Semesta Ayyara
Adelia berlari ke arahku saat kami baru saja memasuki ruang kelas X-B. Sedang Arata yang merasa perhatiannya teralihkan, hanya membuang napas kesal. Sebelumnya dia bercerita tentang strategi untuk menarik minat siswa agar tergabung di ekskul fotografi. Metha meminta bantuannya agar Arata membuat promosi menarik. Bagaimanapun kepopuleran ekskul fotografi harus bangkit lagi. Begitu yang ditegaskan Metha pada Arata.
"Sori Haru, aku ada perlu dengan Ayyara. Ini penting, demi masa depan kami," celetuk Adelia saat Arata melotot ke arahnya. Cowok itu lebih menajamkan matanya saat dipanggil Haru.
"Haruto, De. Bukan Haru," tegas cowok itu sambil melangkah ke bangkunya. Sedang aku hanya tertawa melihat tingkah mereka.
Sebenarnya kami baru akrab sejak pembagian kelas kemarin. Itu pun karena tempat duduk kami berdekatan. Meski begitu rasanya kami sudah akrab lama. Seperti teman yang lama tak pernah berjumpa. Meski terkadang, Arata masih merasa risih ketika Adelia di dekatnya. Sudah kubilang, Arata tak mudah bergaul dengan orang lain bukan?
"Whatever. Akunya mau manggil Haru tuh," kata Adelia yang hanya dibalas tatapan sewot. "Heran deh, kok kamu mau sih temenan sama cowok dingin begitu?" bisik Adelia di telingaku.
"Haha... Dia nggak sedingin itu kok aslinya. Meski kadang lebih parah lagi kalau bad mood. Jadi, apa yang mau kamu katakan tentang masa depan kita?" tanyaku saat sadar antusias Adelia ketika kami datang tadi.
"Ah ya, nama kita masuk yang lolos seleksi awal Midori Magz."
"Serius?"
Aku tak percaya dengan ucapan Adelia. Sebab baru kemarin aku mengumpulkan resume dengan tak percaya diri. Sudah tak berharap jika akan lolos tahap seleksi awal. Nyatanya Adelia memberiku kabar yang tak terduga sebelumnya.
"Iya lah, masa aku bohong. Lagian, kamu itu sudah pasti lolos bahkan tanpa seleksi sekalipun."
"Kenapa bisa gitu?"
Pertanyaanku membuat mata Adelia melotot. Gadis itu menarik tubuhku agar duduk di kursi samping Arata. Kedua tangannya menekan pundakku erat.
"Jadi bener kamu nggak tahu?" tanya Adelia justru membuatku heran.
"Apa?"
"Jangan bercanda deh!"
Aku menoleh ke arah Arata yang hanya mengendikkan bahu. Dia tak acuh dan melanjutkan membaca serial Detektif Conan.
"Aku beneran nggak tahu kamu ngomong apa deh, Del."
Tak menanggapi pernyataanku Adelia justru memutar bola matanya. Cewek itu duduk di bangku depanku.
"Dengar, ada tiga jenis siswa yang bisa masuk MHS. Pertama lewat jalur prestasi akademik, di mana siswa yang berprestasi dalam bidang akademik bisa berkesempatan bersekolah di sini. Tanpa tes. Dan kedua, jalur prestasi non akademik. Intinya sama saja dengan jalur pertama, tapi ini cakupannya lebih luas. Bisa dari bidang apa pun. Olahraga, seni dan sebagainya. Terakhir, jalur umum. Mereka yang memilih jalur umum harus mengikuti serangkai tes yang telah disiapkan. Meski bisa juga menyisipkan sertifikat lomba untuk menambah poin. Kamu nggak ngerti soal ini, Ra?"
Aku menggeleng menanggapi pertanyaan Adelia. Yang kutahu MHS hanya menerima jalur prestasi akademik dan umum. Aku tak pernah tahu jika ada jalur prestasi non akademik. Lagipula waktu itu Arata yang mengurus semua pendaftaranku karena aku sibuk belajar mengikuti tes. Kalaupun tahu, aku tak yakin sertifikat lomba yang pernah kuikuti selama ini bisa berfungsi sebagaimana dikatakan Adelia.
