Sumayah

Hujan di luar sana, masih menyisakan gerimis lebat. Belum puas mengguyur bumi, air terus turun mendatangkan banjir di beberapa tempat. Di dalam ruang bersalin rumah sakit terbesar di kota itu, seorang wanita masih berpura-pura terbaring lemah.

Di luar ruangannya, masih banyak petugas medis yang lalu-lalang ke sana ke mari. Apa yang mereka lakukan? Riuh rendah suara para penjenguk pun tak luput dari gendang telinganya.

Sumayah tengah mengumpulkan tenaga, mempersiapkan diri untuk melakukan rencana yang telah ia susun dengan baik. Malam terus merangkak, kian menurunkan gulitanya menyelimuti hati yang terluka.

Dalam gigil tubuhnya, Sumayah bertekad membawa serta bayinya meninggalkan rumah sakit itu. Hening. Tak ada suara apa pun lagi yang terdengar hingga derap langkah dan desas-desus di depan pintu ruang bersalin tertangkap rungunya.

"Apa pasien di dalam masih tak sadarkan diri?" tanya sebuah suara.

"Kudengar, iya. Dokter membiarkannya dan tidak memberinya penanganan," sahut yang lain menimpali.

Lewat sudut matanya, Sumayah dapat melihat kepala mereka berdua sesekali mengintip ke dalam ruangan.

"Kenapa tidak ditangani? Kasihan, dia bisa mati nanti."

Apakah dia mencemaskan Sumayah? Dalam hati, Sumayah menggumam heran. 'Bukankah semua orang di sini adalah antek bajingan itu? Kenapa dia justru mencemaskan keadaanku?' Bertanya bingung sendiri.

"Itu lebih baik, katanya. Tuan yang memerintahnya untuk membiarkan pasien begitu saja karena itu akan memudahkan orang-orang Tuan saat membawanya nanti."

Kejam! Jawaban yang diberikan salah satunya terdengar kejam di telinga Sumayah. 'Jahat kalian! Awas saja! Aku tak akan pernah melupakan wajah-wajah orang yang telah menindasku.'

Sedikit menggeram di ujung kalimat dengan gigi yang merapat.

"Coba kau lihat wanita yang di dalam sana! Apakah nadinya masih berdenyut ataukah sudah mati? Aku akan melihat kondisi bayinya," titahnya pada rekan sejawat yang terkejut mendengar penuturan kejam dari bibirnya.

"I-iya," jawabnya. Ia menunggunya berlalu dan menghilang di ujung lorong. Suster tersebut menghela napas berat sebelum memasuki ruang bersalin.

"Kenapa ada orang begitu kejam seperti mereka?" gerutunya sembari membuka pintu ruangan dan melangkah masuk.

"Lihatlah wanita tak berdaya itu! Apa salahnya hingga mereka berlaku kejam seperti itu? Seandainya saja aku mampu memberinya pertolongan ... hah ... apa yang aku katakan ini?" Ia menggeleng.

Suster itu memposisikan dirinya di samping ranjang bersalin. Ia perhatikan wajah pucat di atas ranjang, betapa cantik makhluk yang satu ini. Kelopak matanya nampak indah meski terpejam. Dibingkai bulu mata lentik dan alis yang melengkung sempurna bak bulan sabit.

Hidung mancung sangat pas dengan wajahnya yang berbentuk oval. Kulit putih dan bersih, dia adalah seseorang yang menjaga kulitnya dengan baik. Jemarinya lentik dan nampak indah, membuat iri siapa saja yang melihat. Tubuh tinggi semampai, dengan lekuk yang menggoda. Dia makhluk paling cantik yang pernah ia temui.

"Nyonya, Anda begitu cantik! Membuat iri setiap wanita yang melihat Anda. Sempurna dan tanpa cela, tapi sayang ... nasib Anda tidak seindah paras yang Anda yang miliki."

