Di malam yang sama. Suara gemuruh petir masih memenuhi seantero jagat. Angin menggulung menghancurkan apa saja yang dilewatinya. Langit seolah murka kepada manusia hingga menurunkan badai malam itu untuk memberi peringatan kepada mereka yang alfa.
Di tengah gemuruh badai itu, seorang wanita muda sedang berjuang antara hidup dan mati demi menghadirkan kehidupan baru pada dunia.
"Dokter ... tolong aku!" rintihnya seorang diri di ruang bersalin nan sepi. Ke mana perginya semua tenaga medis?
Mereka semua sedang berkumpul mendengarkan instruksi dari orang-orang berseragam resmi.
Namun, seorang Dokter yang tak tahu ada perkumpulan itu gegas mendatangi ruang bersalin. Ia bersiap membantu perjuangan wanita itu.
Seorang Suster datang sesaat sebelum ia menarik tuas pintu.
"Dokter, tunggu!" Ia menutup kembali pintu ruang bersalin yang telah terbuka sedikit.
"Ada apa, Sus?" Berkerut dahi sang Dokter saat melihat wajah tak enak suster tersebut.
"Begini, Dok ... Tuan memberi perintah agar kita mengambil bayinya, dan memberitahu dia bahwa bayi yang dia lahirkan mati," ucap suster itu setengah berbisik.
Wanita di dalam sana, terdiam. Menahan dorongan kuat dari si jabang bayi yang terus merangsek keluar. Telinganya yang tajam dapat mendengar dengan jelas apa yang dibicarakan dua orang di luar ruangannya. Air matanya menetes, ia harus bisa bermain sendiri.
"Lalu, bagaimana dengan Ibunya?" tanya dokter itu, "bagaimana dengan semua biayanya? Apakah Tuan akan bersedia membayar semuanya?" lanjutnya bertanya. Ternyata hanya uang yang ada dalam pikiran mereka.
"Dokter tenang saja, kalau kita berhasil melakukan sesuai perintah Tuan, maka jangankan biaya Tuan akan melebihkannya untuk kita." Girang saat ia mengatakannya bahkan sedikit memekik yang hampir saja menjerit.
"Sstt ... tahan suara Anda, Suster!" Ia melongo pada kaca kecil yang terdapat di pintu ruangan. Memastikan bahwa wanita di dalam sana tak mendengar perbincangan mereka. Setelah puas memastikan, ia kembali pada suster di hadapan.
"Dokter ... tolong! Bayinya sudah mau keluar!" teriak wanita di dalam ruangan itu.
"Ayo, Dok! Mungkin sudah waktunya, kita harus hati-hati agar tidak terjadi sesuatu pada bayi itu," ucap suster dengan gelisah.
Dokter tersebut mengangguk, mereka masuk ditemani beberapa petugas lagi yang akan membantu kelahiran anak wanita itu.
"Dokter ... cepat! Dia sudah mau keluar!" jeritnya bersamaan dengan gelegar petir yang membahana di langit. Menyentak keempat orang yang sudah berdiri di depan kaki wanita itu.
"Tenang, Nyonya! Dengarkan instruksi dari saya!" titah Dokter tersebut dengan lembut.
"Dokter, saya sudah tidak tahan. Saya tidak kuat, Dokter! Tolong, cepatlah!" mohonnya dengan wajah menahan sakit yang teramat.
"Baik ... tenang, Nyonya. Tarik napas perlahan, lalu hembuskan! Terus lakukan itu berulang-ulang untuk mengurai ketegangan Anda, Nyonya," pinta Dokter.
Wanita itu melakukan apa yang diperintahkan dokter, menarik napas dalam-dalam dan menembuskannya perlahan.
Matanya terbuka lebar, menatapi setiap inci wajah para petugas medis yang membantunya. Mengunci mereka dalam ingatan, tak akan mungkin dia melupakannya begitu saja.
"Ayo, Nyonya! Apakah Anda sudah siap?" tanya Dokter lagi sembari melebarkan kedua kaki wanita itu lebih lebar lagi. Ia pasrah, anaknya harus terlahir dengan selamat. Anaknya harus hidup, dia ingin mendengar suara tangisnya.
Duar! Duar! Duar!