“Astaga, kamu ini gimana sih, nyari sekolah tapi nggak tahu programnya seperti apa.”
“Ya udahlah, udah masuk juga ini,” jawabku seenaknya justru membuat Adelia geram.
“Mana bisa begitu, aku dengar rumor harusnya kamu bisa masuk dengan mudah ke MHS tanpa tes dengan jaminan diterima langsung di Midori Magz. Kamu sadar nggak sih, sertifikat yang kamu lampirkan itu lomba tingkat nasional loh. Kamu justru memilih jalur umum. Haruto, jangan bilang kamu juga nggak tahu soal masalah ini?”
Kini Adelia menyerang Arata yang masih sibuk dengan komik Detektif Conannya. Sementara aku hanya menatapnya harap-harap cemas. Seandainya dia tahu, kenapa tak pernah memberitahuku soal jalur prestasi non akademik?
“Aku tahu,” jawabnya singkat tapi tepat membuatku tersulut amarah.
“Kenapa nggak bilang?”
“Dari awar kamu sudah fokus untuk memirih ikut tes. Dan kamu tidak mau dengar ketika aku mau kasih saran.”
Jawaban Arata benar-benar menohok. Memang dia beberapa kali sempat ingin mengajukan saran, tapi selalu kutolak mentah-mentah. Jadi beginilah sekarang, nasi sudah menjadi bubur. Mau bagaimana lagi. Toh aku bisa lolos seleksi Midori Magz meski tak memilih jalur prestasi non akademik saat masuk MHS.
“Terus kenapa tadi kamu bilang aku pasti lolos bahkan tanpa seleksi sekalipun?”
“Aku dengar dari Kakakku, katanya kepala sekolah melihat hasil tesmu saat masuk MHS dan melihat sertifikat lomba kepenulisan yang kamu ikuti. Lalu beliau manggil Kak Jojo biar kamu langsung diterima di Midori Magz, tapi dia menolak. Karena katanya kamu nggak masuk melalui program prestasi non akademik,” bisik Adelia hampir tanpa suara. Sepertinya dia khawatir kabar itu sampai didengar orang lain. “Kamu sih, bodoh banget jadi orang. Hal sepele kayak gitu aja nggak tahu.”
“Dih ngelunjak nih anak,” kataku pura-pura marah saat Adelia menyebutku bodoh. Tapi gadis itu justru tertawa memamerkan deretan giginya yang memakai behel. Bahkan Arata yang sedang fokus membaca komik pun ikut tertawa.
“Wah bisa tertawa juga dia ternyata,” celetuk Adelia membuat Arata melempar buku ke arahnya. Kini giliran aku yang menertawakan mereka.
***
Jam istirahat pertama dimanfaatkan ekskul Midori Magz untuk berkumpul di ruang redaksi. Agenda pertama, pengumuman hasil seleksi dari pengumpulan resume meski nama-nama yang lolos sudah tertempel di mading sekolah. Kedua, aku tidak yakin tapi sepertinya akan ada tes seleksi lanjutan entah berbentuk apa. Adelia berbisik di telingaku. Katanya, tugas kali ini akan berkaitan dengan peliputan langsung di lapangan.
Apa pun itu, dari 25 anak yang lolos seleksi hanya beberapa yang terlihat antusias. Termasuk aku dan Adelia. Lainnya terlihat putus asa meski belum tentu tugas selanjutnya akan seseram bayangan mereka. Entahlah, apa ini hanya pikiranku saja. Mereka seperti tertekan untuk mengikuti pertemuan pertama ini.
“So, saya ucapkan selamat datang di ekskul Midori Magz meski kalian belum sepenuhnya tergabung. Setidaknya kalian sudah menggugurkan 40 kandidat lainnya untuk bergabung di ekskul eksklusif ini,” kata Jonathan setelah yakin seluruh anggota baru yang lolos tahap seleksi awal sudah berkumpul semua.
