"Serius semalam kamu ditolongin sama Pak Gilang, La? Terus, terus, gimana kelanjutannya?" Amara terus menempel pada Pelangi sejak gadis itu menceritakan apa yang terjadi semalam kepada dirinya. Bagaimana dirinya harus mengalami tindakan tidak menyenangkan dari Radit dan kawan-kawannya, hingga akhirnya Gilang datang untuk menolongnya.
"Kelanjutan apanya? Aku 'kan sudah berkali-kali bilang, setelah menolongku, aku lantas meminta untuk diantar pulang--"
"Dan Pak Gilang benar-benar mengantarmu pulang?" Amara kembali mengajukan pertanyaan yang telah berkali-kali ia tanyakan kepada Pelangi. Seolah ia tidak percaya akan ucapan Pelangi. Mana mungkin seorang direktur mau memberikan tumpangan kepada seorang babu. Begitulah yang ia pikirkan.
"Iya. Astaga, sudah berapa kali kukatakan, Ra, aku sampai bosan tahu."
"Terus, terus, gimana--"
"Hai kalian berdua. Kerja yang benar. Kerja kok gosip terus. Apa kalian mau saya aduin ke bos. Biar kalian berdua dipecat! Heran deh, kok suka sekali makan gajih buta!"
Pelangi dan Amara sontak terdiam begitu rekan kerja mereka yang juga seorang senior mengomeli mereka dengan sengit. Saat ini Pelangi dan Amara memang sedang membersihkan koridor lantai tiga. Masing-masing dari mereka memegang alat pel, tetapi bukannya membersihkan lantai dengan benar, justru kedua sahabat itu terlibat obrolan seru tentang si direktur tampan. Membuat mereka berdua akhirnya mendapat teguran.
"Amara, setelah ini naiklah ke lantai dua belas. Semprot kaktus di ruangan Pak Gilang. Dia selalu berpesan agar tidak lupa untuk menyemprot kaktus kesayangannya itu!"
"Lantai dua belas! Ruangan Pak Gilang? Biar aku saja. Biar aku!" Pelangi terlihat bersemangat. Tanpa menunggu aba-aba selanjutnya, ia segera berlari menuju lift, bahkan tanpa meninggalkan alat pel yang sejak tadi dipegangnya.
Sesampainya di lantai dua belas, Pelangi segera menuju ruangan Gilang. Ruangan berpintu kaca yang terlihat elegan itu terlihat masih sepi. Wajar saja karena sekarang memang masih pagi, belum juga jam delapan pagi. Hanya Office Boy dan Office Girl yang terlihat berseliweran ke sana-kemari membawa alat-alat perangnya.
Pelangi mendorong pintu kaca yang bertuliskan 'Ruang Direktur" sambil tersenyum bahagia. Tanpa membuang-buang waktu, Pelangi segera mengambil semprotan kecil yang ada di pojok ruangan lalu menyemprotkan cairan bening itu pada kaktus mini dan juga sekulen yang tertata rapi pada rak yang terdapat di samping jendela.
"Siapa sangka ternyata dia suka tanaman-tanaman seimut ini," gumam Pelangi. Setelah selesai menyemprot tanaman-tanaman mini itu, Pelangi segera bersiap untuk keluar dari ruangan itu. Namun, langkahnya terhenti saat ia melihat potret yang terdapat pada sebuah bingkai berwarna silver.
Pelangi meraih bingkai itu dari atas meja dan mendapati bayangan dirinya terpantul dari kaca bingkai. Ia terlihat sangat sederhana, mendekati buruk rupa malahan, jika dibandingkan dengan sosok cantik yang terdapat di dalam potret itu.
sosok berambut panjang itu bak seorang dewi. Jika dibandingkan dengan dirinya tentu saja tidak sebanding. Ia dan gadis di dalam potret itu bagaikan langit dan bumi.
"Kekasihmu, ya?" tanya Pelangi, sambil menyentuh potret gadis cantik itu yang tak lain adalah Gisel.
***
Gilang menyembulkan kepala dari balik selimut untuk melirik jam beker yang terletak di atas nakas.
"Sial, terlambat!" keluhnya, saat mendapati jarum pendek jam itu menunjuk pada angka sembilan. Ia segera keluar dari dalam selimut, meninggalkan kenyamanan surgawi di sana. Gisel menggeliat begitu Gilang menjauh dari tubuhnya.
"Sayang, kenapa buru-buru?" tanya Gisel dengan suara manja yang memabukkan.
Melihat gadisnya masih berbaring di atas tempat tidur tanpa busana membuat Gilang ingin kembali melompat menghampiri Gisel. Namun, bayangan akan ruang rapat di kantor membuat ia mengurungkan niatnya.
"Aku ada rapat, Sayang. Aku harus tiba sebelum jam setengah sepuluh," jawab Gilang, sembari mengenakan pakaiannya dengan terburu-buru.
Gisel hanya mengedikkan bahu lalu kembali memejamkan mata. Ia masih mengantuk sekali. Semalaman Gilang tidak membiarkan dirinya untuk beristirahat. Ada saja yang diperbuat pria itu sehingga ia tidak bisa memejamkan mata barang sedetik saja. Ia benar-benar kerepotan jika menghadapi Gilang yang ganas itu.
"Aku berangkat!" Gilang menghampiri Gisel dan mengecup singkat bibir ranum gadis cantik itu.
"Bagaimana dengan tas, sepatu dan gaun yang kamu janjikan? " tanya Gisel.
