Semesta Arata
Suara musik dari salah satu grup band asal Korea - C.N Blue - mengalun pelan dari kamar Arata. Dia tidak bisa tidur sebelum mendapat kabar dari Ayyara jika prakarya untuk resume Midori Magz sudah selesai dikerjakan.
Lelaki itu menatap langit-langit kamarnya. Glow in the dark berbentuk awan, bulan dan bintang berebut tempat siapa yang paling terang bercahaya. Sebenarnya itu ide Ayyara. Katanya agar kamar Arata terlihat lebih ceria. Sebab pembawaan Arata yang terkadang suram mempengaruhi suasana kamarnya. Cowok itu pasrah begitu saja saat Ayyara menempelkan glow in the dark yang membuat kamarnya terlihat jadi feminim.
Tak lama, Arata bangun dari tempat tidur dan mengambil air mineral yang tersedia di atas meja belajar. Dia menghabiskan dalam sekali teguk. Hawa dingin AC justru membuatnya lebih tegang menunggu kabar dari Ayyara. Seandainya ini belum tengah malam, tentu dia akan memilih menemani Ayyara sampai resume yang dibuatnya benar-benar selesai.
Untuk mengusir rasa bosan, Arata memilih duduk di ambang jendela dan memperhatikan kamar teman masa kecilnya yang masih menyala. Dia sengaja mematikan lampu kamarnya agar Ayyara berpikiran bahwa dirinya sudah tidur.
“Yosh, selesai juga!”
Hampir pukul 01.00 dini hari saat terdengar suara teriakan Ayyara. Dari kamar Arata, dia bisa melihat gadis itu merapikan hasil prakaryanya dan berjalan ke arah balkon. Khawatir Ayyara bisa melihatnya dari luar, Arata menenggelamkan kepalanya dari ambang jendela.
Sesaat kemudian Ayyara sudah tidak ada di balkon ketika Arata mengintip di balik tirai jendela. Lampu kamarnya pun sudah dimatikan. Sedang layar gawai yang digeletakkan di atas kasur berpendar.
Satu pesan dari Ayyara terpampang di layar enam inchi benda canggih itu.
Sengaja Arata tak membacanya agar tidak ketahuan kalau dia masih bangun. Biarlah besok dia bertemu Ayyara secara langsung.
Lelaki itu merebahkan tubuh ke kasur dan membiarkan kantuk diam-diam menguasainya.
* * *
Mata Arata belum benar-benar terbuka saat mendengar ketukan dari pintu kamar. Suara perempuan yang sudah tidak asing lagi menariknya dari dunia mimpi.
“Arata, kamu sudah bangun?”
“Ehmm…,” jawabnya dengan mata masih setengah terpejam.
Arata mengerjapkan mata. Jam di dinding kamar menunjukkan pukul 05.30 pagi.
Aktifitas utama saat bangun tidur ialah membuka jendela kamarnya lebar-lebar. Memandang cukup lama hingga penghuni kamar di seberang sana membuka pintu balkon dan menyapanya dengan senyuman. Kebiasaan itu sudah mulai terjadi sejak dia baru saja pindah ke kota kecil di ujung barat Provinsi Jawa Timur ini. Kota asal neneknya dari pihak ayah.
Kehidupan keluarga Arata cukup rumit. Untuk itu dia tumbuh menjadi anak pendiam dan cenderung bersikap dingin kepada orang lain. Untung dia tertolong dengan wajahnya yang terlihat ramah meski bukan begitu kenyataannya.
Satu-satunya orang yang memahami dengan baik hanyalah Ayyara. Oleh sebab itu, dia terkadang seperti ketergantungan pada teman masa kecilnya. Bahkan, sejak lulus sekolah dasar Arata tetap mengikuti kemana pun Ayyara akan bersekolah selanjutnya.
“Ohayou10), Arata-chan. Tidurmu nyenyak?” sapa gadis dalam lamunan Arata beberapa menit kemudian. Dia sudah berdiri di balkon kamarnya lengkap dengan seragam hari ini.
“Hemm… sudah selesai resume yang kamu buat?”
“Sudah dong. Buruan mandi lah, aku ke sana 10 menit lagi.”
Arata hanya membalas dengan senyum ringan. Cowok itu berjalan malas ke kamar mandi demi menuruti waktu 10 menit yang sudah ditentukan Ayyara. Bahkan sebelum ia benar-benar mengguyur badannya dengan air, suara cempreng Ayyara sudah terdengar dari gerbang rumahnya.
