Dewi mengenal doter Pam atas saran dokter Lea. Dokter Lea adalah dokter tulang yang merawatnya ketika kecelakan. Sejak kecelakaan itu, Dewi sering merasa ketakutan secara tiba-tiba dan pusing tanpa sebab yang jelas. Dokter Lea menganjurkan untuk berkonsultasi dengan dokter Pam. Dokter Pam adalah psikolog yang handal. Ia juga sepupu dokter Lea.
Selain praktek di rumah sakit saat pagi hari, Dokter Pam juga membuka praktek di rumahnya di malam dari hari Senin sampai hari Kamis. Untuk pelayanan di rumah, Dokter Pam hanya membatasi tiga sampai empat pasien dan itu pun harus melakukan reservasi dulu.
Dewi turun dari mobilnya dan berjalan ke tempat praktek dokter Pam. Dewi menyusuri koridor dengan santai. Ia merasa mengenal setiap sudut rumah itu, padahal baru dua kali ini Dewi datang berkonsultasi ke rumahnya. Biasanya konsultasi di rumah sakit, bersamaan dengan jadwal kunjung ke dokter Lea. Karena lengan kanannya sudah dinyatakan normal maka konsultasi dengan dokter Lea dihentikan.
Di ujung koridor itu, Dewi melihat Pak Jono, petugas pendaftaran, tersenyum melihat kedatangannya. Dengan ramah Pak Jono menyapa Dewi saat Dewi mendekatinya. “Malam Bu Dewi, sudah di tunggu Pak Dokter. Silahkan masuk saja”.
“Terima kasih Pak. Saya yang terakhir ya?”, tanya Dewi.
“Iya Bu hari ini hanya dua pasien saja”, kata Pak Jono sambil membawa berkas dan membukakan pintu untuk Dewi.
Dewi memasuki ruang praktek dokter Pam dengan perlahan dan tenang. Dewi duduk di sudut sofa dengan rasa nyaman yang sangat sejak pintu itu terbuka.
“Selamat malam Dewi, bagaimana kabarmu hari ini?”, sapa dokter Pam dengan ramah, sambil duduk di kursi dekat sofa.
“Baik dok, hari ini saya cukup nyaman”, jawab Dewi dengan tenang.
“Masih terbangun di tengah malam?” lanjut dokter Pam
“Tidak, beberapa malam terakhir tidur sangat lelap. Terima kasih, obatnya sangat ampuh”, sahut Dewi sambil tersenyum.
“Itu hanya vitamin saja kok, bukan obat tidur. Oh ya, mau minum apa? Teh atau kopi
atau jahe saja untuk menghangatkan tubuh”, tanya dokter Pam.
“Jahe saja, terima kasih”, jawab Dewi lembut.
“Baiklah, aku akan minta Mbok Inah untuk membuatnya”, sahut dokter Pam segera sambil mengangkat gagang telepon di samping kursinya.
Dokter Pam berbicara dengan seseorang yang diteleponnya, agak lama, namun senyum mengembang di wajahnya. Bahkan tawa ringannya pun terdengar jelas oleh Dewi. Begitu akrab dan hangat pembicaraannya, meski Dewi tidak terlalu mengerti apa yang sedang mereka bicarakan.
Dokter Pam berdiri lalu mengambil map dari mejanya lalu duduk di tempat semula. Ia membuka mapnya lalu mengulurkan beberapa gambar berukuran setengah folio ke tangan Dewi. Dengan senyum simpul, dokter Pam berkata, “Pilih satu yang menurutmu menarik, dam ceritakan padaku alasannya”.
Dewi menerima gambar-gambar itu dan menimbang-nimbang untuk memilih yang paling menarik hatinya. Cukup lama Dewi mengambil keputusan itu, baginya semua gambar yang ditunjukkan itu menarik hatinya. Bukan hanya bentuknya, tapi juga warnanya sangat menarik. Sampai akhirnya dia memilih satu gambar yang agak berbeda
dengan yang lain.
“Ini, aku pilih ini. Hmm menurutku gambarnya cukup unik. Warnanya tidak terlalu menyolok tapi komposisi bentuknya seperti foto dengan fokus pada bunga, jadi realitas gambar di belakangnya sebagai background saja”, jelas Dewi.
“Hanya itu saja?” tanya dokter Pam.
“Entahlah…, rasanya gambar itu tidak asing bagiku. Seperti de javu, ya… semacam itulah”, jelas Dewi.
Dokter Pam menganggukkan kepala dan mengumpulkan gambar-gambar tadi lalu memasukkannya ke dalam map. Kemudian ia mengambil beberapa gambar lain untuk diberikan kepada Dewi.