Di samping kanan Jonathan duduk cowok lain yang kutandai sebagai ketua OSIS MHS. Sedangkan di samping kirinya, perempuan cantik berhijab duduk anggun sambil sesekali mencatat sesuatu di bukunya.
“Sebelumnya saya akan perkenalkan diri dulu. Mungkin beberapa udah ada yang tahu nama saya, tapi untuk lebih mengakrabkan diri saya perkenalkan lagi, Jonathan Laksamana Utama. Sedangkan di samping kanan saya tentu nggak asing lagi dong buat kalian? Silakan Ar, kenalkan diri kamu dulu.”
“Hei, selamat datang semua. Kabar kalian baik ‘kan? Karena ketua yang minta, oke kenalkan nama saya Ardian Setiawan seperti yang kalian tahu. Kalau Jojo berperan sebagai pimpinan redaksi Midori Magz, saya sebagai redaktur pelaksana. Oh ya, mungkin yang kemarin bertanya saya ikut ekskul apa selain sibuk di OSIS, di sinilah jawabannya,” ujar Ardian mencairkan suasana tegang. Dengungan lebah sempat memenuhi ruang bernuansa hijau itu. Lanjutnya,”Dan cewek cantik di sebelah sana, biar dia sendiri yang mengenalkan diri. ”
Giliran cewek berhijab itu, tak banyak yang diucapkan. Namanya Wahyu Natasha. Dia sebagai sekretaris redaksi. Selanjutnya Jonathan mengambil alih pembicaraan yang menjadikan suasana kembali suram. Entah mengapa. Toh cara bicaranya pun sama seperti Ardian, tidak terkesan mengintimidasi. Tapi saat ia berbicara tak satu pun dari orang-orang di sekitarku yang berani membuka mulut.
“Tegang banget ya? It’s okay, memang begitulah kalau ngobrol dengan saya kesannya suram. Beda banget sama Ardian ya. Udah deh Ar, kamu aja yang bacakan tugas mereka selanjutnya,” kata Jonathan meminta Ardian mengambil alih. Padahal kalau boleh jujur aku lebih suka cara Jonathan menyampaikan pengarahan.
“Wah, bagi-bagi kebencian nih kayaknya,” celetuk kak Ardian memantik tawa anak-anak di ruangan ini. Aku melirik Adelia, bahkan tubuh yang sedari dari tegang kini bisa rileks saat kak Ardian mengambil alih pembicaraan. “Oke, langsung ke intinya saja ya. Jadi sebelum kalian benar-benar resmi menjadi anggota ekskul Midori Magz dan mendapat id card - yang katanya seperti kartu sakti\, ada satu tahap tes lagi yang mesti kalian lewati. Dan… eh kasih backsound musik tegang kayak di TV dong, Jo.”
Guyonan Ardian lagi-lagi membuat riuh suasana. Hal ini justru membuatku jengah. Terlalu berbelit-belit, tak langsung pada intinya. Menyebalkan. Apa dia tak merasa bersalah jika ada jerit kesakitan perut yang segera minta diisi? Dih, Adelia yang tadi mengeluh lapar juga ikut tertawa karena guyonan receh Ardian.
“Oke deh saya nggak akan berlama-lama kasih pengumumannya. Kasihan perut kalian yang pasti udah kelaparan ‘kan? Jadi tugas kalian selanjutnya membuat esai tentang kearifan lokal kota kita minimal dua halaman A4. Kalau bikin resume maksimal dua lembar, sekarang minimal ya. Dan, esai yang kalian tulis harus berdasarkan liputan di lapangan. Jangan pernah copas dalam bentuk apa pun.”
Desahan panjang. Tugas kali ini kurasa memang cukup berat. Mungkin ringan menuliskan esainya, tapi embel-mebel hasil peliputan lapangan tentu tak semudah dalam bayangan. Sebagai mantan anggota majalah sekolah waktu SMP aku sudah pernah mengalaminya. Percayalah tak akan mudah memburu deadline jika mengisi waktu tanpa perencanaan. Bahkan tak jarang yang sudah direncanakan pun akan meleset dari prakiraan.