Di luar sana petir menyambar-nyambar tiada henti. Bergemuruh bagai sekumpulan hewan besar yang mengamuk.
"Dorong, Nyonya!"
"Eeerrgghhh!"
Wanita itu mendorong sekuat tenaga, berharap pada dorongan pertama bayi itu akan langsung lahir. Namun, nihil ia masih mencari jalannya di dalam.
"Tahan!" Dokter itu memerintahkan. Ia menarik napas sebanyak-banyaknya mengumpulkan tenaga untuk dapat mendorongnya lebih kuat lagi.
"Ya, Nyonya! Dorong lagi!" Wanita itu kembali mengedan. Lebih kuat dari sebelumnya. Kembali berharap pada dorongan kedua bayi itu akan keluar, kepalanya mulai menyembul.
"Bagus, Nyonya! Kepala bayinya sudah terlihat!" dukung Dokter memberi semangat pada wanita itu yang telah lunglai tak bertenaga.
"Saya tidak kuat lagi, Dokter!" katanya dengan napas terengah-engah. Hampir menyerah, dan putus asa mengingat suaminya akan memisahkannya dengan bayi tersebut.
"Ayo, Nyonya! Anda tidak boleh menyerah, Anda harus kuat demi anak Anda!" seru Dokter lagi menyentak kesadaran wanita itu. Dia harus kuat demi anaknya.
Wanita itu kembali mengambil posisi, bersiap untuk mengedan yang ketiga kalinya. Ia menjerit keras.
"Argh!"
Duar!
Suara jeritannya beradu dengan kilatan petir yang menyambar. Disambut tangisan bayi yang memenuhi seluruh ruangan.
"Selamat, Nyonya! Bayi Anda laki-laki," ucap salah satu suster bersandiwara.
Wanita itu tersenyum simpul sebelum tergolek tak sadarkan diri.
"Dokter, dia pingsan!" seru salah satu dari mereka.
"Biarkan saja! Orang-orang Tuan di luar sana yang akan mengurusnya," ucapnya seraya meninggalkan ruang bersalin membawa bayi yang baru saja dilahirkan ke ruang khusus bayi.
Tinggal satu orang yang tak tega melihat kondisi wanita itu. Ia memeriksa jalan lahir dan berinisiatif membersihkannya. Beruntung, tak ada yang perlu dijahit. Ia hanya cukup membersihkannya lalu membiarkannya tak sadarkan diri.
"Maafkan saya, Nyonya. Saya sangat ingin menolong Anda, tapi saya juga butuh pekerjaan ini. Tuan akan memecat kami jika kami tidak melakukan perintahnya," ucapnya penuh sesal. Ia membungkuk hormat padanya sebelum meninggalkan ruang bersalin itu.
Mata wanita itu meneteskan air, ia sebenarnya hanya berpura-pura pingsan untuk mengelabui para tenaga medis. Tak lama pintu ruangan terbuka lagi, suster tadi kembali masuk dengan membawakan makanan untuknya. Diletakkannya nampan tersebut di atas meja samping ranjang bersalin.
"Nyonya, jika Anda sudah siuman, jangan lupa untuk memakan makanan itu juga obat yang saya sediakan. Anda adalah orang baik, tapi kenapa Tuan melakukan ini kepada Anda?" ungkapnya mengasihani sosok tak berdaya yang masih memejamkan mata meski ia tahu wanita tak akan mendengar karena kondisinya yang pingsan.
Ia kembali berbalik meninggalkan ruang bersalin dengan takut. Dia takut jika ketahuan merawat wanita itu, maka dia akan segera ditendang dari rumah sakit tempatnya bekerja.
Mendengar suara pintu ditutup. Wanita itu membuka mata setelah memastikan tak ada suara-suara yang ia dengar. Matanya melirik lemari, ia harus berusaha untuk dapat beranjak duduk. Tak ada siapa pun yang menolongnya, dia sendirian.
"Aku harus kuat demi anakku!" tekadnya seraya merubah posisi untuk duduk. Ia mengambil nampan dan meletakkannya di pangkuan.
"Aku harus memiliki tenaga, aku harus pulih." Ia bergumam sebelum melahap makanan itu hingga tandas. Ia juga meminum obat yang disediakan suster tadi. Vitamin dan anti nyeri.