Ia bergumam dan mulai memeriksa denyut nadi wanita itu. Dahinya mengernyit, sesaat ia merasakan denyut itu lemah. Detik kemudian, denyut itu menjadi normal seperti biasa. Matanya melirik wajah pucat di hadapan.

Usai memastikan, ia berniat kembali dan melaporkan yang baru saja dia lakukan. Namun, sebelum kakinya mengayun sebuah cekalan tangan yang kuat membuatnya terkejut. Ia menoleh dengan cepat. Lebih terkejut saat melihat wanita lemah itu melotot padanya.

"Nyo-nyonya!" pekiknya tertahan. Matanya membesar sempurna. Sumayah beranjak duduk tanpa melepas cekalan tangannya.

"Kau ingat siapa yang pernah menyelamatkan nyawamu? Kau ingat siapa yang memberikan pekerjaan ini kepadamu? Kau ingat siapa pula yang mengeluarkanmu dari kemiskinan?" tanyanya menuntut.

Suaranya parau dan berat, mata indah itu nampak dingin dan tajam. Tidak ada kehangatan yang biasa ia dapat saat kelopak indah itu terbuka. Terganti dengan dendam dan kebencian.

"Aku!" Cekalan di tangannya menguat. Meringis suster tersebut merasakan perih di pergelangan tangannya.

"Nyonya, tentu saja saya mengingat semuanya. Saya tidak lupa itu semua," ucapnya takut-takut. Air matanya menggenang di pelupuk mata. Bersiap turun kapan saja.

"Kalau begitu, balas semua yang telah aku lakukan padamu! Aku menuntut balas atas semua yang telah aku lakukan!" tuntut Sumayah dengan kejam tanpa perasaan.

"A-apa yang harus saya lakukan untuk Anda, Nyonya?" tanyanya gelisah. Firasat buruk datang menyergap, membuat perasaannya gelisah tak menentu.

"Bantu aku melarikan diri dari sini! Bantu aku membawa pergi bayiku dari tempat terkutuk ini!" pinta Sumayah dengan tatapan mata memohon padanya.

"Ta-tapi, Nyonya-"

"Kumohon! Bukankah kau juga seorang Ibu? Bagaimana rasanya jika kau dipisahkan dari anakmu? Jika aku tetap di sini, maka nyawaku terancam. Dan jika aku meninggalkan bayiku sendiri, keselamatannya yang terancam. Bukan hanya nyawaku yang mereka incar, tapi nyawa putraku juga ada dalam bahaya. Tolong! Untuk kali ini saja bantulah aku!" ucap Sumayah tidak melemahkan cekalan tangannya dan juga sorot mata itu tajam menusuk.

Bimbang, dia berada di antara dua pilihan. Membantu orang yang telah berjasa dalam hidup, atau menolak dengan alasan kehilangan pekerjaan.

"Sa-saya takut, Nyonya. Tuan mengancam kami siapa saja yang membantu Anda, kami akan dipecat dari pekerjaan ini. Saya masih butuh pekerjaan ini, Nyonya!" mohonnya tak enak. Ia bahkan tak berani bersitatap dengan manik abu-abu milik wanita itu.

"Baiklah, jika kau takut maka tunjukan saja padaku jalan keluar lain untuk melarikan diri dari sini. Aku tahu di luar sana dijaga ketat orang-orang suamiku, tapi aku yakin ... kau tahu jalan lain yang tak dijaga oleh mereka." Lirikan tajam dilayangkannya dengan sinis.

Sumayah seperti seorang putus asa, tak memiliki harapan hingga membuatnya melakukan ini. Memaksa dan menuntut balas dari yang telah ia lakukan.

Gerakan gelisah tertangkap indera penglihatan Sumayah, ia yakin suster itu tahu jalan tikus di rumah sakit.

