Berkejaran

Suasana di belakang bangunan gelap itu, kian mencekam. Ketegangan terjadi antara dua kubu. Sumayah melawan orang-orang berseragam hitam. Malam terus beranjak, menemui kesunyiannya hingga deru nafas dari masing-masing orang, dapat terdengar jelas di telinga.

Tetesan keringat berbaur dengan air hujan yang masih saja turun. Menciprat saat menjatuhi genangan air mencipta jejak basah di mana-mana.

Tangan-tangan kekar itu masih saja menyibak bunga-bunga yang menutupi tembok pagar rumah sakit. Tepat di hadapan mereka, sepasang mata membelalak. Secara perlahan ia mundur terus merapat pada dinding pagar yang tinggi nan kokoh.

Srek!

Bunga-bunga itu disibak dengan kasar, terus menerus dibuka dengan teliti. Tak ada apa pun di sana? Ke mana Sumayah?

"Tidak ada apa pun di sini!" seru salah satu dari mereka sembari memotong-motong tanaman bunga itu hingga pendek. Kosong. Memang tidak ada apa pun di sana. Hanya ada dinding pagar yang gelap karena dicat berwarna hitam.

"Tidak mungkin! Aku sangat jelas mendengar suara rintihan di sini!" sahut yang melapor sembari membawa dirinya melangkah mendekati tempat suara yang sempat tertangkap indera pendengarannya tadi.

"Aku yakin, aku mendengar suaranya tadi di sini! Tidak mungkin telingaku salah mendengar," gumamnya sembari berkacak pinggang berpikir soal keanehan yang terjadi.

"Kau mabuk?" sambar yang lain mendengus kesal.

"Aku sedang sadar, aku bahkan belum meminum minuman itu walau hanya segelas," sahutnya lagi tak kalah kesal.

"Mungkin saja itu suara makhluk lain, kudengar beberapa rumah sakit sangat menyeramkan. Terutama di ruang jenazah, dan kita ... berada dekat dengan kamar itu," celetuk yang lain aneh. Tubuhnya bergidik ngeri dengan ekspresi ketakutan yang mendukung ceritanya.

"Itu tidak masuk akal! Pasti bisa dijelaskan kenapa suara itu ada di sini dan sekarang hilang!" tolaknya dengan keukueh.

"Sudah! Kita cari di tempat lain!" ajak pemimpin mereka yang berjalan kembali memasuki lorong gelap, sedangkan ia masih berdiri di tempat Sumayah bersembunyi. Ia langkahkan kaki, penasaran bagaimana suara itu bisa ada lalu hilang.

Tangannya meraba dinding itu, tapi kosong. Tak ada dasar yang tersentuh tangannya. Kedua tangannya ia bentangkan. Secara bersamaan meraba dinding dari dua arah, kemudian disatukan di tengah-tengah dinding itu.

Bagian bawah dinding ternyata sebuah lorong gelap. Apakah dia melarikan diri dari lorong?

"Aku menemukan sesuatu! Kembali ke sini, cepat! Kalian harus melihatnya!" serunya dengan lantang. ia berjongkok di depan dinding yang gelap.

"Dia menemukan sesuatu?" ulang yang lain.

"Ayo!" Mereka kembali ke tempat tadi.

"Apa yang kau temukan?" tanya pemimpin mereka mendekat ke arahnya yang berjongkok.

"Lorong!" Tangannya tertuju pada gelapnya lorong. Itu tak terlihat seperti lorong, tapi nampak seperti dinding biasa karena memang dinding itu dicat berwarna hitam hingga gelapnya lorong tersamarkan.

"Dia melarikan diri dari sini! Aku yakin itu!" ujarnya yakin.

"Bukankah di balik dinding ini hutan lindung?" celetuk yang lain lagi mengingat kenapa lorong itu gelap gulita.

"Kau benar! Di balik tembok ini adalah hutan lindung, kemungkinan dia melarikan diri ke hutan itu! Sebaiknya cepat! Beritahukan mereka yang berjaga di luar untuk mengepung seluruh kawasan hutan lindung!" titahnya.

Beberapa orang segera berlari ke lorong, dan sisanya mengikuti pemimpin mereka menyusuri lorong gelap tanpa cahaya. Bagaimana mungkin Sumayah dapat menemukan jalan seorang diri di lorong gelap itu.

Lorong itu tidaklah panjang, itu merupakan bekas gorong-gorong yang sudah tak terpakai. Di dalamnya banyak dedaunan kering yang menumpuk. Di ujung lorong sendiri, ada sebuah pintu terbuat dari jaring kawat yang telah rusak.

"Wanita itu sungguh beruntung! Mungkin saat ini nasibnya masih baik," gumam pemimpin mereka setelah berhasil keluar dari lorong dan berdiri di bawah pohon beringin besar yang sudah tua. Bagi yang penakut, hutan itu akan terlihat menyeramkan. Nyali mereka akan menciut sebelum berhasil keluar dari lorong.

"Menyebar! Temukan dia malam ini juga! Jika tidak ... Tuan akan murka kepada kita," titahnya. Mereka menyebar ke seluruh penjuru hutan.

Sumayah terus menyeret langkahnya yang tertatih. Gelapnya hutan membuat pandangannya terbatas. Dinginnya udara membuat telapak kakinya seolah kebal ditambah guyuran gerimis semakin membuat tubuhnya menggigil kedinginan. Belum lagi rasa sakit yang berdenyut-denyut di bagian intimnya meruntuhkan seluruh sendi dalam tubuh.