Sedikit tenaganya pulih. Tak apa, yang penting sekarang dia memiliki tenaga untuk menjalankan rencananya.
"Aku harus bisa pergi dari sini sebelum mereka datang," gumamnya dengan tekad yang bulat.
Ia kembali berbaring saat mendengar suara langkah mendekat ke ruang bersalin. Tak lupa, menyembunyikan nampan bekas makannya.
Suara pintu terbuka, langkah terdengar mendekat. Dua orang, mendekat ke arahnya. Ia menunggu dengan gelisah, menanti siapa yang datang? Apakah orang-orang yang diperintahkan suaminya?
"Dia masih tak sadarkan diri, Tuan. Kondisinya sangat lemah, membuatnya langsung pingsan sesaat setelah bayi itu lahir. Kemungkinan nyawanya tidak akan tertolong jika tidak segera diberi tindakan." Suara Dokter tadi mengusik gendang telinganya.
"Bagus! Biarkan saja dia seperti itu. Orang-orangku akan mengambilnya pada saat tengah malam nanti," sahut suara lain yang begitu dikenali wanita yang berpura-pura pingsan di atas ranjang itu.
'Kau ingin menyingkirkan aku, bajingan! Lihat saja! Apakah kau mampu melakukannya?' Ia mengancam dalam hati. Ia adalah wanita pemberani, tapi untuk menjalankan rencana ia harus melakukan kepura-puraan ini.
"Bagaimana kondisi bayi yang dilahirkannya, Dokter?" Wanita itu memasang telinga baik-baik. Ia harus tahu bagaimana kondisi bayinya.
"Dia sehat, Tuan. Tidak kurang apa pun, putih dan bersih, juga tampan seperti Anda," jawab Dokter yang menerbitkan senyum lelaki itu meski samar.
'Putraku! Tunggu Ibu, Nak! Kita akan pergi sama-sama dari sini!' bisik suara hati wanita itu setelah mendengar kabar tentang bayi yang baru saja dilahirkannya.
"Apa aku bisa langsung membawanya?"
'Tidak, sialan! Jangan kau bawa anakku! Dasar brengsek!' umpatnya dalam hati.
"Maafkan saya, Tuan. Untuk saat ini, bayi itu masih butuh pengawasan dari tim medis. Anda bisa menjenguknya setiap hari di sini, kami harus memastikan kondisinya terlebih dahulu. Baru setelah itu Anda bisa membawanya pulang," jawabnya takut-takut.
Lelaki yang mereka panggil Tuan, mendesah kecewa. Tersirat jelas dari raut wajahnya yang ditekuk.
"Baiklah, lakukan yang terbaik untuknya! Aku tidak ingin terjadi sesuatu pada putraku," ancamnya sengit. Jari telunjuknya mengarah pada wajah Dokter tersebut. Tubuh yang dibalut seragam putih kebanggan itu, menggigil seketika.
"Ba-baik, Tuan!" katanya terbata.
Lelaki arogan itu berbalik dan membawa langkahnya keluar dari ruangan. Ia bernapas lega karenanya. Melirik wanita yang berwajah pucat sekilas sebelum ikut meninggalkan ruangan.
Wanita itu menangis tanpa suara, menuntut keadilan. Petir di luar sana masih berkilat-kilat menyambar. Ia tergugu sendiri dalam ruang yang sepi.
"Aku tidak boleh menyerah! Peperangan ini baru saja akan dimulai! Aku akan berjuang sampai titik darah penghabisan. Aku tak akan membiarkan putraku hidup bersama para bajingan itu!" tekadnya seraya mengusap pipinya yang dibanjiri oleh air mata.
Sakit pasca melahirkan tak dirasanya karena hatinya jauh jauh lebih sakit mendengar rencana busuk suaminya.
"Lihat saja, Kevin! Kau akan kewalahan menghadapi aku! Kekuasaanmu tak akan menyurutkan langkahku untuk berjuang!" kecamnya dengan mata memicing penuh tekad.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
Bundanya Pandu Pharamadina
cerita yg apik , sepertinya penuh misteri
👍❤
2023-06-13
0
Neulis Saja
next
2023-02-09
0
Lin Lin
menarik ceritanya ...👍👍
2022-12-29
1