Cinta bukan mengajar kita lemah, tetapi membangkitkan kekuatan. Cinta bukan mengajar kita menghinakan diri, tetapi menghembuskan kegagahan. Cinta bukan melemahkan semangat, tetapi membangkitkan semangat. [Buya Hamka]
Ya Dimas ingat sekali kata bijak dari Buya Hamka tokoh ternama dari Minang itu yang menjadi panutannya. Cinta? Bagi Dimas kini cinta adalah keluarganya yakni Bapak, Ibu, Mas Arya dan Dina hanya itu tidak ada lagi yang terselip dalam hatinya. Seperti tabrakan 6 tahun lalu yang membawa cintanya menjadi luka, selain luka fksik juga luka mental setelahnya. Dimas masih takut itulah yang dirasa hatinya.
"Dimas, Bapak ingin bicara serius sama kamu," ucap Bapak setelah keluarga pak Jajang pergi dari setengah jam yang lalu.
"Iyo pak?" tanyanya dengan bimbang.
"Bapak tahu kamu masih ingin hidup bebas dengan kesendirian kamu, tapi kamu tidak mungkin kan terus hidup sendiri sementara umur terus bertambah tiap jam, menit dan waktu kamu butuh pendamping untuk mengurus kamu dan menemani masa tua kamu," ucap Bapak yang membuka kaca matanya dan mengelap dengan tisu.
"Maksud Bapak bagaimana?" tanyanya membenarkan posisi duduknya yang mulai gelisah.
"Bapak ingin kamu menikah Dimas, kamu sudah dewasa umurmu juga sudah cukup untuk berumah tangga, mulailah membuka hati kamu dan memulai hidup baru jangan karena kamu trauma dengan masalalu kamu jadi takut untuk memulainya." ucap Bapak menatap serius pada Dimas.
Dimas hanya menunduk dan mencermati perkataan Bapaknya, beliau tahu hubungannya dahulu dengan Friska membuatnya trauma, dan kini Dimas belum siap untuk mencintai kembali.
"Boleh Dimas pikirkan dulu Pak? Dimas tidak mau salah memilih Dimas sudah dewasa, akan lebih baik jika memulai hubungan dalam tahap pengenalan dulu, Dimas tidak ingin menyesal untuk selamanya karena bagi Dimas menikah itu hanya sekali," ucapnya menatap Bapak dengan penuh keyakinan.
Bapak hanya tersenyum kearah Dimas, ia juga kemudian menepuk bahu Dimas dan beranjak pergi ke kamarnya. Jika dibilang Bapaknya tidak pernah memaksanya ia juga tidak mendesaknya, Dimas belum memikirkan untuk menikah dalam usianya sekarang, namun Dimas juga tak mungkin berlarut dalam trauma yang pernah ia alami di masalalu.
*-*-*-*-*
Dimas kembali ke kantornya setelah sehari kemarin ia meliburkan diri karena Bapak memintanya, Dimas masih teringat perkataan Bapak untuk menikah, dan Dimas juga masih binggung bagaimana ia akan memutuskan keinginan Bapak.
"Pak Dimas?" ucap Kirana terkejut saat Dimas berdiri di teras rumahnya.
"Mm, ayo kita berangkat," ajak Dimas salah tingkah.
"Saya bawa motor aja pak, gak enak nanti sama karyawan lain," ucapnya sopan
"Saya sudah berjanji sama Bapak dan Ibu jadi tidak mungkin kan saya mengingkarinya," ucap Dimas.
Dimas berjalan kearah mobil setelah berpamitan pada Mamah dan Papah Kirana.
Hari ini Dimas harus menepati janjinya menjemput Kirana karyawannya yang juga calon istri yang dijodohkan Bapaknya, Dimas bukannya enggan dijodohkan dengan Kirana, jika di lihat-lihat Kirana manis dengan hijab yang ia pakai.
Badannya tidak berisi namun tidak terlalu tinggi kira-kira hanya 160 tingginya, kulitnya tidak terlalu putih namun Kirana terlihat lemah lembut dan sopan memang jika di banding Friska mantannya yang bak model memang jauh berbeda namun dalam tingkah lakunya Kirana benar-benar anggun.
