Chapter 03 : Pertaruhan

Semesta Ayyara

Aku tak terlahir dari cerita-cerita lama macam Mahabarata ataupun Ramayana. Tapi aku merasa ada bagian dalam tubuhku yang diwariskan dari kitab-kitab usang. Bukan mereka yang beradu alur dalam tokoh pewayangan. Kisah mereka yang menjelma dalam tubuhku terasa lebih baru.

Ken Arok, patih yang bersumpah Palapa, empu pembuat senjata yang pernah menghuni desa tempat kelahiran ibuku, putri yang rela nyepi dan akhirnya moksa, bidadari swargaloka, semua terpatri di setiap inchi tubuhku.

Pernahkah kau mendengar cerita tentang bidadari Nawang Wulan?

Atau membuka kitab-kitab yang diturunkan pewarismu?

Bagiku, nama Nawang Wulan tak lagi asing. Sejak sekolah dasar, aku sudah terbiasa mendengar kisah raja-raja, putri kerajaan-kerajaan Jawa, bahkan mereka yang menjelma dari gaib.

Aku tumbuh bersama cerita tentang mereka. Entah dari lisan bunda atau buku-buku yang telah menguning di perpustakaan sekolah dasar.

Mungkin itu semacam pembelaan agar aku tak dianggap terlalu modern. Entah mengapa pula, aku juga tak ingin dianggap anak zaman milenial atau bahkan dianggap anak generasi Z yang katanya lebih suka melakukan apapun melalui dunia berlayar enam inchi. Aku takut orang lain mencemooh hanya karena istilah milenial atau “hei, Z”. Aku lebih suka dikenal sebagaimana seutuhnya diriku. Ayyara Ratri Raveena. Perempuan Jumat Pahing yang ingin selalu hidup dalam tradisi meski tak juga menolak modernisasi.

Maka anggap saja aku seorang perempuan jawa yang ingin berpandangan modern tanpa melupakan dari mana akarku berasal. Tanah para raja menguasai nusantara.

Atau anggap diriku seperti Faust yang dikawinkan dengan Arjuna. Kedua tokoh itu digunakan Sanusi Pane untuk mengawinkan budaya barat (Faust) dengan budaya timur (Arjuna) pada masanya. Semacam benteng pertahanan agar sebagai orang timur bisa memilah apa yang ditawarkan barat—orang-orang kulit putih tanpa melupakan akarnya. Maka aku lebih suka menyebut diriku sebagai hasil perkawinan Faust dan Arjuna.

Kupertegas sekali lagi. Aku hasil perkawinan dari Faust dan Arjuna.

 

Kursor di layar komputerku berkedip. Kupandangi irama itu serupa denyut nadi. Otakku mendadak tak ingin diajak berpikir. Padahal, besok batas akhir pengumpulan naskah sebagai syarat utama mendaftar di ekskul Midori Magz sebelum dilanjut dengan sederet tes lainnya.

Pertama, peserta dituntut mengenalkan siapa dirinya dalam bentuk tulisan maksimal dua halaman A4. Sedangkan otakku hanya mampu berpikir setengah halaman A4 sejak usai sholat Isya’. Alhasil, sampai selarut ini aku berusaha menyelesaikan tugas itu.

Kupandangi kamar di lantai dua yang berseberangan dengan kamarku. Lampu ruangan itu masih menyala. Aku membuka pintu pembatas kamar dan balkon yang menghadap ke rumah di seberang. Tepat ke arah jendela yang lampunya masih menyala. Aku tahu pemilik kamar itu juga belum memejamkan mata. Seandainya jam mungil di meja belajar belum menunjukkan pukul 11.00 malam, aku pasti memaksanya membuka jendela.

"Tapi kalau kamu membuka pintu sekeras itu juga aku pasti dengar," kata Arata tiba-tiba, seolah menjawab keraguan dalam benakku. Dia membuka pintu ke arah balkon kamarnya yang mengarah tepat ke kamarku. Saling berhadapan dan hanya terpisah beberapa meter saja. “Sudah rampung tugasmu?”

“Entahlah, aku nggak tahu punya kelebihan apa yang bisa dibanggakan.”

“Kamu bisa menulis ‘kan?”

“Dan anggota Midori Magz juga semuanya bisa menulis ‘kan?” kataku membalas pertanyaan Arata. Cowok itu hanya nyengir menanggapi perkataanku.

“Boleh aku ke sana?”

Kebiasaan, Arata pasti akan ke balkon kamarku jika pembicaraan kami tak juga memiliki ujung. Sebelum aku setuju, cowok itu sudah meloncati balkon kamarnya dan menjejakkan kaki di dahan pohon mangga yang menghubungkan kamar Arata dengan balkon kamarku. Kami sering melakukannya sejak kecil. Pohon mangga yang tumbuh di rumah nenek Arata memudahkan kami melakukan hal-hal nakal seperti ini. Terlebih pohon itu tumbuh tepat di samping balkon kamar Arata dan menjulur ke arah balkon kamarku.

Pernah suatu ketika nenek Arata ingin memangkas pohon itu saat kami berusia sepuluh tahun. Tapi Arata menangis histeris dan tak mengizinkan siapa pun menebang pohon itu. Jadilah pohon mangga itu tetap tumbuh subur hingga kini. Pohon itu pula lah yang menjadi saksi kenakalan kami berdua sampai detik ini.

“Obaa-chan7) pasti marah kalau tahu kamu ke kamar gadis perawan saat jam malam,” godaku saat Arata sudah berhasil menjejakkan kaki di balkon kamar.