“Terakhir nih, kami sudah membagi nama-nama berikut untuk menuliskan tema yang sudah ditentukan.”
Lengkap ‘kan. Liputan lapangan dengan tema yang ditentukan. Aku bisa mengira mungkin ini salah satu yang membuat ruangan ini suram sejak pertama kali memasukinya. Terlalu banyak pengandaian dan ketakutan yang melingkupi ruangan ini.
“Hei time capsule, kamu dengar saya?”
Adelia menyenggol bahuku saat Ardian bertanya sesuatu. Aku mendengar dia mengucapkan time capsule. Yang dia maksud aku?
“Saya Kak?” tanyaku membuat cowok itu tertawa dan memperlihatkan giginya yang kecil serta berderet rapi. Orang jawa memakai istilah miji timun untuk jenis gigi Ardian. Tapi ah, sebodo amat lah itu. Terpenting sekarang mendengar tugas yang akan diberikan.
“Iya, kamu bertugas meliput tentang kesenian lokal bersama Adelia, Rere, dan…”
Tak peduli siapa pun itu. Fokusku hanya tertuju pada perintah peliputan tentang kesenian tradisional. Yosh, aku merasa energiku terisi penuh sekarang. Meski rasa lapar tak berhenti berteriak dari perutku.
Semesta Arata
Sudah dua hari Arata memperhatikan kelakuan sahabatnya. Cewek itu seperti orang yang mati enggan hidup pun tak mau. Kegiatannya hanya pergi ke perpustakaan atau kantin saat benar-benar merasa lapar. Bahkan dia terlihat sering membaca buku yang mungkin tak akan dibaca oleh Arata. Dari judul sampulnya saja sudah membuat bulu kuduk Arata meremang. Kearifan Budaya Lokal karya Setya Yuwana Sudikan. Menurutnya lebih mudah memahami rumus-rumus matematika atau fisika daripada membaca buku penuh deskripsi macam yang dibawa Ayyara.
“Ayyara-chan, makan dulu.”
Ini ketiga kalinya Arata mengingatkan Ayyara untuk memakan lebih dulu bekal yang dibawakan bunda. Sedang Arata sudah memakan habis bekal buatan neneknya. Cewek itu masih belum mengangkat wajah dari buku bacaannya.
“Ayyara-chan.”
“Eh, iya?”
“Makan dulu!” tegas Arata membuat Ayyara menyerah.
Dia menutup buku bacaannya dan menyimpannya dalam tas. Kali ini mereka memilih makan di dalam kelas daripada mencari tempat lain untuk memakan bekal. Ayyara sedang malas beranjak dari tempat duduknya.
“Aku bingung mau nulis tentang apa. Sebenarnya ada kesenian yang menarik, tapi tempatnya cukup jauh dari kota,” curhat Ayyara sambil memakan bekalnya.
“Aku mau antar kamu.”
“Mana boleh sama Bunda. Apalagi kita belum punya SIM.”
“Nggak ada yang dekat dengan kota?”
“Ada sih, tapi udah sering diulas. Kayaknya Adelia juga nulis tentang itu deh.”
Arata tak ingin bertanya “itu” tentang apa. Yang ada penyakit pikiran Ayyara akan menular dan menyebabkan dia tak bisa berkosentrasi pada pelajaran. Apalagi dia juga masih punya tugas untuk menyelesaikan promosi ekskul fotografi dari Metha. Jika tidak fokus, bukan hanya tugas Ayyara yang tak terselesaikan. Tugasnya pun terancam tak selesai juga.
“Ada rencana lain ‘kan?”
“Belum ada. Rasanya sih banyak kesenian tradisional lokal, tapi aku nggak punya ide buat nulisnya,” keluh Ayyara hanya dibalas senyuman Arata.
“Daijoube, kamu pasti bisa tulis laporannya.”