"Maaf Pak jadi merepotkan," ucap Kirana menundukan kepalanya.
Dimas binggung dan salah tingkah, ia masih tetap fokus menyetir, ia tak mau jika Kirana berpikir yang tidak-tidak bahkan menjadi takut padanya karena ia atasannya.
"Kamu sudah berapa lama kerja di Astra?" tanya Dimas memecahkan keheningan.
"Dua tahun Pak," ucapnya.
Dimas terdiam sebentar, sudah dua tahun Kirana bekerja di perusahaannya namun tak pernah sekalipun Dimas melihat dan bertemu Kirana, apakah Dimas selama ini terlalu sibuk pada urusannya sendiri tanpa peduli karyawan bahkan tak tahu siapa karyawannya? Dimas mencoba menelaah dirinya.
"Maaf saya tidak pernah tahu kamu bekerja di tempat saya, mungkin saya selalu sibuk jadi tidak pernah memperhatikan karyawan," ucap Dimas dengan tatapan lurus ke depan.
"Tidak apa-apa." ucapnya ramah.
Dimas terjebak macet di perjalanan, ia jadi merasa makin canggung berada bersama Kirana yang sedari tadi menunduk sambil memeluk tasnya, Dimas melirik ke arah Kirana tampak memang Kirana anak yang baik terlihat dari cara ia berbicara dengan sopan baik pada orang tua dan padanya, Dimas menjadi bimbang sendiri.
"Soal perjodohan kita, apa kamu sudah tahu? Apakah kamu setuju?" tanya Dimas dengan tangan masih memegang stir.
"Saya sudah tahu waktu itu Bapaknya pak Dimas datang ke rumah, hanya saja saya tidak tahu kalau beliau Bapak Pak Dimas, saya hanya tergantung Papah sama Mamah yang memilih saja," ucapnya menatap Dimas sebentar kemudian menunduk kembali.
Dimas menyenderkan badannya kebelakang kursi, ia yakin jika keluarga Kirana pasti akan menyetujui perjodohan mereka karena Kirana hanya menuruti orang tuanya, Dimas binggung bagaimana dengannya
"Saya belum terlalu mengenal kamu begitupun sebaliknya, saya tidak menolak perjodohan ini hanya saja bisakah kamu sedikit bersabar dengan saya, sekarang kita mulai saling kenal-mengenal dulu?" ucap Dimas menghadap Kirana seraya memberikan tangannya untuk di jabat dan Kirana dengan sopan menjabatnya seraya tersenyum pada Dimas.
*-*-*-*-*
3 bulan berlalu kedekatan Dimas dan Kirana sudah terjalin, mereka memutuskan untuk menikah bulan depan tepatnya di awal bulan. Karyawan lainnya pun sudah mengetahui kabar tersebut beruntung tidak ada gosip simpang siur tentang kedekatan mereka karena Kirana sudah resign dari kantor sebulan yang lalu.
Dimas memang belum mencintai Kirana namun ia sudah merasa nyaman dengan Kirana, ia selalu perhatian dan juga baik pada Dimas terutama selalu sabar pada Dimas yang tipikal cuek padanya dalam hal apapun, seperti sekarang untuk persiapan pernikahannya saja Dimas masih harus di suruh Bapak dan Ibu menemani Kirana pergi ke Butik memilih gaun pernikahan mereka yang akan mengandung unsur adat Sunda yang kental.
"Mas Dimas gak kerja?" tanya Dina.
"Ndak dek, Mas mau nganteri Mbak Kirana buat fitting baju," ucap Dimas bersandar di kasurnya sambil memainkan game di ponselnya.
"Mas Dimas beneran mau nikah?" tanyanya dengan mata berkaca-kaca.
"Inshaallah Dek, Mungkin udah jodoh Mas datangnya sekarang ," ucapnya menatap sekilas Dina kemudian kembali fokus pada ponselnya.
"Kalau Mas udah nikah, Mas gak bakal tinggal di sini lagi terus Mas jarang ketemu sama Adek, nanti Adek gak dianterin Mas lagi berangkat sekolahnya," ucapnya dengan mata yang sudah berbinar.
