...3. Bertualang Denganmu...
Tiba di Bendungan Atas ia dan Pak Way bertemu kelompok LSM yang mendirikan kantor lapangan di sana. Tapi nyatanya ia tak sendirian.
Garu dan Toni.
Ya, kedua laki-laki itu entah sejak kapan sudah berada di sana. Seperti kurang kerjaan saja.
Ia berbincang sebentar dengan pihak LSM. Lalu melanjutkan masuk lebih ke dalam hutan Bukit Duabelas. Menemui beberapa temenggung yang masih bertahan di kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD).
“Kalian, mau ke mana?” tanyanya ketika Garu dan Toni mengikutinya.
“Kami diajak,” sahut Toni.
“Sayo yang ngajak mereka, Mala. Mereka nak lihat kehidupan di dalam.” Terang Waylik.
Masa bodoh. Apa hubungannya Pak Way dengan Garu dan Toni. Kalau ditelisik sih, mereka sepertinya kenal dekat. Sudah lama. Tapi ....
Ah, kenapa ia jadi memikirkan mereka. Ia menggelengkan kepalanya, mengusir rasa penasaran yang mengusiknya.
Jalanan setapak berbukit membuat nafasnya kembang kempis. Suara burung dan gerombolan monyet sesekali menyapa mereka. Seolah menyambut kedatangannya.
Menurut Waylik, kelompok orang Rimba dibagi menjadi 3. Pertama yang masih tinggal di dalam hutan masih memegang adat yang kuat. Tidak sembarangan berinteraksi dengan orang luar. Dan nyaris tidak bersentuhan dengan dunia luar hutan.
Kedua, kelompok yang tinggal di sekitar hutan, perkebunan sawit maupun hutan tanaman industri. Mereka bertahan di tempat itu sebab leluhur, kakek dan orang tua tinggal. Kelompok ini melakukan nomaden. Berinteraksi dengan orang luar. Seperti sekolah dan melakukan kegiatan ekonomi.
Kelompok pertama dan kedua pada umumnya tidak berpakaian. Namun menggunakan kain untuk menutupi alat vitalnya. Yang disebut cawat untuk laki-laki. Sementara bagi perempuan hanya menutupi bagian bawah saja untuk yang telah menikah dan belum dewasa. Tapi jika keluar hutan mereka akan berpakaian biasanya seperti warga sekitar.
Begitu juga dengan kepercayaan bagi Suku Anak Dalam yang masih bertahan di hutan. Mereka menganut kepercayaan dewo-dewo. Pun, bagi kelompok yang masih melakukan nomaden.
Lalu kelompok ketiga atau terakhir adalah kelompok yang memilih tinggal dan menetap di suatu tempat. Mereka menempati rumah-rumah dari bantuan pemerintah. Berbaur dengan warga sekitar. Dan biasanya sudah punya keyakinan atau menganut agama tertentu.
“Kito temui Temenggung Jelitai,” ucap Waylik. Menunjuk sudung yang sudah terlihat dari pandangan.
Melakukan tanya jawab kemudian mengikuti kegiatan mereka. Dari mulai menderes getah karet, mencari getah damar, jernang (getah dari pohon meranti), lalu memanen madu dari lebah pada pohon sialang.
Lelah.
Jelas.
Ia meluruskan kedua kakinya ketika mereka beristirahat di bawah pohon besar. Bersandar pada akar pohon jelutung yang diameternya mungkin mencapai 2 meter.
Mendadak Ru mendekatinya lalu memberikan isyarat menunjuk bibirnya. Menandakan ia tidak boleh bicara. Lalu menarik tangannya.
Ia yang tak mengerti apa-apa mengerutkan dahi—bingung.
“Ada pacet di lenganmu,” ucap Ru.
Ia terkejut hendak berteriak tapi Ru kembali memberikan isyarat untuk diam.
Jantungnya sudah berdegup kencang. Meski ia tak merasakan kesakitan akibat gigitan pacet, tapi pertama kali digigit dengan hewan pengisap darah tersebut pastinya membuatnya takut dan cemas.
Dengan cepat Ru menyalakan puntung rokok yang dirogohnya dari saku celana. Lalu menyengatkan pada pacet yang menempel dalam pada lengan luarnya. Hanya dalam beberapa detik pacet tersebut lepas. Disertai darah yang keluar dari sana. Ru menyiramkan air dari botol mineral pada bekas luka.
“Binatang ini punya zat hirudin. Mampu mencegah pembekuan pada darah saat mengisap,”
“Tapi kalau sudah kenyang akan lepas sendiri.”
Ia meringis.
“Sakit?” tanya Ru.
“Sedikit. Tapi gatal,” adunya.
Ru kembali mengambil sapu tangan dari kantong celananya. Lalu membebat luka tersebut.
“Besok-besok kalo masuk hutan pakai pakaian tertutup.”
Ia mengangguk, sepersekian detik mata mereka bertumbukan, “Thanks,” balasnya.
Selama beberapa hari ia melakukan kegiatan masuk keluar hutan hanya untuk mengetahui aktivitas mereka—SAD.
Berburu babi, ikan, kelinci dan rusa. Semua tak lepas dengan kearifan lokal SAD yang memanfaatkan kekayaan sumber daya hutan di sekitar. Bagi mereka hewan ternak pantang untuk dikonsumsi. Pun, dengan turunannya.
Lalu mengikuti para ibu-ibu mencari umbi-umbian, buah-buahan sebagai bahan makanan mereka.
“Cemano rasanyo?” tanya istri Jelitai.
Ia mengancungkan jempol, “Enak, Bu.”
Kali ini mereka memasak umbi hutan. Merebusnya, lalu dijadikan santapan makan siang bersama.
Selama beberapa hari ia juga membantu LSM di sana memberikan pengajaran, penyuluhan dan berbaur dengan kelompok-kelompok yang tinggal di sekitar hutan.
Senang.
Banyak teman dan hal baru yang ia pelajari.
“Kamu mau ketemu kelompok Bekilat?” tanya Ru suatu sore saat ia telah usai membantu memberikan pengajaran bagi anak-anak SAD.
“Memangnya kamu tahu?”
“Kalau tidak tahu buat apa aku nawarin kamu?”
Raut mukanya kesal. Beberapa hari kehadiran Ru di kantor LSM kawasan TNDB membuat mood-nya merosot turun naik.
Bagaimana tidak? Laki-laki itu seperti mencampuri urusannya.
“Kamu salah kostum lagi!” tandas Ru saat melihatnya hanya mengenakan celana cargo 7/8.
“Tujuan kamu apa sih sebenarnya?” dengus Ru, ketika ia tanpa sengaja terjatuh kepleset di sungai saat ikut menangkap ikan. Dengan menggunakan kaos putih polos berbahan sedikit tipis. Basah kuyup. Jelas pakaian dalamnya tercetak. Meski ia sendiri juga tak sadar. Kalau bukan laki-laki itu yang melepas kemejanya lalu disodorkan untuknya, “pakai!” serunya.
Ia hanya berdecak kesal.
Atau saat ia menangis ketika hampir saja nyawanya diujung tanduk saat keberadaannya hanya 1 langkah dari ular kobra. Di mana ular tersebut siap menyemburkan bisanya ketika terganggu dengan keberadaannya yang tanpa sengaja. Beruntung Temenggung Jelitai begitu sigap menolongnya.
Tapi kejadian itu membuatnya syok. Gemetar. Bahkan ia sampai meneteskan air mata.
“Jangan paksain kalau kamu tidak mampu!” tukas Garu sambil berlalu meninggalkannya yang masih berdiri memaku. Seketika tubuhnya lemas. Terkulai merosot hingga bersimpuh di tanah. Ia tergugu.
“Dak apo-apo.” Jelitai menenangkannya.
Beberapa kali ia mengalami hal-hal pertama kali dalam hidupnya. Bersama laki-laki itu. Menyebalkan sebenarnya ... meski tidak sedikit juga ia terbantu.
Menurut informasi dari salah satu pengajar di LSM tersebut. Perusahaan Ru adalah salah satu penyumbang dana terbesar. Bersama pemda perusahaan laki-laki itu juga membangun rumah untuk beberapa kelompok temenggung. Menyediakan lahan plasma dan aktif memberikan sumbangan kepada warga sekitar perusahaan.
Ia mendesahkan napasnya.
“Kapan?”
...***...
Dengan menggunakan helikopter tipe bell 505 berlogo ‘TG’ ia terbang dari kabupaten Sarolangun ke Muara Bungo.
“Gila, lo, ya?!” decaknya.
Laki-laki di sampingnya justru terkekeh ringan.
Ia duduk di belakang bersama Garu. Sementara Toni duduk di depan bersama sang pilot.
Dari tempatnya kini di atas ketinggian, ia bisa melihat hamparan perkebunan yang membentang sejauh mata memandang.
“Itu punya, lo semua?” tunjuknya ke bawah. Meski ini bukan pengalaman pertama kali naik heli, tapi degupan jantungnya tak mampu menghianati. Berdetak di luar kendali.
Garu tak menjawab.
Hingga tiba di lapangan luas heli tersebut mendarat sempurna. Garu membantu membukakan sabuk pengamannya.
Ia tak acuh.
“Thanks, Bro!” Garu menepuk pundak sang pilot sebelum laki-laki itu turun.
Ia sedikit menunduk. Lalu terkesiap ketika lengannya dicengkeram Garu. Laki-laki itu menggiringnya ke mobil yang telah menunggu mereka.
Toni membukan pintu untuk mereka. Ia kembali duduk di bangku kedua bersama Garu.
“Malam ini kamu nginap di sini. Besok pagi baru temui temenggung Bekilat.” Tukas Garu. Sesaat mobil membelah jalanan perkebunan.
Ia menurut. Jelas kondisi sudah sore. Tidak memungkinkan juga untuk memaksa.
“Toni akan mengantarkan kamu ke kamar,” kata Garu ketika mobil telah berhenti di sebuah rumah bangunan lama. Tapi begitu rindang dan terawat.
Toni kembali membukakan pintu untuk mereka.
“Ton, urus dia.”
Toni menyahut, “Baik, Pak.”
“Terima kasih,” sahutnya. Toni membalas dengan anggukan.
Malam harinya ia duduk di teras samping. Sedang menerima telepon dari Gayatri.
“Tumben ini ada sinyal?”
“Pake jaringan wifi,”
“Widih ... lagi di mana, lo, Mal?”
“Di perkebunan. Rencana besok mau menemui kelompok lain lagi.”
“Sama siapa?”
Ia berdecak, “Sama cowok nasty.”
Gayatri tergelak di seberang sana.
“Puas, lo. Ngetawain gue!”
“Hahaha ...,” semakin meledak tawa kakaknya itu.
Ia mengancam, “Gue, matiin nih!” geramnya.
“Awas lo! Dari nyebelin jadi cinta.”
“No way! Gue udah ada si Ethan,” elaknya.
“Iissh ... si Ethan, lo itu gak bisa diharapin. Masih aja, lo percaya.”
“Kak,” tahannya. Ngobrolin Ethan otomatis membuat rindunya yang terpenjara tempat dan waktu mencuat.
Ethan, pria berkebangsaan Australia. Status mereka dekat. Meski keduanya tak pernah berujar ‘kita pacaran’. Tapi kedekatan mereka bisa diartikan seperti itu. Pertemuan awal mereka saat sama-sama melihat pameran seni di galeri Fakultas Seni, Desain dan Arsitektur di kampus Caulfield. Satu tahun yang lalu.
Pria bule yang ternyata juga tercatat sebagai mahasiswa Arsitektur itu menarik perhatiannya. Meski Gayatri selalu bilang, “Jangan deh. Feeling gue gak enak.”
Padahal, tunangan dia saja pria berkebangsaan Australia-AS.
Ia sempat protes, “Apa bedanya dengan Kak Richard?”
“Richard tuh, beda. Udah gue uji. Dan lulus sesuai ekspektasi gue.”
Nah, hubungannya dengan Ethan juga telah mengalami ujian selama 1 tahun terakhir ini. Ethan yang sabar, baik dan mencintainya.
Ia menggeleng.
“Pasti lo, lagi ngelamunin si Ethan?!” tebak Gayatri. Membuat kesadarannya kembali.
“Gak percaya lo? Gue pernah lihat dia gandeng cewek. Sumpah!” Kakaknya itu katanya pernah melihat Ethan jalan berdua dengan cewek. Ia belum pernah mengonfrontasi soal itu dengan Ethan. Tapi, bukankah hal seperti itu biasa di kehidupan orang-orang barat?
Meski ada sejumput rasa dalam hatinya menyisakan kecemburuan.
“Ehem!”
Ia terperanjat ketika suara deheman dari ambang pintu mengagetkannya.
Ia berbisik di telepon, “Kak, udah ya ... bye ... miss you.” Ia menggeser ikon merah. Mematikan panggilan sebelah pihak.
“Lanjut aja!” Seru Garu.
“Eh ... gak kok. Udah.” Ia yang tadi berdiri menyender tiang bergeser duduk di sofa.
“Thanks, ya ... lo udah banyak bantu gue.” Ungkapnya.
“Biasa saja.” Balas Garu dengan minim ekspresi.
“Whatever itu, gue pokoknya makasih. Mau lo gak terima. Gak mau. Atau apalah itu ... yang penting gue udah bilang.”
Garu mendesahkan napas, “Lo, keras kepala juga ya?! Pantes sih.” Cibirnya.
Ia mengedikkan bahunya santai. Menghadapi Garu, sang pria arogan plus bossy plus sombongnya naudzubillah ... tanpa sadar ia menipiskan bibirnya. Ada ya, laki-laki seperti ini di dunia ternyata.
-
-
Terima kasih yang sudah mampir, membaca dan memberikan dukungannya ... 🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
Lily
bossy? lah dia emang bos kan
2024-02-29
1
Sri Bayoe
ada yaa
2023-01-05
0
???
klo Garu bakalan lulus uji coba gk ya, 100% lulus kayaknya sih, mungkin.. 😌😅
2022-08-16
0