Arata menepuk punggung tangan Ayyara. Cowok itu selalu ingin memberi kekuatan pada sahabatnya bagaimanapun bentuknya.
“Arigatou, Arata-kun15).”
Semesta Ayyara
Halaman itu masih lenggang. Ini pengalaman pertamaku menjejakkan kaki di salah satu kampus yang ada di kotaku. Misi pertamaku adalah meliput tentang kesenian tradisional yang berkembang saat ini. Kenapa aku justru memilih kampus sebagai tempat peliputanku? Itu karena aku pernah bertemu dengan salah satu dosen yang juga pengamat budaya saat mengikuti lomba mading beberapa tahun lalu. Beliau menjadi salah juri saat itu.
Suasana kampus sungguh berbeda dari bayanganku selama ini. Banyak perempuan-perempuan bergaya borjuis menenteng jajanan di beberapa sudut. Sementara yang lain sibuk entah apa di balik laptop depan ruang kelas. Mungkin memanfaatkan wifi gratis.
Aku tak yakin mereka benar-benar searching sesuatu yang bermanfaat lewat aplikasi milik orang Amerika itu. Tebakku mereka memanfaatkan wifi untuk melihat fashion terbaru di toko-toko daring. Melihat dandanan mereka, aku sepenuhnya yakin tidak keliru.
“Eh lihat, lagi diskon nih,” seru seorang perempuan yang langsung disambut heboh beberapa temannya. Aku hanya tersenyum mengetahui tebakanku sepenuhnya benar.
“Nebak kegiatan orang lain lagi,” suara Mas Rama membuatku terkejut. Aku hanya memamerkan gigi.
Kali ini aku meminta bantuan Mas Rama karena dia yang punya akses untuk masuk ke kampus ini meski sudah berstatus sebagai alumni. Selain itu aku maupun Arata belum punya SIM untuk mengendarai motor. Jadilah Mas Rama yang menyempatkan waktu untuk mengantarku.
Kami berbelok ke sebuah ruang yang tampak terasa hangat di mataku. Aku bisa melihat bagian dindingnya penuh dengan bingkai-bingkai hitam saat membuka pintu. Beberapa tulisan mahasiswa mulai dari cerpen, puisi, maupun esai yang pernah dimuat di media cetak memenuhi sisi sebelah timur. Ada pula foto pementasan mata kuliah teater. Sedang di sisi barat, foto-foto Widji Tukhul, W.S Rendra, Goenawan Muhammad, Chairil Anwar terpampang gagah.
Kulihat dosen muda itu sedang merapikan beberapa buku di mejanya. Beliau tersenyum menyambut kami. Setelah menyampaikan maksud kedatangan kami, Mas Rama memilih menunggu di kantin daripada harus menemani aku wawancara.
“Bagaimana kabarnya Ayyara? Sudah lulus SMP ya sekarang,” sapanya sopan. Membuatku yakin bahwa beliau lah narasumber yang tepat untuk bahan tulisanku selain pelaku kesenian itu sendiri.
“Baik, Pak.”
“Gimana, apa yang bisa saya bantu nih?”
Aku tersenyum cerah mendengar tawaran beliau. Sepertinya aku memang tidak salah alamat.
Sepanjang hari beliau menjawab semua pertanyaanku. Sandur. Kata itu yang muncul setelah kuperhatikan layar komputerku beberapa hari. Kesenian tradisional asli milik kotaku yang menunjukkan geliat mati surinya.
***
Air mineral yang menemani kami berdiskusi hampir tandas. Pembahasan semakin seru. Obrolan masih seputar tradisi. Kami, orang Tuban menyebutnya sebagai sandur. Tak ada yang tahu pasti kapan kesenian tradisi ini pertama kali muncul. Kitab-kitab moyang tak menjelaskan. Budayawan lokal menerka-nerka. Pedoman waktu yang digunakan, ketika budaya animisme dan dinamisme masih lekat di tubuh masyarakat, mereka sudah mengenal sandur.