"Dek, semua orang pasti punya jodohnya, ketika dia udah ketemu jodohnya pasti akan berumah tangga dan memulai kehidupan baru, Nanti juga Dina kan bakal punya suami punya keluarga baru juga pasti kehidupan kita bakalan berubah," ucap Dimas menutup ponselnya dan menatap Dina.
"Mas Dimas bilang katanya gak bakalan nikah dulu, tapi sekarang malah udah nikah, Adek cuman takut Mas Dimas nanti gak sayang lagi sama Dina dan cuekin Dina gara-gara udah punya istri kayak Mas Arya," ucapnya kemudian mengeluarkan air matanya.
Dimas menatap Adiknya itu dan memeluknya membiarkan ia menangis sebentar untuk menumpahkan apa yang ada di dalam hatinya, bagaimanapun Dimas paham ketakutan Dina, dulu Arya kakak Dimas setelah menikah jarang sekali berkunjung ke rumah bahkan jika pun berkunjung ia tak pernah menyapa atau menanyakan kabar Dina juga Dimas karena fokus pada kerjaan dan istrinya dan kini beliau sudah pindah ke Bogor bekerja di sebuah perusahaan disana bersama sang Istri dan anaknya, dan Dina tahu hanya Dimas lah yang perhatian dan selalu menjaganya dan ia akan takut jika Dimas menikah Dimas akan melalukan hal yang sama seperti Arya.
"Mas mungkin kalau sudah menikah gak akan tinggal di sini lagi, Mas kan sudah bangun rumah juga dan nanti tinggal sama Istri Mas, tapi bukan berarti Mas jadi lupa sama keluarga apalagi sama Adek Mas yang cantik ini, Mas memang gak akan sedekat ini lagi nanti tapi hubungan kakak-adek itu gak ada akhirnya kita tetap bersaudara hanya Mas nanti akan menganti status, kamu memang mau gitu Mas di bilang bujang Lapuk padahal muka Mas kayak opa-opa korea yang kamu suka itu lho," ucapnya.
"Ihh Mas mah kalau di ajak ngomong serius gitu mulu," ucapnya memanyukan bibirnya.
"Habisnya kamu tuh nangis mulu kan Mas jadi gak tega lihatnya, Mas gak mau kamu nangis kamu tuh cewek jangan nangisin hal yang gak penting lagian Mas juga pengen punya istri punya anak juga, nanti kalau kamu udah lulus terus nikah duluan dari Mas kan Mas nanti sendirian dan kamu ikut sama suami kamu." ucapnya.
"Maafin Adek Mas, Adek terlalu manja ya sama Mas sampai gak rela Mas Dimas nikah terus berbagi kasih sayang sama perempuan lain," ucapnya menatap Dimas.
Dimas menatap Adiknya yang menghapus air matanya, Dimas yang gemas dengan Adiknya itu malah meniup kerudung sang adik dan membuat Dina geram karena ulah jail sang Kakak yang menyayanginya itu.
"Mas ih kerudung Adek nanti kusut," ucapnya merapihkan kerudungnya.
"Nukan kerudung kamu yang kusut, muka kamu tuh kusut banget kayak kaset rusak ah pokoknya lebih parah deh kayaknya," ucapnya tertawa.
Dina membelalakan matanya dengan ledekan Dimas, namun semenit kemudian dia ikut tertawa dengan guyonan sang kakak, ada sedikit kelegaan bagi Dimas melihat adiknya tertawa bersamanya meskipun ia tahu mungkin ia juga akan kehilangan sang adik setelah menikah nanti karena mereka tidak akan sedekat ini lagi.
"Mas, Adek mulai besok gak usah di antar lagi, Adek mau naik ojeg online aja kemaren baru lihat ada di deket sini," ucapnya.
"Lho kenapa? Gapapa kali Mas antar kan Mas belum nikah, nikahnya bulan depan," ucap Dimas.
"Mas tuh Nikahnya dua minggu lagi tahu, terus kan Adek juga mau belajar berangkat sendiri tanpa Mas Dimas biar terbiasa juga berangkat tanpa Mas, terus kata Ibu Mas mulai minggu depan di pingit, "ucapnya tersenyum.
"Ah kamu gak mau nyelamatin Mas? Mas gak mau di pingit udah kayak anak kecil di hukum mendingan Mas anterin kamu sekolah aja," ucapnya merayu.
