Kontrak Perjanjian

Alea hari ini tidak masuk kantor dan memilih mengurung diri di dalam kamar. Ia belum memberitahukan kepada orang tuanya mengenai musibah yang menimpanya.

Tidak tega melihat orang tuanya khawatir dan adiknya Alena ikut sedih. Ibu, bapak dan adiknya itu adalah alasan Alea bekerja keras, tetapi kini, ia tidak mungkin membiarkan keluarganya hidup di jalanan.

"Alea," panggil Ibunya.

"Ya, Bu." Alea segera menghapus air mata dan mengambil kacamata aviator miliknya. Setelah berdehem kecil untuk menyamarkan suaranya yang serak, Alea membuka pintu kamarnya.

"Sayang, kamu sakitkah?" tanya Alina kepada putrinya. Tatapan lembut Alina membuat Alea memegang tangan ibunya.

"Hanya kurang enak badan sedikit, Bu." Alea tersenyum tipis.

"Nanti, Ibu kerokin mau?" tanya Alina.

"Iya, Bu. Oh, ya, Bu, tadi katanya ada yang cariin Alea?"

Alina menepuk jidat karena lupa. Ia mengangguk.

"Ada, seorang pria yang katanya ada urusan. Kalau Ibu lihat dari jas yang dia pakai sepertinya orang kantoran. Apakah orang dari kantor kamu?"

Muka Alea pucat pasi mendengar ucapan Alina. Ia tidak menyangka jika ucapan Athar tidak main-main.

Ia segera ke depan dan ternyata pria yang dia temui kemarin. Pria itu menyunggingkan senyum kepada Alea dan dibalas dengan senyum kali oleh gadis itu.

"Si--silakan masuk," ucap Alea.

"Ya."

Alea dengan cemas duduk di sofa bersama pria itu. Sementara Alina segera ke dapur dan membuatkan teh untuk Alea dan tamu anaknya.

"Alea, saya datang ke sini menagih ganti rugi perusahaan," ucapnya to the point.

"Sa--saya belum punya uang," ucap Alea.

"Maka rumah dan aset milik orang tuamu kami sita."

Ucapan yang dilontarkan pria itu begitu ringan dan tanpa beban membuat Alea merasa sakit.

"Beginilah nasib orang yang tidak punya," batin Alea. Ia ingin lari ke mana meminta bantuan. Keluarganya yang sedikit berada daripada dia tidak akan mau membantunya.

"Saya minta waktu seminggu untuk menebusnya, Pak," pinta Alea.

"Sayang sekali, saya di sini hanya menjalankan tugas yang diberikan Alea. Tidak ada waktu apapun, kecuali ...."

Alea menatap penuh harap. "Kecuali apa?"

Pria itu mengeluarkan map di tasnya. Alea menerimanya dan membukanya. Matanya melotot tidak percaya membaca isinya.

"Apa Pak Athar gila?!" tanya Alea dengan memekik tertahan.

Pria itu benar-benar ingin menjadikannya sebagai babu dan tidak ada gaji apapun. Ia akan tetap bekerja dan gajinya itu akan dipakai untuk melunasi kerugian yang Alea pikir 20 tahun bekerja tidak akan bisa melunasi itu.

"Bagaimana keluarga saya makan dan adik saya masih sekolah," ucap Alea menatap penuh sedih ke arah pria di depannya.

"Saya tidak tahu. Silakan Anda tentukan pilihan Anda," ucapnya tenang.

Kening Alea mengerut saat melihat lembar kedua. Ia merasa Athar butuh psikiater karena merasa pria itu sakit jiwa.

"Ck, sabar, Alea. Jangan sampai kesalahan kemarin kamu lakukan lagi," batin Alea.

"Apa tidak satupun perempuan mau dengan Pak Athar?"

Pertanyaan itu sukses membuat pria di depan Alea hampir menyemburkan tawa. Namun, ia hanya berdehem kecil menetralkan ekspresinya. Tentu ia tahu alasan gadis di depannya bertanya karena yang membuat kontrak perjanjian itu adalah dirinya. Tentu saja point-point di dalamnya atas perintah Bosnya, Athar.

"Banyak sekali sampai tidak terhitung," jawabnya membuat Alea menatap point yang membuat dirinya  jengkel.

Drtttt ....

"Halo, Pak Athar."

" ...."