“Dasar, bocah.”
Gerutu Arata melanjutkan aktivitas paginya. Dia tak perlu khawatir Ayyara akan meninggalkannya berangkat sekolah lebih dulu.
Ayyara sedang bercerita dengan Nenek Lastri saat Arata selesai bersiap. Mereka mengobrolkan banyak hal saat bersama. Mulai hal remeh hingga permasalahan berat yang berkaitan dengan sejarah maupun budaya. Bagi Ayyara, Nenek Lastri serupa kamus yang bisa menjawab apapun pertanyaannya. Bahkan, perempuan 3/4 abad lebih itu lebih suka ngobrol dengan Ayyara dibanding dengan cucunya sendiri.
“Ah, sudah selesai dia rupanya. Obaa-chan sudah menyiapkan bekalmu. Ayo sarapan dulu,” ajak Nenek Lastri saat melihat Arata turun dari lantai dua.
Tanpa membantah perkataan neneknya, Arata duduk di meja makan sebelum memasukkan bekal yang sudah disiapkan. Tidak ada orang lain selain mereka bertiga. Cowok itu menghela napas panjang saat menyadari orang yang dia cari sudah tak terlihat.
“Ibumu ada pekerjaan ke luar kota yang harus diselesaikan. Ayahmu juga belum pulang dari kemarin. Ada urusan kantor yang tidak bisa ditinggal.”
“Ehmm…”
Tak ada lagi pembicaraan di meja makan selanjutnya. Mereka sibuk dengan piring masing-masing. Ayyara yang tak pernah absen sarapan di rumah pun tak bisa melewatkan masakan Nenek Lastri yang selalu terasa sedap di lidah. Terlebih saat Nenek Lastri menghidangkan opor ayam. Cewek itu pasti akan ketagihan dan tak bisa melewatkannya begitu saja.
“Nanti begitu sampai sekolah antar aku ke ruang redaksi Midori Magz ya?” tawar Ayyara saat mereka membersihkan piring bekas sarapan di dapur. Sedang cowok itu hanya diam. Sibuk dengan pikirannya sendiri. “Hello… anybody here?”
Masih tak ada reaksi dari Arata yang sibuk mencuci piring. Dengan kesal Ayyara mematikan kran dan memutar tubuh menjulang Arata - meski selisih tinggi mereka 15 centimeter, entah mengapa Ayyara selalu merasa tubuh cowok itu begitu tinggi - hingga mereka berhadapan.
“Ha, kenapa? Kamu bicara sama aku?”
“Yah, ngomong sama patung deh.”
“Maaf, aku…”
“Memikirkan okaasan11) dan otousan12) ‘kan?” tebak Ayyara tepat sasaran. Arata hanya membuang napas kesal. Dia tak pernah bisa menyembunyikan apa pun itu dari Ayyara.
“Ehmm… Ayo berangkat, nanti kita terlambat,” ajak Arata mengalihkan perhatian.
Dia tak mau pagi ceria Ayyara berakhir buruk hanya karena mood-nya yang jelek tiba-tiba. Bagaimanapun Arata harus menjaga mood Ayyara agar tetap baik karena hari ini cewek itu harus mengumpulkan resume Midori Magz. Seandainya ada hal sedikit saja yang membuat moodnya rusak, kemungkinan besar dia mundur dari Midori Magz akan terjadi. Dan Arata tak mau hal itu dilakukan Ayyara hanya demi menghiburnya.
“Dih, mengalihkan perhatian,” runtuk Ayyara saat Arata melangkah ke meja makan dan menyimpan kotak bekal dalam tas. Lalu melanjutkan aktivitas mencuci piring yang tertunda.
Semesta Ayyara
Aku menghirup udara segar Midori High School setelah dua hari libur usai MOS. Selain itu, MHS - aku lebih suka menyebutnya begitu - menerapkan sistem fullday school di mana hanya lima hari efektif saja. Sedangkan hari Sabtu biasanya dimanfaatkan untuk kegiatan ekskul. Karena kami - aku dan Arata - masih siswa baru dan belum bergabung di ekskul mana pun, makanya bisa menikmati dua hari libur.
“Antar aku ke ruang redaksi Midori Magz ya?” tawarku lagi saat memarkirkan sepeda bersampingan dengan milik Arata.
Jarak rumah kami lumayan dekat dengan MHS. Untuk itulah kami memilih naik sepeda meskipun okaasan sering kali menyuruh membawa motor. Toh murid-murid MHS juga banyak yang bersepeda karena menyesuaikan sistem sekolah adiwiyata yang diterapkan.