"Nggak ah, gak boleh pokoknya Mas harus setuju di pingit soalnya Adek udah janji sama Ibu mau berangkat sendiri, lagian Mas kenapa gak mau di pingit sih jangan-jangan mau kabur yaa?" selidiknya.
"Suudzon aja kamu, ya sudah gih kamu siap-siap berangkat sekolah," ucap Dimas.
"Libur Mas, kan sekarang hari minggu," ucap Dina.
"Lah iya yah hari minggu, eh terus kenapa kamu nanyain Mas kerja kan udah tahu kantor libur dek hari minggu," ucapnya setelah sadar hari ini hari minggu.
"Kan biar ada basa-basi Mas," ucapnya kemudian pergi dari kamar sambil nyengir.
Dimas hanya tertawa melihat kelakuan Adiknya itu, Tanpa mereka sadari sedari tadi Ibu memperhatikan dan mendengarkan percakapan mereka di balik pintu, tadinya Ibu mau membangunkan Dimas namun Dina sudah masuk duluan dan berbicara serius, Ibu yang merasa tidak enak karena Dina berbicara serius akhirnya mendengarkan percakapan kedua anaknya itu, Ia bersyukur anaknya bisa rukun dan damai dan beruntung mereka saling mengerti satu sama lain.
*-*-*-*-*
Hari ini Anindira kembali ke Bandung setelah 6 bulan lamanya ia tidak pulang, ya ia sudah berada di Jogja kurang lebih 3 tahun, kini kuliahnya hampir semester akhir dan sebentar lagi ia akan wisuda dan itu yang ia impikan, memakai toga dan tersenyum bahagia di depan kamera.
Sudah selesai UAS, Anin libur kurang lebih dua minggu, ia memutuskan untuk pulang ke Bandung terlebih sang Kakak yang ia sayangi akan menikah minggu depan dan ia tidak sabar untuk bertemu kakak kesayangannya itu.
"Assalammualaikum. " ucap Anindira membuka pintu.
Seperti biasa rumahnya memang selalu sepi dan sudah ia sudah terbiasa pulang tanpa sambutan dan pelukan. Anindira terdiam sejenak kemudian mengukir senyum dan langsung menyeret kopernya ke dalam kamarnya yang ia rindukan.
Sejak kecil Mamah dan papah
nya selalu sibuk bekerja, Papahnya yang seorang seorang penjabat jarang berada di rumah, dan Mamahnya ia juga sering pergi untuk acara karena Mamahnya juga bekerja di Instansi yang sama dengan suaminya itu.
Dan sejak kecil Anindira hanya dekat dengan Sang Kakak, Karena Kakaknya yang selalu berada disisinya dan paling mengerti dirinya, Anin hanya memiliki Kakaknya saja karena mereka hanya berdua saudara, perbedaan umur mereka hanya berjarak 4 tahun dan karena itulah mereka akrab dan sering menghabiskan waktu bersama.
Semenjak ia memutuskan kuliah di Jogja orangtuanya tak pernah sekalipun menanyakan kabarnya, meskipun mereka mengirimkan biaya sekolah dan makan sehari-hari untuk Anindira namun tak pernah sedikitpun Anindira gunakan uang itu karena ia tahu orangtuanya sekarang membencinya karena keputusannya berkuliah di daerah istimewa itu.
Beruntung sang kakak selalu setia menanyakan kabarnya juga kuliahnya, terkadang Anindira ingin menghubungi orangtuanya namun panggilannya tak pernah mendapat jawaban, dan Anindira paham orangtanya tak pernah setuju dengan keputusan yang Ia ambil sejak ia berkuliah.
"Teteh." teriak Anin saat Kirana baru saja datang bersama Mamah.
"Anin kamu udah pulang? Kok gak kasih kabar?" tanyanya langsung memeluk Anindira.
"Suprise dong biar teteh kaget," ucapnya melepas pelukan Kirana.
"Baru sampai kamu?" tanya Mamah dengan nada dingin.
"Iya Mah," ucapnya langsung menyalami sang Mamah.
"Ya sudah kalian ganti baju dulu setelah itu makan," ucap Mamah yang langsung pergi ke kamarnya.