“Kalau yang ini bagaimana?, lanjut dokter Pam.
Dewi menerima gambar-gambar itu sambil mengenyitkan dahi, “Maksudnya ini bagaimana ya dok?”
“Ya…. Seperti tadi. Pilih satu yang menurutmu menarik, dam ceritakan padaku alasannya” jawab dokter Pam dengan tenang.
Dewi termangu dan bingung melihat gambar-gambar yang diberikan dokter Pam. Semua nampak sama, tidak ada yang berbeda. Semakin Dewi berusaha memilih, semakin kebingungan melandanya. Dewi mengambil nafas panjang untuk menenangkan pikirannya.
Dokter Pam dan Dewi serentak menoleh ke arah pintu saat pintu diketuk dan mulai terbuka. Mbok Inah datang membawa baki dengan dua gelas, satu gelas berisi jahe hangat dan gelas satunya berisi air lemon hangat, dan sebuah lepek yang berisi irisan gula jawa. Mbok Inah menaruh baki beserta isinya di atas meja sofa, di depan Dewi.
“Silahkan diminum Non, semoga Non Dewi masih suka dengan minuman buatan Mbok Inah”, sapa Mbok Inah dengan pandangan mata berbinar kepada Dewi sambil mempersilahkannya.
“Iya, terima kasih”, jawab Dewi memandang Mbok Inah dengan heran dan penuh kebingungan. Bagaimana Mbok Inah bisa mengenalnya dan kata-katanya seperti menunjukkan kedekatan mereka.
“Terima kasih Mbok”, kata dokter Pam sambil membukakan pintu untuk memberi isyarat kepada Mbok Inah agar segera keluar dari ruangan itu.
Mbok Inah segera beranjak dari hadapan Dewi menuju pintu keluar. “Masih cantik seperti dulu”, bisik Mbok Inah kepada dokter Pam saat menutup pintu.
“Diminum dulu, mumpung masih hangat”, kata dokter Pam memecah kebingungan Dewi sambil mendekat ke meja tempat minuman itu diletakkan. Dokter Pam mengambil sendok teh untuk mengambil gula jawa di lepek dan memasukkannya ke dalam gelas yang berisi jahe lalu mengaduknya. Selesai mengaduk, dokter Pam meletakkan gelas itu di tangan Dewi dan memaksanya untuk minum.
Setelah Dewi meminum seteguk jahe hangatnya. Raut muka Dewi mulai mengendur perlahan-lahan. Dewi menghabiskan minumannya hingga tetes terakhir. Dewi tampak lebih nyaman dan santai. Dewi meletakkan gelasnya di tempat semula
Melihat Dewi sudah lebih nyaman, dokter Pam melanjutkan sesi yang tertunda. Ia mengingatkan Dewi untuk memilih satu gambar dari beberapa gambar yang diberikannya. Dewi kembali melihat gambar-gambar bunga yang ada di meja, tiba-tiba matanya tertuju pada salah satu gambar yang diberikan dokter Pam. Tampak sekali matanya berbinar dengan senyum yang menghias di wajahnya.
“Ini Dok, ada sesuatu yang menggelitik di sini. Warnanya hanya guratan-guratan tipis, seharusnya warna unggu di mahkotanya lebih tebal supaya warna kuning pada putiknya kelihatan tajam. Dan itu membuat warna bunga ini jadi lebih cantik”, kata Dewi dengan penuh semangat.
Sementara itu dokter Pam hanya mengangguk-angguk dan tersenyum simpul mendengar penjelasan Dewi. Sorot matanya meneduh melihat antusias Dewi menjelaskan gambar yang dipilihnya. Senyampang mendengarkan penjelasan Dewi, dokter Pam mengambil gelas yang berisi air lemon, hanya dipegang saja sampai Dewi selesai bicara. Ia lalu memegang sendok dan mengambil irisan gula jawa lalu memasukkannya ke dalam gelas. Belum sempat diaduk, tiba-tiba Dewi merebut gelas itu dari tangan dokter Pam.
“Jangan, ini tdk enak diminum!”, kata Dewi.
“Dari mana Dewi tahu kalau rasanya tidak enak?”, sahut dokter Pam.
“Entahlah, tapi aku tahu itu pasti tdk enak. Bikin mual”, jelas Dewi dengan sedikit ragu lalu meletakkan gelas itu. “Maaf, aku terlalu defensive”, lanjutnya.