Tak ada jawaban dari cowok yang kini berjalan mendahuluiku. Sejak dari rumah saat mengetahui kedua orangtuanya tak bisa menemani sarapan, wajahnya menjadi suram. Meski terlihat tak peduli sebenarnya Arata selalu ingin makan bersama kedua orangtuanya. Sayang pekerjaan yang tak bisa ditinggalkan membuat mereka begitu sibuk di luar rumah. Bahkan melewatkan waktu yang selalu dirindukan oleh Arata. Oleh sebab itulah aku sering kali sarapan di rumah Nenek Lastri. Selain masakan wanita 3/4 abad lebih itu benar-benar enak.
“Hei, Arata. Dengerin aku nggak sih?”
“Iya, tapi kita ke mading ya.”
“Eh? Ngapain ke mading?” tanyaku hanya dibalas senyum kaku Arata. Dia selalu seperti itu jika ada hal yang kulewatkan. Apalagi kali ini yang luput dari perhatianku?
“Kita satu keras,” kata Arata saat sampai di depan mading.
“Hah?”
“Kamu tidak rupa kalau kita berum pembagian keras ‘kan?” Aku melongo mendengar pertanyaan Arata yang jelas-jelas tak kupahami maksudnya. “Keras kita saat MOS itu cuma sementara.”
Astaga! Aku menepuk keningku. Kenapa aku baru sadar sekarang. Untung Arata selalu lebih cepat tanggap perkara hal kecil seperti ini.
“Eh, kelasnya nggak disesuaikan hasil tes tuh? Kok aku bisa satu kelas sama kamu?” tanyaku penasaran. Sebab saat SMP aku tak pernah satu kelas dengan Arata karena pembagiannya disesuaikan dengan hasil belajar siswa. Pada intinya Arata selalu di kelas unggulan dan aku di kelas yang berisi siswa berkemampuan rata-rata.
“Di Midori High School nggak seperti itu. Jadi pembagian kelasnya seimbang antara yang pandai dan yang bodoh, agar semua pembelajarannya merata.”
Jawaban itu meluncur dari cewek berkacamata minus yang kini berdiri tepat di depan Arata. Dari penampilannya tentu bukan siswa baru yang hari ini masih berseragam putih biru karena memang seragam MHS belum dibagikan. Dan entah mengapa aku sebal dia mengucapkan yang pandai dan yang bodoh. Dia terkesan meremahkan.
“Si…”
“Hai, Haruto. Selamat pagi,” sapanya dengan senyum manis yang terkesan dipaksakan. Bahkan dia memotong kalimatku yang belum selesai. Menyebalkan. Dari mana sih Arata kenal dengan cewek model begini?
“Ah, ya.”
“Jadi ikut ekskul fotografinya?” tanya cewek itu membuatku paham siapa kira-kira kakak kelas yang sedang menyapa Arata.
“Ehm… Nanti saya serahkan berkasnya. Ah ya, Ayyara, dia Kak Metha ketua fotografi.”
“Oh, dia yang…” Sebelum tuntas perkataanku, Arata menginjak kakiku agar tutup mulut. Dia terkadang menjadi orang sok tahu dengan apa yang dipikirkan orang lain. Meski memang tebakannya selalu tepat. “Halo Kak Metha, kenalkan aku Ayyara,” elakku sambil mengulurkan tangan.
Cewek itu tersenyum lepas - lebih terkesan manusiawi dibanding saat pertama kali tersenyum tadi. Meski begitu tetap saja aku kesal padanya.
“Hei, salam kenal. Sudah ada pandangan mau ikut gabung dengan ekskul apa? Tertarik sama fotografi juga kah?”
“Ah, nggak Kak. Rencananya aku mau gabung Midori Magz.”
Kak Metha mengerucutkan bibirnya membentuk vokal o saat mendengar jawabanku.
“Seperti dugaanku, Midori Magz emang masih menjadi favorit.”
Selanjutnya Kak Metha meninggalkan kami setelah mengucapkan semoga beruntung kepadaku dan berpamitan pada Arata dengan menambahkan akan menunggu di ruang ekskul fotografi saat istirahat.
“Dia cewek yang kamu maksud ‘kan? Aneh,” komentarku saat memastikan Kak Metha benar-benar menghilang di antara kita.