"Dari bahasa tubuhmu, aku yakin kau mengetahuinya. Hanya beritahukan kepadaku ke mana aku harus pergi! Tolong ... aku jamin mereka tak akan menemukan siapa yang telah membantuku," mohon Sumayah kali ini dengan biji manik melemah dan hangat seperti biasa.

Melihat Sumayah yang mengiba padanya, ia tak tega. Wanita ini bukan orang jahat, ia adalah orang baik.

"Ka-kamar mayat. Di bagian belakang bangunan itu, ada jalan keluar yang tak banyak orang tahu. Di sana juga sepi, jarang orang berlalu-lalang karena takut. Hanya ada petugas pengurus jenazah saja yang hilir-mudik ke ruangan itu," ucapnya terbata. Keringat dingin mengucur tak terkendali memenuhi wajahnya.

"Di mana tepatnya!" tuntut Sumayah kembali menajam.

"Anda hanya perlu berjalan lurus ke kiri dari sini, ikuti petunjuk yang tertulis. Jika malam, lampu di lorong itu akan meredup. Anda harus memiliki keberanian yang banyak, Nyonya," terang wanita itu.

"Aku memilikinya, aku bahkan akan melawan jika ada makhluk astral menghadang jalanku! Hidupku bahkan lebih gelap dari lorong itu, Suster!" kecam Sumayah penuh tekad.

Suster itu menelan saliva gugup, tenggorokannya terasa mengering juga menyempit.

Sumayah mengangkat pandangan, menatap manik kecoklatan milik suster di hadapan.

"Sekarang, ke arah mana aku harus pergi mengambil bayiku! Aku tahu, bayiku masih hidup. Aku mendengar semua percakapan kalian, aku tidak tuli! Cepat katakan! Di mana aku bisa mengambil bayiku!" tuntut Sumayah kembali mengeratkan cekalan tangan setelah sedikit melonggarkannya.

Suster itu terhenyak kembali, maniknya melebar tak terkira. Mendengar Sumayah yang sudah tahu apa rencana mereka.

"Di arah sebaliknya, Nyonya!" jawabnya menunduk takut.

"Baik, terima kasih! Sekali lagi aku meminta tolong ... jangan katakan pada siapa pun tentang aku dan rencanaku. Aku tahu kau orang baik, Suster," pinta Sumayah sebelum melepas pegangan tangan yang meninggalkan bekas kemerahan di pergelangan suster tersebut.

Ia memegangi tangannya sambil mengangguk. "Saya tidak akan mengatakan apa pun tentang Anda, Nyonya. Anda bisa pergi setelah beberapa saat saya meninggalkan ruangan ini. Hati-hati! Di luar, mereka bergantian menjaga setiap sudut rumah sakit ini," ingat suster tersebut.

Ia harus membulat tekad ingin membantu Sumayah melarikan diri.

"Pergilah! Ada yang mendekat!" Sumayah kembali berbaring memejamkan mata. Benar, di luar sana ada langkah mendekat. Ia menghela napas menormalkan dirinya sebelum keluar ruangan.

"Bagiamana?" tanya suster tadi yang baru saja datang.

"Denyut nadinya melemah, mungkin beberapa detik lagi ia akan kehilangan nyawanya," sahutnya berbohong.

"Baguslah! Itu lebih baik," katanya.

Sumayah membuka mata dan beranjak dari tidurnya setelah suara langkah mereka menjauh. Ia meletakkan guling dan bantal yang dibentuknya menyerupai sesosok manusia saat ditutupi selimut.

Dengan tekad yang kuat, ia akan melakukan aksinya malam ini.

Terpopuler

Comments

riiina

riiina

salut dengan tekad perjuangan Sumayah....

2025-01-06

1

Bundanya Pandu Pharamadina

Bundanya Pandu Pharamadina

kita yg baca ikut deg degan berasa senam jantung, semangat Sumayah kamu bisa kabur dan bawa bayimu.

2023-06-13

2

Neulis Saja

Neulis Saja

sum, your husband want to kill of her why? please explain to me

2023-02-09

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!