...2. Jangan Kowatigh...
Gemala
Ia segera bangkit begitu melihat mobil di depannya. Laki-laki yang bernama Ru muncul dari pintu mobil yang terbuka.
“Saya minta tolong,” pintanya mengiba. Belum juga Ru menutup pintu. Ia berdiri tepat di samping laki-laki itu.
Ru terlihat mengernyit bingung.
“Please! Saya butuh bantuan Anda.”
Tanpa menunggu jawaban Ru, ia melesat menuju sudung.
“Pak, kita sebaiknya bawa ke puskesmas. Harus secepatnya ditangani bidan atau dokter.” Tukasnya saat menerobos kerumunan kerabat Bekilat yang mengerubungi ibu yang mau melahirkan tersebut.
Bekilat seperti ragu.
“Pak, ini bahaya.”
“Harus secepatnya ditolong.” Jelasnya lagi penuh permohonan dan meyakinkan. Sementara ibu tersebut sudah terkulai lemah.
“Di depan ada mobil. Kita bawa ke puskesmas!” serunya.
Tanpa bicara Bekilat membopong istri ketiganya masuk ke dalam mobil.
“Wait ... tunggu ... mak—” Ru menyergah ketika ia membuka pintu kedua untuk Bekilat dan istrinya.
Blam.
Suara pintu tertutup dengan keras hingga berdebam. Lalu mendekati Zizah. Berpesan pada gadis kecil itu untuk pulang. Dan meminta tolong salah satu kerabat Bekilat untuk mengantarkannya kembali ke rumah.
Ia kini duduk di samping kemudi.
Tapi laki-laki yang dipanggil Ru itu masih memaku di samping pintu yang terbuka.
“Ayo!” tandasnya kesal.
“Atau saya yang bawa!” sambungnya.
Ru terpaksa mengikuti instruksi gadis itu. Tanpa bicara.
“Bisa cepat gak! Kita bawa pasien. Butuh pertolongan pertama.”
“Hidup matinya ditangan Anda,”
“Semakin cepat ditangani medis, semakin besar peluang hidupnya. Tapi kalau Anda menyetir seperti ini, rasanya peluang hidupnya kecil.” Omelnya sebal, sebab Ru membawa mobil seperti siput. Bagaimana cepat sampai di tujuan pikirnya.
Mendadak Ru menambah kecepatan. Dengan jalanan yang rusak dan ia tidak mengenakan sabuk pengaman. Tubuhnya seketika terpontang-panting. Ia memegangi hand grip.
Laki-laki itu tersenyum tipis.
Ia berdecak.
Sekitar 1,5 jam perjalanan, mereka tiba di puskesmas yang di tuju. Tapi sayangnya ketika Bekilat merebahkan istrinya di brankar. Sang bidang menggelengkan kepalanya setelah beberapa menit memeriksa kondisi pasien.
“Harus dibawa ke rumah sakit,” terang sang bidan.
“Ini komplikasi. Maaf kami dak bisa nangani. Peralatan di sini terbatas. Kami dak bisa ambil resiko.” Begitu penjelasan bidan.
Ia menggigit bibir bawahnya. Menatap Ru yang juga tengah menatapnya. Meski kaca mata hitam menjadi penghalang.
“Kita bawa ke rumah sakit.”
Menempuh perjalanan kurang lebih 1 jam akhirnya mereka tiba di kota Sarolangun. Istri Bekilat langsung ditangani di IGD.
Menurut penuturan dokter. Pasien mengalami pendarahan.
Abruptio plasenta.
Yaitu kondisi lepasnya plasenta dari dinding rahim sebelum waktunya sehingga menimbulkan pendarahan pada kehamilan usia tua.
“Kami butuh stok darah. Pasien mengalami pendarahan hebat,” imbuh dokter.
Ia menatap Ru. Lalu beralih ke Bekilat.
“Golongan darahnya apa?” tanyanya.
Bekilat menggeleng. Tak tahu menahu soal golongan darah.
Dokter itu pun seperti pasrah. “Baiklah, kami cari tahu dulu golongan darah pasien.” Putus dokter lalu bergegas meninggalkan mereka.
Ia terduduk di kursi tunggu. Di sebelahnya Ru yang masih berdiri menyender dinding. Lalu Bekilat duduk di kursi tunggu depannya.
Tak ada yang berbicara.
Hanya deru suara roda brankar yang menggema didorong lalu menghilang di balik ruangan. Dan sayup-sayup orang berteriak dari ruangan lain.
Pintu ruangan IGD terbuka, “Kerabat pasien atas nama Nyede!” teriak suster di ambang pintu.
Bekilat beranjak lalu mendekati suster tersebut, “Sayo suaminyo.”
“Pasien golongan darah O.”
Ia menoleh pada Ru. “Gue, AB.”
Ia mendesahkan napas. Sementara dirinya A.
Lalu ia ikut mendekat pada suster itu, “Berapa stok yang dibutuhkan?” tanyanya.
“Di sini hanya tinggal 3 kantong. Kami juga harus membagi-bagi untuk pasien yang lain,” sahut suster.
“Bisa carikan stok di rumah sakit lain?”
Suster itu menggeleng lemah, “Lebih baik dari kerabatnya.”
Ia kembali menoleh pada Bekilat, “Bapak coba diperiksa dulu, golongan darahnya apa?”
Bekilat mengangguk. Mengikuti suster.