Sebagai jawaban Arata hanya mengendikkan bahu dan melangkah menyusuri koridor menuju kelas X-B. Menyebalkan. Dia selalu menjadi manusia es jika moodnya sedang buruk. “*Baka!*13)”
Mendengar teriakanku Arata menoleh dan mengejarku yang masih berjalan jauh di belakangnya. Aku tertawa saat kami berlarian di sepanjang koridor menuju kelas. Setidaknya dia tertawa ketika menangkap tubuhku dan melayangkan jitakan keras di kepalaku.
***
Wajahku menegang saat menyadari apa yang seharusnya ada dalam tasku raib tanpa jejak. Adelia - teman yang duduk di depan bangkuku - terkejut saat menyadari perubahan raut wajahku. Sedangkan Arata yang duduk sebangku denganku terlihat panik.
"*Nani ga atano?*14)”
Suara Arata menyadarkanku jika kini aku berada dalam masalah cukup serius. Bahkan Adelia yang berencana menyerahkan resume untuk Midori Magz menangkap kecemasanku.
“Jangan bilang kamu nggak bawa resumenya!”
Badanku melemas di kursi. Arata melihatku dan Adelia bergantian. Lantas melotot tajam ke arahku.
“Serius kamu tidak bawa resume?”
Tidak, ini tak mungkin terjadi. Aku jelas-jelas sudah memasukkan dalam tas bersamaan bekal dari bunda. Bahkan aku masih melihatnya saat di rumah Nenek Lastri sebelum berangkat ke sekolah. Mana mungkin benda itu bisa raib begitu saja. Tak masuk akal.
“Nya, beneran kamu nggak bawa resumenya?” pertanyaan Adelia berdenging di kepalaku.
Masih mending jika itu memang benar-benar tidak kubawa. Nyatanya aku ingat betul benda itu sudah kumasukkan dalam tas dan aku betul-betul masih melihatnya saat menjemput Arata. Bagaimana mungkin bisa hilang?
“Tidak ada di rumah kata Bunda. Obaa-chan juga birang tidak ada,” kata Arata memberi informasi yang membuatku semakin limbung. Dia bergerak cepat dengan menelepon bunda dan Nenek Lastri untuk memastikan apakah hasil prakaryaku untuk Midori Magz tertinggal di rumah.
Tanpa sadar air mataku mengalir. Hasil kerja kerasku semalaman harus berakhir tak menyenangkan. Bahkan bisa membuatku terancam gagal bergabung dalam ekskul Midori Magz jika resume itu tidak ketemu.
“Kamu sudah masukan daram tas? Tidak ada yang rubang ‘kan?”
Aku hanya menggeleng lemah menjawab pertanyaan Arata. Toh kalaupun tasku lubang tentu bakal jatuh di keranjang sepeda. Nyatanya saat sampai tempat parkir tak ada benda yang jatuh dari dalam tasku.
“Oke, aku akan bantu. Ayo buat lagi. Aku masih ingat resume yang kamu buat.”
“Aku bantuin juga deh. Nanti aku bisa minta tolong kakakku buat cetak resumemu. Kebetulan dia kerja di bagian TU.”
Arata dan Adelia sibuk menyiapkan bahan untuk membuat resume. Arata bahkan sudah mulai mengetik di notebook yang tak pernah absen dibawanya sejak SMP. Sedang aku masih sibuk dengan pikiranku sendiri di mana kira-kira benda itu hilang. Atau lebih tepatnya siapa yang mengambil benda itu? Apakah ini semacam cara agar aku gagal mengikuti seleksi Midori Magz? Tapi untuk apa sampai berbuat sejauh itu?
“Aku sudah mengetik urang. Daijoube. Kamu pasti bisa ikut seleksi,” kata Arata masih sibuk berkutat di hadapan notebook-nya. Sedangkan Adelia terlihat harap-harap cemas di tempat duduknya.
Aku tak tertarik lagi harus mengulang resume yang telah kubuat dari awal. Biar saja aku bergantung pada kemampuan otak Arata yang bisa menghafal dengan mudah apa pun yang telah dibacanya. Jika memang tak bisa mengejar deadline hari ini pun, aku bisa mencobanya tahun depan.
Semesta Arata
Waktu istirahat hampir selesai saat Arata menuju ruang ekskul fotografi. Akibat resume milik Ayyara yang akan dikumpulkan hari ini hilang entah ke mana, dia harus menuntaskan persoalan temannya itu. Baru dia pergi ke ruang ekskul fotografi setelah memastikan Ayyara menyerahkan resumenya. Meski tak sesuai dengan hasil karya sebelumnya, setidaknya ada bagian yang bisa ditulisnya untuk menggenapkan dua halaman A4 meski itu batas maksimal.
