Kiran sudah terbaring di meja operasi. Air mata terus saja menggenangi dua pipi mulus gadis muda itu, saat dia mengetahui kalau Dokter Rani, Dokter selama ini merawat sakitnya, sudah meninggal dunia. Dan membuat kesedihan itu kian mendalam Kiran rasakan, saat mengetahui kalau Dokter Rani sendirilah, yang akan jantung untuk kesembuhannya.
"Aku sangat bahagia, sebab aku mempunyai kesempatan untuk hidup lebih lama lagi. Tapi di balik rasa bahagia ini, ada nyawa yang sudah terbaring tak berdaya. Terima kasih Dokter Rani, terima kasih. Karena sudah begitu baik padaku, selama aku berada di rumah sakit ini. Bahkan sebelum meninggalpun,anda masih berbuat baik padaku," gumam Kiran dalam hati.
***
Suasana genting tengah menyelimuti depan ruang operasi. Para tim medis terpaksa menunda operasinya, akibat menghadapi amukan dari Rangga Wijaya, yang tak lain adalah suami-dari Dokter Rani. Pria itu begitu sangat marah, saat dirinya mengetahui, kalau para Dokter akan mengambil jantung istrinya, dan memberikan pada salahsatu pasien penderita gagal jantung, yang tak lain adalah Kiran Larasati.
"Apa kalian sudah, gila?! Melakukan operasi pada istriku, yang sudah meninggal. Aku begitu terpukul atas kematiannya, malahan kalian mau mengambil keuntungan dari dia, dengan mengambil jantungnya. Ingat! Aku sama sekali tidak setuju!" hardik Rangga. Pria itu terlihat begitu marah, saat mengetahui kalau para Dokter akan mengambil jantung Istrinya, dan mendonorkan pada seorang pasien, yang tak lain Kiran Larasati.
Devan, yang merupakan salahsatu Dokter sepesialis jantung, seketika menyela, mendengar apa yang baru saja dikatakan suami-rekannya itu.
"Kami tahu, kalau ini melanggar prosedur, apalagi tanpa persetujuan dari pihak keluarga. Tapi ini keinginan Dokter Rani sendiri, sebelum beliau menghembuskan napas terakhirnya, Tuan Rangga!"
Amarah yang tadi berapi-api, musnah seketika bergantikan dengan raut wajah kaget, setelah Rangga mendengar apa yang dikatakan , rekan Istrinya.
"Maksudmu, ini keingiannya sebelum meninggal?" Dua mata membulat lebih penuh,saat pria itu melontarkan pertanyaan pada Devan.
Untuk lebih meyakinkan Rangga. Devan menjangkau ponsel sahabatnya, dan memberikan benda pipih itu, pada pria Rangga Wijaya.
"Pasti anda mengenal, kalau ponsel ini milik Dokter Rani," ucap Devan, dengan menyerahkan gawai milik sahabatnya, ke tangan Rangga.
"Sebelum meninggal, Dokter Rani meninggalkan pesan lewat rekaman suara. Dia menginginkan jantungnya didonorkan pada Kiran, salahsatu pasiennya. Dan aku rasa anda juga sudah tahu, kalau Dokter Rani memiliki hubungan yang begitu dekat, bahkan sudah seperti saudara sendiri, dengan Kiran. Mungkin juga karena faktor itulah, yang membuatnya mendonokan jantungnya pada Kiran, sebelum dia meninggal," lanjut Devan lagi.
Sepasang pupil mata Rangga, dia lemparkan sekilas pada Devan, saat masih merasa ragu dengan ucapan Dokter muda itu.
"Bukalah rekaman suaranya, agar lebih percaya kalau kami memang tidak berbohong," seru Devan.
Ragu dia rasakan. Tapi untuk memastikan ucapan Dokter muda itu, akhirnya Rangga mengiyakannya. Memainkan Ibu jarinya pada layar datar itu, guna mencari aplikasi galeri di sana.
Airmata meluncur bebas dari sepasang pupil mata Rangga, begitu pria itu mendengar, ungkapan cinta terakhir sang Istri.
"Aku juga mencintaimu Rani, sangat mencintaimu," gumam Rangga pelan. Mengusap air mata itu, karena dia begitu mencintai sang Istri.
Tatapan mata itu Rangga alihkan pada Devan, yang masih terus menatap padanya.
"Lakukanlah, kalau memang ini keinginan Rani sebelum dia meninggal."
Devan menghembuskan napasnya yang panjang. Sesak teramat dia rasakan, melihat kondisi Rangga yang sangat begitu terpukul, dengan kematian Istrinya. Iba dia begitu dia rasakan, tapi ini memang sudah takdir yang kuasa. Baru beberapa tahun mereka menikah, tapi Rani sudah terlebuh dahulu meninggalkannya.
"Kalau aku berada diposisimu, pasti aku juga akan melakukan hal yang sama. Tapi bagaimanapun, kita harus memenuhi keingian orang yang sudah meninggal. Apalagi ini keinginan terakhirnya."
Hanya melukis senyuman kecil di wajah, senyuman berusaha dia untuk tampilkan, karena nyatanya itu palsu. Dan dia pun membenarkan ucapan yang baru saja dikatakan Devan. Apalagi kalau ini, keinginan terakhir mereka.
"Baiklah!"
Para tim medis saling melemparkan tatapan, setelah Rangga mengiyakan untuk melakuan operasi transpalasi ini.
"Baiklah. Kalau begitu, kami harus segera melakukan operasinya sekarang juga."
"Baiklah," jawab Rangga. Walaupun berat, pria itu tak mampu untuk menolaknya.