“Tidak apa-apa Dewi, aku tidak terkejut, hanya ingin tahu alasannya. Apakah Dewi pernah meminumnya?”, tanya dokter Pam.
“Mungkin, tapi aku tidak terlalu yakin. Rasanya aku pernah …”
Belum selesai Dewi menjelaskan kepada dokter Pam, tiba-tiba pintu terbuka dan masuklah seorang gadis kecil yang sangat cantik memakai kaos dan celana pendek berwarna biru dengan berlari memeluk dokter Pam dan menciumnya. Kehadirannya diikuti oleh dokter Lea dari belakang sambil menutup pintu.
“Terima kasih Pa, tante udah cerita soal ultahku besok Sabtu”, katanya merajuk.
“Iya sayang, Cinta masuk rumah dulu ya, papa masih ada tamu”, jawab dokter Pam.
“Maaf ko, turun dari mobil Cinta langsung ke sini. Maaf ya Dewi, Cinta udah mengganggu sesi kalian. Ayo Cinta, kita ke kamarmu. Kita coba bajunya dulu, biar dilihat opa dan oma”, kata dokter Lea sambil menggandeng Cinta ke luar ruangan.
“Da…. Papa, da…. Tante cantik. Datang ya ke ultah Cinta besok Sabtu”, kata Cinta di sela-sela langkahnya.
Dewi hanya tersenyum dan tertegun melihat Cinta. Wajah itu tak asing baginya. Tapi entah siapa yang pernah ia temui sebelumnya. Wajahnya yang oval, rambutnya yang hitam bergelombang, dan senyum menawan yang memperlihatkan lesung pipinya. Entah mengapa, hati Dewi bergolak dan membuatnya kebingungan.
“Dewi…. Dewi….”, sapa dokter Pam.
“Iya”, jawab Dewi tergagap. Ia tersadar dari pemikirannya sendiri.
“Mau dilanjutkan sekarang atau minggu depan?”, tanya dokter Pam.
“Maaf, saya bingung. Tolong dijelaskan lagi!”, jawab Dewi.
“Dewi mau melanjutkan sesinya sekarang atau minggu depan?”, jelas dokter Pam.
“Menurut dokter bagaimana?”, tanya Dewi sedikit bimbang.
“Kalau Dewi masih bersemangat, kita lanjutkan saja. Masih ada waktu sekitar 20 menit lagi. Tapi kalau sudah agak lelah ya kita lanjutkan minggu depan saja”, jelas dokter Pam dengan hati-hati ketika melihat Dewi seperti kebingungan.
Dewi semakin bingung dan tidak dapat menjawab apapun. Wajahnya memucat, Dewi menutup matanya dan tangannya memegang kepalanya yang mulai berdenyut. Dewi merasakan pening yang semakin menajam. Lalu dokter Pam mendekatinya, duduk di depannya. Ia memegang kedua tangan Dewi dan di dekatkan ke wajah dokter Pam. Hal itu membuat Dewi membuka matanya dan berusaha menarik tangannya. Tetapi dokter Pam memegang tangan Dewi dengan erat
“Dewi… sayang, maafkan aku. Sabar ya, nanti sakitnya akan hilang”, bujuk dokter Pam dengan lembut. Dokter Pam terus menatap wajah Dewi yang menahan rasa sakit dengan sedikit cemas. Ia terus memegang tangan Dewi sampai tangan Dewi mulai mengendur. Dan berangsur-angsur rasa sakit yang mendera Dewi mulai menghilang.
“Sebaiknya Dewi pulang sekarang. Aku antar pulang ya”, kata dokter Pam.
“Tidak usah, ada Pak Dar kok”, jawab Dewi singkat.
Dokter Pam merapikan gambar-gambar yang ada di meja dan menatanya kembali ke dalam map. Ia menaruh map itu di atas meja kerjanya lalu menolong Dewi berdiri. Ia memapah Dewi keluar dari ruangan dan mengantarkannya sampai ke mobil.
“Untuk pertemuan berikutnya saya atur dulu ya. Oh ya, obatmu habis malam ini. Besok pagi setelah praktek aku antar ke kantor”, kata dokter Pam saat menutup pintu mobil Dewi. Ia juga berpesan kepada Pak Dar untuk mengantar Dewi sampai depan kamarnya. Dokter Pam menatap kepergian Dewi sampai mobil itu keluar dari gang rumahnya dengan sedikit cemas. Ia masuk ke rumah dengan lunglai.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
💐Novi_Naira💐
lanjut
2020-09-11
0
Farul Ayang
lanjut
2020-09-10
0
Sani D
lanjut...
2020-09-09
0