Sumayah menjeda langkah, napasnya terengah-engah. Di sebuah pohon rambutan besar, ia bersandar. Menarik napas dalam-dalam mengumpulkan udara di paru-paru sebanyak-banyaknya.

Ia meneguk ludah, kering sudah tenggorokannya. Sumayah, membuka selimut yang menutupi bayinya. Bayi itu masih tidur dengan tenang. Dalam pelukan sang Ibu dan balutan selimut, ia terlelap dengan nyenyak.

Sumayah meringis, sakit di badan sakit juga hatinya melihat bayi yang baru saja dilahirkan itu harus ikut bersusah payah seperti ini.

"Maafkan Ibu, Nak! Ibu hanya ingin kau selamat dari orang-orang jahat itu. Bertahanlah, sayang sampai kita menemukan jalan keluar dari hutan ini," gumam Sumayah mengusap pipi bayi itu dengan tangannya yang sedikit basah. Keriput sudah kulit telapak tangannya karena air hujan yang terus menyiram tubuhnya.

Sumayah membungkus kembali bayinya, ia meringis saat rasa nyeri berdenyut di bekas jalan lahir si bayi. Sekuat tenaga Sumayah menegakkan tubuh, rasa nyeri itu membuat napasnya berat. Dengan sisa tenaga yang ia miliki, ia berhasil berdiri tegak.

Sumayah menarik napas panjang dan menghembuskannya. Ia lakukan berulang-ulang untuk mengurai rasa sakit yang mendera bagian bawah tubuhnya.

"Bismillahirrahmanirrahim!" Sumayah mengayun langkah. Baru beberapa saja kakinya menapak, riuh rendah suara orang-orang yang mengejarnya mengusik gendang telinga.

"Allahu!" pekik Sumayah. Debaran jantungnya memicu tak beraturan. Panik, gelisah, gugup, takut semuanya bercampur aduk dalam rasa yang ia punya.

"Ya Allah! Selamatkan kami!" lirih Sumayah dengan air matanya yang kian beranai. Ia kembali melanjutkan langkah, menahan rasa sakit yang kian menyengit. Beruntung, suster memakaikannya pembalut setelah membersihkan jalan lahir. Hal itu sangat membantu karena darah pasca melahirkan tidak bercecer di sepanjang jalan.

Sumayah mempercepat langkah. Suara-suara itu kian dekat dengannya.

"Cepat! Cepat! Telusuri setiap seluk beluk hutan ini! Jangan sampai ada yang terlewat! Temukan wanita itu dan bayinya!" Suara teriakan itu membuat Sumayah semakin ketakutan.

"Allah ... Allah ... Allah ...!" Lisannya terus mengucap satu nama itu. Sang Pemilik Jagat Pemegang Nyawa Manusia. Setiap ayunan langkah, setiap tarikan napas, ia ucapkan dengan penuh keyakinan bahwa pertolongan-Nya akan datang.

"Dia di sana!" Salah seorang dari mereka berteriak lantang. Mengusik burung-burung liar yang sedang beristirahat.

Sumayah menoleh ke kanan dan kiri mencari tempat untuk bersembunyi. Tak ada apa pun yang dapat menyembunyikan dirinya dari mata-mata jahat itu. Hanya ada pohon-pohon besar yang menjulang, tapi tak bisa menjadikannya tempat bersembunyi.

Terpaksa Sumayah terus berlari berkejaran dengan mereka yang memiliki tenaga lebih.

"Aku tidak boleh menyerah! Allah bersamaku!" lirihnya menyamangati diri.

Sumayah kembali menjeda langkah, bersandar pada sebuah pohon besar untuk mengumpulkan tenaga. Rasa sakit terus menyerangnya membuat otot kakinya melemah. Mungkin saja ia tak sanggup lagi berlari. Kaki tanpa alas tergores apa saja yang ia injak, tak juga dipedulikan. Ia harus segera menemukan jalan keluar dan berlari ke terminal.

"Cepat! Jangan lambat! Cari yang jeli, dia pasti bersembunyi di sekitar sini!" Suara-suara itu terdengar lagi. Derap langkah yang banyak dan cepat memicu detak jantung Sumayah agar segera mengambil langkah. Ia bangkit kembali dan mengayun langkah dengan tertatih.

Berkali-kali kepalanya menoleh ke belakang, melihat sejauh mana mereka yang mengejar.

"Itu dia! Itu jalan keluarnya!" gumam Sumayah saat melihat setitik cahaya di depan sana. Di ujung hutan ini, sorot lampu jalan menerangi. Sumayah tersenyum, semakin cepat kakinya berayun.

Namun, langkahnya terhenti dengan cepat. Matanya merebak, deru napas memberat saat cahaya itu ternyata bukan lampu jalan, melainkan sorot lampu mobil yang sengaja untuk menerangi hutan. Orang-orang yang berada di sekitar mobil tersebut terjaga saat sosok Sumayah berdiri dalam cahaya.

******

Tuliskan komentar apa saja ya!!!

Terpopuler

Comments

Anonymous

Anonymous

lafazkan terus nm allah ..
dzat pembawa kehidupan.
novel yg sgt bagus & menyentuh hati nurani prmpuan.
kk .. sgt hebat menuliskannya.
smg novel kk ini membawa rating tertinggi.

2023-07-22

1

Bundanya Pandu Pharamadina

Bundanya Pandu Pharamadina

dengan harapan yg datang mobil si penolong

2023-06-13

1

Parmi

Parmi

asli tegang bacanya

2023-02-02

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!