Kedua mata Rangga beralih pada ruang operasi, di mana lampunya telah menyala, pertanda operasinya sudah berlangsung.
Menghembuskan napas nya panjang, dan segera mengambil langkah lebarnya berlalu dari ruangan itu, saat tak kuat hatinya untuk berlama-lama, di depan ruang operasi.
Melangkah, dan terus melangkah. Saat ini, Rangga bagai sebuah tubuh tak berjiwa. Meninggalnya Rani, membuatnya dunianya terasa gelap seketika.
Tak kuat melangkah lagi, akhirnya tubuh itu Rangga labuhkan disebuah kursi panjang, yang berada di lorong itu. Menangis, dan hanya bisa menangis, karena kehilangan wanita yang begitu dia cintai.
"Aku begitu mencintaimu, Rani! sangat mencintaimu. Apakah aku bisa? Apakah aku bisa, menjalani hari-hariku tanpamu, Rani? Tak melihat dirimu sehari saja, sudah membuatku gila. Apalagi selamanya? Aku tak menyangkah kalau bagian dari dirimu, ada pada wanita lain," gumam Rangga dengan terus meneteskan, air matanya.
****
KEDIAMAN ANDI HERMAN
Cantik, dan juga terpelajar. Itulah gambaran saudara tiri dari Kiran Larasati, Adisty Sukma.
Kedua kakinya bertaut, dengan jemari terus saja menggapai cemilan ringan yang berada dalam topels kaca, saat tatapan mata itu terus dia tatapkan pada layar televisi.
Netra mata yang sedari tadi menampilkan tatapan biasanya, menyeruak seketika-begitu Adisty menyaksikan sebuah berita pagi, yang menayangkan kecelakaan tunggal, yang menimpah istri seorang pengusaha.
"Ma...Mama...."teriak Adisty pada sang Bunda, Mama Rati.
Mama Rati terlihat begitu kesal, dengan suara putrinya yang terasa begitu menyakitkan di telinga. Mulut wanita berusia lima puluh lima tahun itu, terus saja berkomat-kamit, saat dua kakinya dia ayunkan, menuju asal suara putrinya.
"Ada apa kamu teriak-teriak, Disty?!" Nada kesal, dengan tatapannya yang tajam.
"Tuh! Lihat di sana. Istri dari rangga Wijaya, sudah meninggal," seru Adisty. Sudut matanya beralih pada layar televisi, agar sang Bunda menyaksikan tayangan berita pagi hari.
Tatapan mata Mama Rati berpaling pada layar televisi, dan dia begitu kaget, saat menonton berita pagi yang ditayangkan di televisi. Tapi seketika wajah tegang itu, berganti dengan sebuah senyuman bahagia, karena bahagia dengan kematian Rani..
"Biarkan saja! Kalau dia meninggal. Karena dengan begitu kesempatanmu menjadi menantu keluarga Wijaya bisa terwujud, karena Papamu bersahabat baik dengan Papanya Rangga."
"Yang benar saja, Maa! Pasti Papa akan memberi kesempatan itu, pada putrinya yang kampungan itu."
Senyuman kecil mengukir indah di wajah tua Mama Rati, dengan tubuh yang dia labuhkan disisi putrinya.
"Kiran itu menderita penyakit jantung, dan kau lihat, sudah banyak uang yang dikeluarkan Papamu, untuk mengobati penyakitnya, tapi sampai sekarang, belum juga adanya kemajuan. Malahan yang Mama dengar dari Papamu, alau penyakitnya kian bertambah parah."
"Dan Papa, sekarang sedang mencari orang untuk mendonorkan jantungnya, Maa! Bukankah kalau mendapat pendonor, anak itu bisa sembuh?!"
"Iya, Mama tahu. Tapi dia kira gampang apa! Mendapatkan orang, yang mau mendonorkan, jantungnya. Dan Mama yakin, sebentar lagi anak itu akan menghadapi kematiannya."
Seringai jahat menyelimuti wajah cantik Adisty, setelah gadis itu mendengarkan apa yang sang Bunda tuturkan.
"Benar sekali, Maa! Dan aku akan segera mempersiapkan pakaian hitam, untuk kematiannya."
"Benar sekali," timpal Mama Rati, dan mereka pun tertawa bersama-sama.
****
RUMAH SAKIT
Kiran menerawangkan dua matanya, jauh. Air mata terus saja tumpah membasahi dua pipi mulus gadis itu. Bukan kesedihan karena memikirkan sakitnya, tapi karena memikirkan Dokter Rani.
"Sudahlah, jangan menangis. Mau sampai kapan, kamu bersedih terus?! tegur Dian.
"Aku merindukan dia, Dian! Aku merindukannya. Selama menjalani pengobatan di rumah sakit ini, dia begitu baik padaku. Bahkan sebelum kematiannya saja, dia masih berbuat padaku, dengan mendonorkan jantungnya untuk kesembuhanku."
Dian tersenyum getir. Tak berbicara, dan dia pun tenggelam dalam apa yang Kiran katakan, tentang mendiang Dokter Rani. Wanita itu bukan hanya cantik, tapi memiliki hati yang begitu baik. Dan wajar saja, kalau Kiran merasa begitu kehilangan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 95 Episodes
Comments
Eri Erisyah
ak rasa yg suka sama Rangga,yg bikin Rani kecelakaan
2023-04-13
0
Rani
gua disini aku juga mencintaimu
icikiwir😂
2022-07-24
0
Ima Ashahri
menarik ceritanya thor lanjut baca
2021-09-26
0