"Setelah aku pulang dari kantor, kita akan langsung belanja--"
"Berikan saja aku kartumu, Cinta." Gisel memotong perkataan Gilang, lalu mengulurkan tangan kepada pria itu sambil mengedipkan mata dengan genit.
"Baiklah, Nona!" Gilang kemudian mengeluarkan kartu persegi berwarna hitam dan menyerahkannya kepada Gisel.
Gisel segera meraup kartu hebat itu dari tangan Gilang dengan senyum mengembang.
***
Satu jam kemudian Gilang telah tiba di kantor. Ia melangkah dengan cepat diikuti oleh asistennya yang sejak tadi menuggu kehadirannya di lobi.
"Dari mana saja, Pak. Anda terlambat satu jam!" ujar Toni dengan cemas.
"Aku sibuk dengan Gisel." Gilang menjawab singkat sambil terus melangkah menuju lift. "Apa rapatnya sudah dimulai?" tanyanya pada Toni.
"Rapatnya dibatalkan, Pak, " jawab Toni.
"Diundur maksudmu?" Gilang kembali bertanya kepada Toni.
"Tidak, Pak. Rapatnya benar-benar dibatalkan dan tender kita lepas."
Gilang menatap Toni dengan tatapan tidak percaya. "Kamu pasti bercanda. Sungguh ini tidak lucu, Toni."
Toni menghela napas dengan berat. "Aku tidak bercanda, Pak. Ayah Anda menunggu Anda di ruangannya."
"Tidak mungkin!" keluh Gilang sambil mengusap wajahnya dengan kasar.
Beberapa saat kemudian, Gilang sudah berada di depan ruangan sang Ayah. Gilang kemudian mengetuk pintu kaca yang ada di hadapannya sebelum ia masuk ke dalam ruangan itu.
"Masuklah!" terdengar suara dari dalam ruangan.
"Apa aku harus masuk juga, Pak?" tanya Toni yang melihat kecemasan di wajah Gilang.
"Tidak perlu. Tunggulah di sini. Biar aku saja yang menghadapi kemarahan Ayah," ucap Gilang. Ia kemudian mengatur napas dan segera melangkah memasuki ruangan itu dengan mantap.
Ruangan ayahnya dua kali lebih besar dari ruangannya dan juga lebih nyaman pastinya. Mengingat sang ayahnya adalah orang nomor satu di perusahaan itu, maka tidaklah terlalu mengherankan jika semua barang-barang di ruangan ayahnya terlihat mewah dan berkelas.
Farhan Andreas terlihat duduk dengan kaku di atas singgasananya. Sorot matanya menatap Gilang dengan datar tanpa ekspresi. Sulit untuk ditebak apakah ia marah atau tidak atas pembatalan kerjasama yang baru saja terjadi karena ulah putra satu-satunya.
"Dari mana saja kamu, Gilang?" tanyanya, begitu Gilang duduk di kursi yang ada di hadapannya.
"Maaf, Ayah." Hanya itu yang bisa Gilang katakan.
"Ini bukan masalah permintaan maaf, tetapi masalah tanggung jawab. Kapan kamu benar-benar bisa menjadi pribadi yang bertanggung jawab atas tugas-tugasmu, Gilang. Jika seperti ini terus, aku yakin setelah satu bulan aku pensiun, perusahaan pasti akan mengalami kerugian besar."
"Ayah jangan berkata seperti itu," ucap Gilang.
"Lalu apa yang harus aku katakan? Hal seperti ini bukan pertama kali terjadi, Gilang. Sebelumnya kamu juga melakukan hal yang sama!"
Gilang hanya diam mendengarkan setiap ocehan Farhan. Bagaimanapun juga yang dikatakan ayahnya itu benar. Ia sering sekali mengacau.
"Apa kamu menghabiskan malam dengan Gisel, itukah sebabnya kamu menjadi terlambat?" tebak Farhan sambil menatap tajam putranya.
"Iya, Ayah."
Farhan kemudian mengelus dagunya. Pria tua itu terlihat sedang serius memikirkan sesuatu.
"Gilang, tahukah kamu bahwa ada satu hal yang bisa melatihmu agar terbiasa menjadi sosok yang bertanggung jawab," ucap Farhan kemudian.
"Apa itu, Ayah?" tanya Gilang berpura-pura bodoh. Padahal ia tahu apa maksud Farhan dan ia pun sudah berkali-kali mengutarakan niat baik tersebut kepada Gisel, tetapi Gisel selalu menolak dengan berbagai alasan.
"Menikah," ucap Farhan dengan serius. "Menikahlah dengan Gisel dan belajarlah menjadi sosok yang bertanggung jawab, Gilang. Aku tidak akan memberikan perusahaan ini kepadamu jika kamu tidak menikah."
"Tapi, Ayah, menikah itu bukan hal yang mudah. Aku sudah sering meminta Gisel untuk menikah denganku, tetapi--"
"Tetapi dia selalu menolak." Farhan memotong ucapan Gilang. "Bukan dengan Gisel juga tidak apa-apa."
"Apa maksud, Ayah? Aku hanya akan menikah dengannya, kami saling mencintai."
Farhan tertawa. "Saling mencintai. Kamu yakin? Gisel selalu menolak lamaranmu , apa itu yang dinamakan cinta. Pikirkan dengan baik, Gilang. Jangan menutup mata dari segala kemungkinan. Bersiaplah untuk mencari pengantin wanita."
Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 194 Episodes
Comments