor. Pelangi memilih untuk menundukkan wajah dan menyingkir. "Aku hanyalah seorang babu, bisa apa aku," gerutunya setiap melihat segerombolan karyawan wanita menyapa Gilang dengan ramah.
Akan tetapi, sekarang di sinilah ia, duduk berdampingan dengan pria paling tampan yang pernah dilihatnya. Sungguh sulit untuk dipercaya.
"Te-terima kasih, Pak," ucap Pelangi, berusaha untuk mengurai keheningan yang menyergap.
Sejak tadi tidak ada satu pun di antara mereka yang berbicara. Gilang terlalu sibuk dengan ponselnya, sementara Toni terlihat serius mengemudi sambil menikmati musik dari earphone yang terpasang di kedua telinganya. Pelangi sungguh tidak merasa nyaman dengan keadaan itu, itulah sebabnya ia mencoba untuk membuka obrolan. Barangkali saja ia bisa berkenalan dengan lebih dalam pada bos yang sangat ia idolakan itu.
"Pak, Terima kasih!" seru Pelangi lagi. Kali ini nada suaranya sedikit lebih nyaring, karena ucapan sebelumnya tidak mendapat respon dari Gilang. Ia pikir bosnya itu tidak mendengar ucapannya,karena suaranya yang terlalu pelan. Akan tetapi, kali ini pun sama, Gilang masih serius menggerakkan jemarinya dengan lincah di atas layar benda pipih yang ada di tangannya.
Pelangi mengerjap bingung. 'Mungkin suaraku kurang nyaring. Harus lebih nyaring lagi,' batinnya. Kemudian ia berdeham dan berteriak, "Pak Bos, terima kasih, Pak!"
Kali ini berhasil. Gilang dan Toni sama-sama terkejut. Toni bahkan menghentikan mobilnya secara mendadak. Membuat wajah Gilang dan Pelangi menghantam sandaran kursi yang ada di depan mereka dengan keras.
"Oh, Astaga!" Gilang menyentuh dahinya, lalu beralih menatap Pelangi dengan sebal. "Ada apa?" tanya Gilang.
Pelangi yang sibuk membenarkan letak kacamatanya segera balas menatap Gilang. Ia tidak ingin kehilangan kesempatan untuk mengucapkan terima kasih kepada pria itu. "Saya tadi bilang terima kasih, Pak Bos. Terima kasih banyak karena telah--"
"Hanya itu?" Gilang memotong ucapan Pelangi.
"Iya, sebenarnya lebih panjang, saya--"
"Jika bukan hal penting kenapa harus berteriak?" Gilang lagi-lagi memotong ucapan gadis berkacamata itu. Gilang kemudian memerintahkan Toni untuk melanjutkan perjalanan, setelahnya pria itu terlihat kembali sibuk dengan ponselnya. Tidak sedikitpun ia terlihat peduli pada Pelangi yang menatapnya dengan kecewa. "Oh, ya, katakan kepada Toni di mana alamatmu," ucap Gilang kemudian, lalu suasana di dalam mobil itu kembali hening seperti sebelumnya.
Pelangi menghela napas dengan berat sebelum akhirnya mengatakan kepada Toni alamat rumahnya dengan cepat dan tentu saja dengan setengah berteriak. Ia sengaja melakukanya demi menarik perhatian Gilang, dan ia sukses, pria itu kembali menatapnya dengan malas sebelum akhirnya mendengkus dengan kesal.
Tidak terlalu sukses sebenarnya!
***
"Gisel, maaf, Sayang. Aku sungguh minta maaf, aku sedikit terlambat." Gilang berlari menghampiri Gisel begitu mobilnya berhenti tepat di depan restoran Jepang.
wanita cantik dengan rambut sepanjang bahu dan tubuh bak model internasional itu menatap Gilang dengan tatapan tidak percaya. Bagaimana bisa Gilang mengatakan 'sedikit terlambat' padahal restorannya saja sudah akan tutup.
"Sedikit katamu? Oh, astaga, yang benar saja, Gilang," ucap Gisel dengan sinis. "Minggirlah, aku mau pulang!" Gisel kemudian mendorong tubuh Gilang dari hadapannya. Ia sungguh kesal karena kekasihnya itu selalu saja datang terlambat setiap mereka membuat janji. Menyebalkan!
Gilang meraih tangan Gisel, berusaha menahan gadis cantik itu agar terus bersamanya. Ia memang terlambat untuk memenuhi janji makan malam dengan Gisel, tetapi bukankah masih banyak yang mereka bisa lakukan selain hanya sekadar makan malam. "Tunggu, Sayang. Kenapa harus marah?" tanya Gilang.
"Bagaimana tidak marah, Gilang. Aku menunggumu hingga kelaparan!" teriak Gisel.
"Kalau begitu izinkan aku untuk membuatmu kenyang. Kenyang akan kasih sayang," bisik Gilang di telinga Gisel. "Kamu tinggal pilih, ingin berbelanja sepatu, tas, atau pakaian. Akan aku turuti semua keinginanmu, Sayang."
"Tapi ini sudah malam, Gilang. Semua toko sudah tutup!" gerutu Gisel.
Gilang berdecak lalu menarik tubuh ramping Gisel ke dalam pelukannya. "Kalau begitu semua agenda itu bisa kita lakukan besok. Sekarang bagaimana kalau kita menghabiskan waktu berdua sambil membuat daftar tempat apa saja yang ingin kamu kunjungi besok."
Gisel mengerti apa yang diinginkan oleh Gilang jika sudah begitu. Maka gadis itu tersenyum nakal dan menarik dasi yang dikenakan oleh Gilang. Membuat wajah Gilang semakin dekat dengan wajahnya. "Baiklah, mari kita habiskan waktu berdua malam ini."
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 194 Episodes
Comments