“Cukup lama juga ya berarti kesenian sandur itu, Pak?” gumamku di antara diskusiku dengan Pak Sarwo.
“Iya lah, itu sebabnya kenapa sandur jadi seni tradisi.”
Benar juga. Sandur memang sebentuk pertunjukan seni teater tradisional. Ia memiliki ciri-ciri tak jauh berbeda dengan teater tradisonal daerah lainnya, yaitu mempunyai sifat sederhana, serta memiliki filosofi dalam setiap penyajiannya. Aahh... bahkan kita dapat menemukan nilai yang terkandung dalam pertunjukan tersebut kental dengan sifat religius.
"Terus gimana perkembangan seni sandur saat ini, Pak?"
"Kembang kempis. Hidup tak mau, mati pun enggan. Mereka kehilangan minat pemain. Yah, meskipun masih ada beberapa sanggar yang memainkannya saat perayaan tujuhbelasan atau acara lainnya."
"Hehe... anak sekarang lebih suka main Mobile Legends, Pak," candaku membuat pak Sarwo tertawa.
"Padahal sandur bermula dari permainan anak-anak," imbuh Pak Sarwo setelah meneguk air mineralnya.
Benar juga, sandur pada perkembangannya menjadi sebuah produk kesenian yang bertumpu pada upacara ritual. Itulah sebabnya dalam penyajian sandur tidak jauh dari ritual pemujaan kepada benda-benda keramat.
Ada empat tokoh yang dikenal dalam permainan sandur. Mereka adalah Pethak, Balong, Tangsil dan Cawik. Uniknya pemain kesenian ini tak boleh diperankan oleh anak perempuan - meski tokoh Cawik sebenarnya adalah seorang perempuan. Dan itu pun tidak semua anak laki-laki, tapi mereka yang belum akhil balig. Apabila pemain sudah akhil balig dan harus diganti, pemain lama diwajibkan pentas dulu sebanyak 40 kali. Namun, hal ini hanya terjadi di kotaku. Di kabupaten tetangga, Cawik boleh diperankan anak perempuan.
Adegan bermula dengan ritual yang dilakukan olah seorang germo (atau dalang yang mengatur jalannya pementasan sandur). Dia bertugas membakar kemenyan dan melakukan berbagai ritual yang berkaitan dengan makhluk gaib. Ada beberapa mantra yang diucapkan agar sosok gaib yang dimaksud itu datang dan merasuki tubuh para pemain.
Lantas Pethak, tokoh sentra dalam pementasan terlihat mulai memasuki panggung. Sebagai anak petani miskin, dia berusaha mencari ngengeran (juragan). Semua jenis pekerjaan dilakoni. Mulai besik (menyiangi rumput), ngrakal (membajak tanah), ngluku (membajak tanah tahap pertama dengan bantuan hewan seperti sapi atau kerbau), ngaru (membajak tanah tahap kedua yang berfungsi meratakan sawah), sampai undoh-undoh (panen). Disusul Balong, Tangsil, dan Cawik yang mengambil perannya masing-masing.
Begitulah sandur dimainkan. Tapi pertunjukkan belum selesai. Bagian yang paling ditunggu penonton adalah kalongking. Di mana para pemain sandur di antara ketidaksadarannya melakukan atraksi di atas tali yang cukup besar dan kuat yang dibentangkan pada bambu setinggi 15 meter. Unik bukan?
“Syukurnya sandur sekarang sudah menjadi warisan tak benda yang diakui milik kota kita loh. Siapa tahu dengan begitu bisa membuat geliat sandur bangkit lagi,” kata Pak Sarwo di akhir wawancara kami. Aku tersenyum menanggapi pernyataannya. Ya, semoga saja.
\========
15. Bagi Arata panggilan -kun dari Ayyara selalu membuat perutnya bergejolak. Bukan karena sesuatu yang menjijikan. Entah mengapa ada perasaan melayang setiap kali Ayyara mengucapkannya. Dan cewek itu selalu tahu kapan harus bersikap begitu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments