Dewi menjatuhkan tubuhnya di sofa setelah meminta Tutik membatalkan semua janji hari ini. Ia termenung mengingat peristiwa semalam, dalam benaknya dipenuhi banyak tanda tanya tentang pembantu perempuan dokter Pam, gadis kecil yang cantik itu, dan kata-kata yang samar-samar didengarnya saat sakit kepala menyerangnya. Dan anehnya, rasa sakit itu menghilang dengan cepat saat ia masuk ke kamarnya.
Sepertinya hal itu cukup menyita perhatiannya, sampai ia tidak menyadari kehadiran seseorang dalam kantornya. Dewi menoleh saat mendengar namanya dipanggil. Begitu melihat wajahnya Dewi terhenyak, ia bangun dari sofa dan berdiri menyambutnya.
“Bapak, sugeng rawuh”, sapa Dewi kepada Pak Harto, laki-laki separuh baya yang berdiri di depannya.
“Piye kabarmu nduk cah ayu? Wes suwe kowe ora mulih ngidul, apa ora kangen karo bapak”, tanya Harto itu kepada Dewi.
“Nggih kangen tho pak, ning dereng saget mantuk. Dereng saget nyopir dewe”, jawab Dewi sambal mempersilahkan Harto, lelaki tua yang disebut bapak oleh Dewi.
“Ough ngunu tho, lha mbok ngomong apa njaluk tulung Dar, kon ngeterke. Mengko yen arep bali tak ngomong Pur, ben ngeterke mulih,” sambung Pak Harto sambil duduk di sofa dekat Dewi. “Apa ngene, aku tak mampir rene wae, suk yen ana garapan neng kene. Sisan karo ibumu. Soale, ibumu mung tokan-takon wae nganti bingung leh ku
gawe alesan”.
“Nggih pak, ngoten nggih sae,” jawab Dewi dengan takjim.
Tak lama setelah itu pintu diketuk dan muncullah Tutik dengan membawa segelas teh hangat dan sepiring gorengan.
“Sugeng siang Pakdhe, dhahar mriki tho?”, tanya Tutik sambal meletakkan gelas dan piring di meja.
“Nuwun ya Tik, ora usah repot-repot. Aku ora suwe kok, mung nginguk anak wedhok”, jawab Pak Harto.
“Ndak usah Tik, nanti makan di luar saja, sekalian mau keliling outlet kita”, jelas Dewi sambal mengedipkan mata kepada Tutik.
“Ya sudah Mbak Dewi, monggo Pak dhe,” sapa Tutik sambil keluar ruangan Dewi.
Pak Harto meminum tehnya dan mengambil tahu isi, makanan kesukaannya, lalu menggigitnya sambal mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Enak tenan, Tutik kie ya pinter tenan lho, ngerti wae senenganku. Iki tuku apa gawe dewe nduk?, tanya Pak Harto.
“Bu Dar sing ndamel Pak, sak niki masak kangge bocah-bocah”, jawab Dewi.
“Wah, saya penak yen ngunu, ora perlu jajan neng njaba”, komentar Pak Harto sambil menghabiskan tahu isi yang ada di tangannya.
“Nduk cah ayu, bapak rene iki merga ditangisi ibumu. Deweke pesen kowe suk setu arep dijak njagong neng anake koncone. Jare iki undangan special ngunu”, jelas Pak Harto kepada Dewi. “Wingi malah wes tuku sarimbitan ngunu, malah wes milih kalung sak penganggone barang kanggo kado”.
“Nggih Pak, mengke kula atur jadwal meeting kalih suplier. Benjing setu bibar kantor kula mantuk Pak”, jawab Dewi.
“Ora, ora usah mulih, wong undangane neng kene kok. Setu esuk, aku karo ibumu tak mrene, ngawa sak perangkat sing dibutuhake. Kowe tak tunggu neng omah wae, mengko mangkat bareng saka ngomah”, kata Pak Harto.
“Nggih Pak, kula manut mawon”, jawab Dewi sambil berdiri menuju meja kerjanya karena telepon berdering.
“Ya Tik, ada apa?” tanya Dewi saat mengangkat telepon.
“Mbak Dewi, ini ada Dokter Pam, katanya mau nganter obat. Mau ditemui atau tidak? Soalnya masih ada Pak Dhe di dalam”, jawab Tutik.
“Suruh masuk saja Tik, barangkali ada yang penting untuk dikatakan”, kata Dewi.
“Baik mbak, saya akan segera antarkan”, kata Tutik.
Dewi menutup teleponnya dan kembali duduk di samping Pak Harto.
“Nggih Pak, Dewi manut. Bapak kalian ibu sare wonten ndalem tho?” tanya Dewi dengan penuh harap.
“Ora nduk, sak jane aku karo ibumu wes di-booking-ke kamar, ya ning hotel sing dienggo resepsi kuwi. Dadi critane, aku karo ibumu mung methuk awakmu. Mengko Pur sing nyopir, dadi yen awakmu meh mulih ngomah ana sing ngeterke mulih. Ning yen arep melu nginep ya luwih becik”, jelas Pak Harto.
“Mekaten nggih sae Pak. Kula manut kemawon”, jawab Dewi.
Ketukan pintu membuat mereka menoleh ke arah pintu dan berhenti berbicara. Perlahan daun pintu terbuka dan muncul Tutik mengantarkan Dokter Pam. Saat Pak Harto melihat kehadiran Dokter Pam, ia terkejut dan tertawa lepas. Sementara itu Dewi terkesiap melihat perilaku bapaknya.
“We…. Ana tamu agung. Kene… lungguh kene”, sapa Pak Harto.
“Nggih Pak, matur nuwun”, jawab Dokter Pam sambil mengambil tempat untuk duduk di samping Dewi.
“Saiki wes praktek ya Pam?” tanya Pak Harto.
“Sampun Pak, wonten poliklinik RSUD. Sampun wolung taun menika”, sambung Dokter Pam.
“Lho, Bapak tepang tho kalian Dokter Pam?” tanya Dewi dengan keheranan.
“Iya nduk, mbiyen dewekke PPL ana rumah sakit mburi kecamatan kae. Pas aku lagi nggarap proyek Gedung anyar”, jelas Pak Harto dengan hati-hati.
“Ough, ngoten tho Pak”, jawab Dewi setengah bingung.
“Ya wes, aku tak bali sek. Aja lali ya nduk, setu ndang bali kerja. Tak tunggu neng omah”, pamit Pak Harto sambil beranjak meninggalkan ruangan Dewi.
“Nggih Pak”, jawab Dewi sambil melihat Pak Harto keluar dan menutup pintu. Lalu Dewi berpaling, berhadapan dengan Dokter Pam, “Maaf ya Dok, tadi masih ada bapak. Dan terima kasih sudah mau menunggu”.
“Tidak apa-apa Wi, lagi pula aku yang mau ke sini kok. Ohya, ini obat dan vitamin kamu. Untuk jadwal kunjungan berikutnya, hubungi Pak Jono saja”, kata dokter Pam.
“Terima kasih Dok, untuk tagihannya nanti akan ditransfer Tutik”, jawab Dewi.
“Gampang itu, maaf ya buat semalam. Tidak usah terlalu dipikirkan, nanti sakit kepalanya semakin tajam. Untuk undangan dari Cinta, tidak usah diperdulikan saja. Nanti aku akan cari alasan untuk itu”, kata dokter Pam.
“Iya, terima kasih. Mau minum apa Dok?” lanjut Dewi
“Tidak usah, aku ke sini mau ajak Dewi makan siang. Mumpung hari ini agak longgar dan juga kebetulan di rumah tidak ada yang masak”, kata dokter Pam.
“Kok bisa kebetulan banget sih? Beneran kebetulan atau memang disengajakan?” lanjut Dewi sambil tertawa. “Oke, saya siap-siap dulu ya”.
Dewi beranjak dari kursinya menuju meja kerjanya dan mengangkat telepon untuk menghubungi Tutik. Ia meminta Tutik untuk me-reschedule jadwalnya keliling outlet batik miliknya siang ini. Dewi mengambil tasnya dan mengeluarkan berkas kerjanya di atas meja lalu beranjak mengikuti dokter Pam.
Mereka berjalan menuju tempat parkir sambil bercengkrama dengan akrab. Dewi merasa sangat nyaman dan hangat setiap kali bercengkrama dengan dokter Pam. Terlebih saat melihat binar-binar cerah di sinar mata dokter Pam, Dewi merasa melambung. Entah rasa apa yang muncul begitu halus dan hangat. Dewi semakin bergairah saat melihat senyuman Tutik, Bu Dar, Pak Dar, dan beberapa orang yang bekerja lebih lama di sana, seolah memberi semangat bagi Dewi untuk menapak lembaran baru.
Saat duduk berdua di dalam mobil pun, Dewi merasa sangat nyaman untuk bercerita apa saja dengan dokter Pam. Rasa itu begitu kental dan sungguh menyenangkan. Tertawa, bercanda, dan berbagi cerita dengan bebas dan lepas. Seperti melepaskan kepenatan yang mungkin bertahun-tahun tertumpuk dalam pikiran, hati, dan jiwa. Begitu menyenangkan.
Setiap kali melihat mata teduh dokter Pam, senyum simpul, dan tawa lepasnya, hati Dewi berbunga-bunga seperti anak remaja yang tengah jatuh cinta. Dewi mengenal rasa itu dan menikmati keindahannya meski tanpa kata-kata cinta atau sekedar rayuan mesra. Kedekatan mereka seperti telah lama terjalin, begitu dekat, begitu nyaman.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
Yaya Sorayah
mf tor kok gk ad arti ny bhasa jawa ny...
maklum saya bkn org jawa jd tidak mengerti sama sekali....
2020-09-19
2
💐Novi_Naira💐
like
2020-09-11
0
Farul Ayang
perlu merevisi kata lagi. baru mantap.
2020-09-10
0