"Teh Mamah masih marah ya sama Anin?" tanya Anin pada Kirana.
"Sutt, Mamah gak marah sama kamu buktinya dia nanyain kamu," ucap Kirana kemudian mengajak adiknya itu masuk ke kamarnya.
"Teh, Anin udah mau wisuda loh tahun depan, tapi Mamah sama papah gak ada nanya-nanyain, kayaknya mereka memang marah sama keputusan Anin," ucapnya menyenderkan dirinya di kasur Kirana.
"Gak boleh suudzon ah, apalagi sama orang tua sendiri, udah jangan berprasangka buruk, kamu bentar lagi selesai kuliahnya kan bakalan balik ke Bandung lagi tinggal di sini " jelasnya.
"Tapi nanti teteh udah nikah terus aku sendirian,".
"Kamu juga kan nanti nikah, kita bakal punya kehidupan masing-masing," ucapnya sambil menarik dagu Anindira.
"Ehh tapi calon teteh tuh baik gak? Ganteng gak?" tanya Anin penasaran.
"Alhamdulillah baik Dek, dia juga sering silahturahmi sama Mamah sama Papah, kalau Ganteng itu relatif Dek kita gak boleh membandingkan inshaallah kalau akhlaknya baik pasti wajahnya tampan," ucapnya.
"Teteh yakin nikah sama dia? Aku cuman mastiin aja takut teteh nanti sakit hati sama dia, pokoknya aku gak mau teteh sampai kecewa dan disakitin," ucapnya.
"Inshaallah ini pilihan terbaik teteh, gak akan salah pilih semoga ini yang terakhir buat teteh," ucapnya menarik tangan Anindira untuk meyakinkannya.
Anin hanya tersenyum pada Kirana ia sedikit tenang karena kakanya sekarang sudah menemukan pendamping hidupnya yang ia cintai, Anindira percaya kakaknya akan bahagia setelah ini.
*-*-*-*-*
Hari pernikahan yang di nanti akhirnya datang, Dimas sudah gagah dengan baju putih sedangkan Kirana terlihat sangat cantik dengan baju kebaya dengan hijab dan ditambah singer di kepalanya membuatnya tambah sangat cantik hari ini.
Dengan mantap Dimas mengucapkan ijab kabul dengan satu tarikan nafas, hingga terdengar suara saksi yang mengatakan Sah dan orang-orang yang mengucapkan Hamdallah bersamaan termasuk Kirana yang juga mengucap syukur.
Dengan tangan gemetar Dimas memasangkan cincin di jari Kirana begitupun sebaliknya, Dalam hati Dimas ia berharap benar-benar bisa membuka hatinya untuk Kirana karena ia sudah menerima Kirana di dalam hidupnya, ia berharap Kirana akan sabar menunggunya yang entah kapan akan mencintai Kirana.
Tak lama resepsipun dilaksakan, undangan tamu yang tidak lebih dari seribu sudah memadati Gedung, Dimas dan Kirana juga sudah mengganti baju mereka dengan warna Gold yang di pilih Kirana saat Fitting baju.
"Anindira Dimana? Kita mau foto keluarga dulu," ucap Mamah yang sudah berdiri di pelaminan.
"Tadi dia ngajak Faqih," jawab Kirana.
Dimas hanya berdiri tenang sambil menyalami tamu-tamu namun saat nama Anindira disebut Mamah Mertuanya itu entah Mengapa ia merasa berdebar-debar dan merasa teringat pada Anindira yang pernah ia temui di Jogja lima bulan lalu.
"Ehh itu Anin, cepetan kesini kita foto," teriak Mamah.
Dimas yang mendengar teriakan Mamah mertuanya langsung menatap ke arah pandang yang sama, seorang gadis cantik dengan rambut di gelung dengan khiasan di kepalanya sedang berjalan mengandeng anak kecil.
Anin menatap ke arah pelaminan dan berjalan ke arahnya seraya meninggalkan anak kecil itu bersama Ibunya. Jantung Dimas berdetak lebih cepat, wanita yang pernah ia kagumi saat pertama kali ia lihat sekarang berada di pernikahannya, lebih tepatnya sekarang dia menjadi adik Iparnya, Dimas tidak pernah tahu jika yang Kirana ceritakan adik perempuannya bernama Anindira adalah Anindira yang ia temui di Jogja saat liburan.
"Iya Mah?" tanyanya sudah naik ke atas pelaminan.
"Kita foto keluarga dulu," ucap Mamah menarik tangannya.
Dimas melihat Anindira yang tersenyum ke arahnya dan Kirana dan berjalan ke arah Mamah mertuanya untuk mengambil posisi.
"Maaf Untuk Ibu sama Mbaknya bisa bertukar posisi sama Bapak, Mbak dekat sama Mas pengantinnya terus Ibunya di sebelahnya, Bapaknya pindah kepengantin perempuan," ucap fotografer yang akan mengambil gambar mereka.
Anin berjalan ke arah Dimas, Dimas memperhatikan wajah Anin yang begitu cantik bahkan dengan makeup yang tidak berlebihan, ia tersenyum pada Dimas, tingginya hanya setelinga Dimas, badannya memang bagus tinggi kurus, lebih tinggi dari Kirana dan lebih putih. Anin terlihat sangat cantik, Namun Kirana lebih manis dan terlihat imut di tambah lebih terlihat sopan dengan hijabnya.
"Oke tetehnya coa badannya ke samping," ucap fotografer
memberikan arahan pada Anindira.
Aninpun menuruti, Dimas sebisa mungkin menahan dirinya karena ia benar-benar terkejut melihat Anindira yang ia kagumi tiba-tiba berada di sebelahnya dan ia melihatnya secara langsung dan lebih dekat, dan kini kenyataannya Anindira adalah Adik Iparnya, Dimas menghela nafasnya ia sedari awal hanya kagum pada paras Anindira namun sekarang Kirana menjadi istrinya tentu saja ia lebih kagum pada Istrinya sekarang yang sudah menutupi dirinya dengan hijab dan lebih terlihat damai baginya.
Setelah selesai foto keluarga, Anindira menyalami Dimas dan Kirana sebelum pamit pergi menemui anak kecil tadi yang juga sepupunya. Pandangan Dimas tak lepas dari Anindira, ia selalu mengembangkan senyumnya, bahkan banyak mata melirik ke arahnya dengan tatapan kagum juga suka, dia memang cantik ya Adik iparnya kini memang cantik sama seperti Dina itulah kata hati Dimas.
"Dim, gawat cewek yang waktu itu ternyata adik ipar loe," ucap Rendra menyalami Dimas dan berbisik padanya karena takut Kirana mendengarnya.
"Ia dia jadi Adek gue, gue juga baru tahu barusan," ucap Dimas.
"Wahh awas aja kalau loe selingkuh sama Adeknya jangan ampe loe embat dua-duanya," ucap Rendra memperingatinya.
"Ngak gila aja, gue cuman kagum sama dia, lagian sekarang udah jadi adek gue," ucap Dimas.
Rendrapun kemudian tersenyum dan mengangguk kemudian Gilang pun turut berbisik di telinganya.
"Oke karena Loe udah nikah jadi biarin Adek buat gue, soalnya cantik banget," ucap Gilang di telinga Dimas.
"Terserah loe, tapi gue gak mau iparan sama loe," ucap Dimas.
Gilang pun melepas jabatannya dan menyikut Dimas dengan pelan sebelum keduanya tertawa berasamaan.
Dalam hati Dimas dia merasa tidak tenang, dia memang belum mencintai Kirana namun ia akan berusaha membuka hatinya, namun ia hanya binggung mengapa Tuhan menakdirkannya bertemu Anindira yang sempat ia kagumi dan kini menjadi adik iparnya, namun Dimas tak pernah berpikir mencintai Anindira karena bagi Dimas Kirana jauh lebih baik dari segi Akhlas dan perilakunya Dimas yakin.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments
Dewi Fuzi
tau darimana aklak nya bagus kan baru sebentar bertemu nya
2024-08-03
0
Yuli Silvy
klo jodoh ga' kn kmn
2023-10-23
0
Nur Janah
selamat buat Dimas dan Kirana atas pernikahan kalian semoga berbahagia selalu😍😍
2023-03-09
0