"Baik, Pak."

Tuttt ....

Alea menatap cemas kepada pria di depannya.

"Oh, ya, Alea. Saya harus kembali ke kantor pusat. Silakan tanda tangani bila setuju dan kalau tidak saya akan pergi sekarang. Lima belas menit kemungkinan rentenir akan datang ke sini."

Alea gegalapan mendengarnya. Apalagi kini Alina keluar dan meletakkan dua cangkir teh.

"Silakan diminum, Nak."

"Baik, Bu."

Alina meninggalkan kembali Alea dan pria yang menjadi orang kepercayaan Athar.

"Bagaimana, Alea?"

"Tidak bisakah berikan saya waktu."

Kembali gelengan yang didapatkan Alea.

Dengan gemetar ia mengambil pena dan menandatangani kontrak perjanjian yang begitu banyak menguntungkan Athar ketimbang dirinya.

"Baiklah, saya pamit."

Alea mengangguk lemah. Ia tidak tahu pilihannya salah atau sudah benar. Baginya keluarganya paling penting.

***

Keesokannya, Alea bangun dengan tidak semangat seperti biasa. Ia hanya  kembali mengenakan rok tulip dengan kemeja merah maron garis-garis putih.

Ia kembali memolesi wajahnya dengan make up natural. Tentu saja dia bukan gadis yang tidak tahu cara dandan karena berada di bagian pemasaran yang langsung terjung menjual barang produksi perusahaan tempatnya bekerja harus tampil menarik.

Tas WOC tersampir di samping dan hig hels Stiletto yang sudah ia pakai untuk membungkus kakinya.

Cantik.

Memang Alea termasuk wanita cantik yang menjadi incaran pria. Namun, karena ia jarang di kantor, ia tidak dikenal karyawan-karyawan lain selain yang satu devisi dan tim dengannya.

Ia memesan taksi dan segera ke kantor. Ia tidak pernah terlambat selama bekerja. Minus kemarin ia tanpa keterangan tidak hadir di kantor, tetapi tentu semua orang bagian pemasaran tahu.

Gosip-gosip tentangnya pun sudah beredar. Namun, Alea berusaha menutup telinga terhadap gunjingan yang ia terima. Ia tidak bersalah dan memang map yang ia terima kemarin murni harga yang di bawah dari harga aslinya.

"Anda sudah ditunggu di dalam, Miss." Alea mengangguk.

Ia segera mengikuti seorang wanita yang pastinya sekretaris CEO-nya. Wanita itu sukses membuat Alea insecure.

Dia cantik sekali dan memang layak menjadi seorang sekretaris. Berbeda dengannya yang memang cocok di pemasaran dan konsultan lapangan.

"Permisi, Sir. Miss Alea sudah datang."

"Ya."

Alea segera berdiri di depan meja besar Athar. Masih ada rasa takut di hati gadis itu mengingat isi kontrak mereka.

"Kamu tahu sekarang kamu babu saya."

Glek.

Ingin rasanya Alea marah, tetapi ia hanya gadis penakut jika sudah berurusan dengan orang berdompet tebal.

"Iya, Pak."

"Sekarang ikut saya ke kantor pusat."

"Tapi, Pak, saya bekerja di sini," ucap Alea.

Ia tidak mau pindah tempat kerja, tetapi tatapan mematikan Athar membuat ia pasrah.

"Hufhh, nasib bawahan," resahnya dalam hati.

Ia ikut ke dalam mobil Athar dan ia duduk bersama Athar di bangku belakang. Alea tanpa sadar mengangumi bau mobil Athar yang menurutnya sangat wangi.

"Orang kaya, mah, beda," batinnya.

"Ingat baik-baik. Jangan pernah bertingkah sembrono di depan klien saya dan kolega bisnis saya."

"Baik, Pak."

Alea membuang pandangannya. Ia meras kesal karena pasti Athar menganggapnya seperti wanita yang tidak bisa menjaga sikap. Meski ia bukan karyawati seperti di kantor-kantor yang terkesan memang mampu menjaga sikap, buka berarti ia bobrok di manapun.

"Hufhhh, enggak apa-apa sekarang sabar saja dulu. Pelan-pelan aku akan cari cara supaya bisa lunasi hutang-hutangku dan mencari bukti atas tuduhan mereka," batin Alea.

***

Bersambung

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!