“Tidak apa-apa, aku sudah biasa dimarahi.”

Arata memilih duduk di kursi lantai. Sedangkan aku masih menopang dagu di pembatas balkon. Mengamati bintang yang entah sejak kapan hanya terlihat satu atau dua saja.

“Menurutmu apa yang perlu kutambahkan untuk resume Midori Magz?”

“Aku boleh lihat?”

Tanpa menunggu persetujuanku, Arata berdiri dan menuju ke arah meja belajar. Dia duduk di depan komputer dan sibuk membaca resume yang belum juga kuselesaikan. Sesekali dia memainkan tetikus untuk menggeser halaman word di komputerku.

“Harus dikumpulkan daram bentuk kertas ya?” tanya Arata setelah membaca resume yang kubuat.

“Hmm… begitu lah.”

“Apa kamu tidak ingin membuat sesuatu yang beda? Menggunakan power point?”

Arata memberi usul yang sebelumnya tidak terpikirkan olehku. Aku menyusulnya ke dalam dan membaca ulang syarat untuk bergabung di ekskul Midori Magz. Poin nomor empat menyebutkan jika resume ditulis atau diketik di halaman A4 Ms. Word maksimal dua halaman.

“Lihat poin empat.” Aku mengulurkan kertas pada Arata agar dia membacanya.

“Kenapa tidak fokus pada poin rima?”

Syarat pendaftaran kembali diangsurkan padaku. Kubaca ulang persyaratan itu dengan suara keras. “Buat resume kalian sekreatif mungkin yang menunjukkan dirimu sesungguhnya. Arata… arigatou8),” kataku sambil mencubit pipi Arata karena gemas.

Lelaki itu hanya meringis merasakan sensasi panas di pipinya. Sedang aku hanya tertawa. Lupa mengontrol suara kalau ini sudah pukul setengah 12 malam dan Arata masih berada di dalam kamarku. Untung bunda dan kedua kakakku sudah tidur sejak tadi. Jika belum, pasti mereka akan benar-benar menebang pohon mangga milik Nenek Lastri dengan dalih demi kabaikan kami berdua.

Sebenarnya aku memiliki tiga saudara. Kakak perempuan pertamaku sudah menikah dan tinggal di Surabaya bersama keluarganya. Sedangkan kedua kakak lelakiku yang belum berkeluarga masih tinggal bersama bunda. Kami tinggal berempat, bunda, Mas Aditya, Mas Rama dan aku. Ayahku sudah lama meninggal saat aku masih balita. Mereka lah yang menjadi penggati ayah. Jadi meski tanpa kehadiran sosok ayah dalam hidupku, aku tak pernah kesepian karena ada mereka. Toh dengan begitu aku menjadi pribadi yang cenderung mandiri.

"Jadi apa yang kamu pikirkan?"

"Ah ya, sesuatu yang kreatif seperti kamu bilang," kataku setelah sadar dari lamunan.

Aku bergegas mengambil kotak kado berukuran besar di atas almari. Ada beberapa bahan prakarya yang kusimpan di sana. Mulai kertas karton, kain flanel, perca, berbagai macam lem, klip kertas, hingga berbagai jenis bahan-bahan lainnya.

“Apa yang mau kamu buat?”

“Sesuatu yang menunjukkan siapa diriku. Ayyara Ratri Raveena,” balasku sambil memamerkan sederet gigi kepada Arata.

Lelaki itu membalas senyumku sambil menepuk-tepuk ujung kepalaku. Sikapnya yang seperti itu bahkan terasa lebih manis dibanding kedua kakak lelakiku yang lebih banyak bertingkah rese. Dalih mereka karena tak ada yang bisa dikerjain seperti aku saat di tempat kerja. Huufffttt... Menyebalkan bukan.

“Aku pulang, ya. Oyasuminasai9),” pamitnya sebelum melangkah ke batang pohon mangga yang menjulur ke balkon kamarku untuk kembali ke kamarnya.

“Ehm… nanti aku kabari kalo udah selesai,” balasku tanpa melihat kepergian Arata. Aku masih sibuk memotong kain flanel warna biru langit berukuran 21 x 27,9 centimeter. Malam ini aku harus menyelesaikannya jika tak ingin gagal mendaftar di ekskul Midori Magz.

 

 

\========

7. Aku jadi ikut memanggil Nenek Lastri dengan sebutan obaa-chan seperti Arata. Bahkan sekarang rasanya aneh kalau memanggil tetangga di samping rumahku itu dengan sebutan nenek.

8. Aku lebih suka mengucapkan terima kasih dalam Bahasa Jepang. Itu salah satu kata yang menjadi favoritku.

9. Mungkin ini salah satu keberuntunganku berteman dengan Arata. Di saat remaja seusiaku mendambakan seseorang mengucapkan selamat tidur\, tanpa diminta Arata sudah melakukannya. Hehe… meski itu sebenarnya cara budaya nenek moyang Arata.

Terpopuler

Comments

Zullya dewi Suryani

Zullya dewi Suryani

tulisan Yoru tu keren2 tp knp yg like sedikit

2021-01-02

0

𝙽𝚊𝚛𝚊 𝚁𝚊𝚑𝚖𝚊

𝙽𝚊𝚛𝚊 𝚁𝚊𝚑𝚖𝚊

kok mereka jadi manis juga sebagai couple 🙈
harus dinamai? danggo couple? atau mochi couple?

2020-04-02

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!