Sisi jelek Ayyara yang tak bisa dihilangkan sejak dulu, cewek itu selalu mudah putus asa dengan apa pun kesusahan yang dialaminya. Seandainya Arata dan Adelia tidak membantunya tadi, pasti cewek itu memilih tidak jadi bergabung dengan Midori Magz.
“Hei, kamu gabung juga akhirnya,” seru Metha saat Arata membuka pintu ruang ekskul fotografi.
Di sana ada dua anggota lain yang dulu sempat dilihat Arata saat MOS. Cowok itu membungkuk sebelum akhirnya melangkah ke arah Metha untuk menyerahkan lembar formulir dan beberapa hasil jepretannya.
“Iya.” Arata menjawab kaku.
“Jangan sungkan-sungkan. Sini duduk dulu. Kenalkan juga, dia Boris dan satunya yang pakai jaket coklat Anugrah.”
Mendengar penjelasan Metha, Arata menyalami mereka berdua yang disambut senyum kaku. Boris terlihat seperti cowok cupu dari penampilannya. Sedangkan Anugrah seperti preman sekolah yang tak pernah masuk kelas. Bahkan Arata berani jamin, dia mencium bau rokok dari mulutnya.
“Saya permisi, Kak. Ehm, tapi kapan kita mulai kegiatan?” tanya Arata berhati-hati dengan ucapannya. Dia tidak mau jika ke depan aksen berbicaranya menjadi penghalang mengikuti kegiatan ekskul.
“Nanti kita hubungi kalau sudah dapat sepuluh anggota. Kamu tahu ‘kan, klub kita terancam dibubarkan kalau nggak ada yang mau gabung,” timpal Anugrah sebelum Metha menjawab pertanyaan Arata. Cewek itu hanya melotot ke arah Anugrah meski samar.
“Baik, saya permisi Kak,” pamit Arata sekali lagi.
“Oh iya, gimana temanmu, apa dia jadi bergabung di ekskul Midori Magz?” pertanyaan Metha menghentikan langkah Arata menuju pintu. Cowok itu menoleh ke arah Metha yang kini fokus pada foto-foto Arata. Sesaat tadi, cowok itu sempat menangkap gejolak emosi yang tak biasa dari nada bicara Metha.
“Ya, dia jadi ikut Midori Magz.”
“Syukurlah kalau gitu,” ucap Metha sambil terus fokus pada foto-foto hasil jepretan Arata.
Sepeninggalan Arata dari ruang ekskul fotografi, entah mengapa perasaannya jadi tidak enak. Pikirannya dipenuhi tentang Ayyara dan hilangnya resume cewek itu untuk Midori Magz.
\=======
10. Akibat sering menonton anime\, Ayyara lebih sering mengucapkan selamat pagi dalam bahasa Jepang. Kata gadis itu\, pegucapan selamat pagi dari negeri sakura itu terdengar bersemangat di telinganya.
11. Ayyara meniru apapun yang diucapkan Arata saat memanggil anggota keluarganya. Termasuk memanggil ibu dengan sebutan okaa-san.
12.Dan Otousan saat memanggil ayah Arata.
13. Meneriaki Arata dengan istilah baka lebih mudah mendapat responnya dibanding kata bodoh. Karena itu aku selalu menyebutnya baka jika dia sudah berubah menjadi manusia super menyebalkan. Hanya demi melihatnya tersulut amarah dan akan segera membaik sesaat kemudian.
14.Saat panik Arata selalu berbicara dalam bahasa ibunya. Bahkan kini pun untuk bertanya apakah terjadi sesuatu padaku, dia dengan lancar berbahasa ibunya daripada tempat dia tumbuh sejak delapan tahun lalu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments
H.N Alfarin
Hi aku mampir membawa like untuk mu.
Mampir juga ya di tulisan aku
MENAPAK SENJA dan
KANDAS
2020-06-05
0
𝙽𝚊𝚛𝚊 𝚁𝚊𝚑𝚖𝚊
jadi ikut panik sendiri masa pas resume ayyara hilang 🤦🏻♀️
2020-04-02
0
melniss
haii aku mampir + boom like..!!
semangat teruss ya thorr
Btw mampir plus feedback novelku yuk
2020-03-29
1