Sudah lebih dari 30 menit ia dan Ru menunggu di depan ruang operasi. Tindakan sectio caesaria akhirnya dilakukan karena pasien mengalami pendarahan hebat. Kehamilan di usia 35 minggu memungkinkan untuk itu. Bekilat akhirnya bisa mendonorkan darah untuk istrinya setelah dilakukan pengecekan ternyata golongan darah mereka sama.
Ia sedikit bernapas lega.
...***...
Garuda
Ia terpaksa menemani gadis itu makan malam di bawah jembatan Beatrix. Tepatnya di taman Tepian Cik Minah.
“Aku mau di situ aja,” tunjuk gadis itu ketika melewati jembatan yang terkenal di Sarolangun. Apa lagi suasana malam, lampu gemerlap colourful menghias jembatan. Menambah keindahan.
Ia telah memarkirkan kendaraannya. Gadis itu keluar dan langsung duduk di kursi plastik. Menghadap sungai Batang Asai.
Sebenarnya inilah pertama kali baginya menyambangi tepian sungai ikon kota ini. Bukan masuk dalam daftar tempat yang akan atau sudah pernah dikunjunginya. Kalau diberi pilihan, ia pasti memilih tempat yang nyaman. Terjamin. Dan pastinya sesuai kantong dompetnya. Dignity dan prestige tetap harus no 1.
Sementara ini?
Tempat wisata yang ... merakyat batinnya berucap.
“Anda mau pesen apa?” Tanya gadis itu. Ketika ia mendudukkan dirinya di seberang.
Ia berulang kali membolak-balikkan kertas menu yang hanya selembar dilaminating. Itu pun sudah lusuh dan kotor.
Ia menelan ludahnya.
“Mungkin bukan selera, Anda.” Tebak gadis itu. Dan sangat tepat.
“Anda cocoknya mungkin makan di resto bintang. Atau di rumah makan yang berkelas.” Satire Gemala.
“Tapi ... don’t worry, Anda tidak akan mati hanya gara-gara makan di sini! Palingan sakit perut.”
Ia berdecak, “Sate padang.”
Gemala mendesis, “Gak kreatif,” lalu menipiskan bibirnya.
Terang saja dari sekian menu yang tercantum ia hanya mengenal sate padang. Dan menu itu sepertinya tidak buruk. Buktinya gadis itu juga memesan sama.
Menikmati seporsi sate padang ternyata tak kalah nikmatnya. Ia pikir rasanya akan ... sesuai tempatnya. Tidak enak. Apa lagi tingkat ke-higienisnya rendah.
Tapi.
“Kita pulang,” ajak gadis itu. Setelah menyudahi seporsi sate padang yang telah ludes tidak menyisakan sedikit pun.
“Anda yang bayar.” Todong Gemala.
“Sebagai laki-laki. Dan Anda bos di sini.” Ejek gadis itu sambil berlalu meninggalkannya terlebih dulu.
Ia berdecak. Tapi sepersekian detik, menahan senyum dengan tingkah gadis itu.
Keduanya langsung pulang setelah memastikan kondisi Bekilat dan istrinya baik. Pasca-operasi Nyede masih ditempatkan di ruang pemulihan. Sementara anaknya di inkubator.
“Bapak tidak usah khawatir. Semua biaya administrasi sudah kami beresi,” tutur Gemala. “Dan ini,” gadis itu menyerahkan beberapa lembar pada Bekilat, “untuk pegangan.”
Sesekali ia melirik ke sebelahnya. Gadis itu tertidur pulas. Bahkan jalanan rusak yang dilaluinya tak membuatnya bangun dari lelapnya.
Tiba di rumah Waylik hampir tengah malam. Ia membangunkan Gemala.
“Hei,” tegurnya.
Gadis itu tak begerak.
“Hei ... bangun. Kita sudah sampai.”
Tetap saja, gadis itu hanya bergumam tak jelas.
“Kita sudah sampai. Kamu mau tidur di sini?” ia menepuk-nepuk lengan gadis itu.
“Hei ....”
Gemala menyahut, “Iya ... iya denger.” Ia mengucek matanya sesaat. Menguap seraya menutupinya dengan telapak tangan.
“Saya punya nama. Bukan hei ... hei. Nama saya GEMALA.” Ia mengeja, “G E M A L A ... Gemala.” Ucapnya penuh penekanan.
Gadis itu menyambar tas ranselnya di bangku belakang.
“Nama saya juga Garu, bukan Anda!” tandasnya membalas.
Gadis itu membuka selot kunci, “Oh ... terima kasih Pak Garu. Atas bantuannya hari ini. Semoga Bapak diberi pahala atas kebaikannya.”
“Gue juga belum menikah. Bukan juga Bapakmu.” Ia menyalak. Kurang suka dengan panggilan tersebut.
Pintu sudah dibuka sedikit, “Oh, baiklah ... gue panggil nama lo, aja kalo gitu.”
Ia menipiskan bibirnya, “Sepakat.”
Gadis itu berlalu setelah menutup pintu mobil. Tanpa lagi menoleh kepadanya. Ia pun bergegas meninggalkan rumah Waylik.
Tanpa ia ketahui. Ketika mobil perlahan meninggalkan halaman. Gemala berbalik badan. Menatap mobilnya hingga hilang di telan gelapnya malam.
...***...
Gemala
Keesokan paginya ia mendapat kabar bahwa istri Bekilat meninggal. Betapa sangat mengejutkan baginya. Rasanya ia tak percaya. Sebab sebelum pulang tadi malam ia memastikan terlebih dahulu kondisinya. Dan menurut dokter stabil, hanya belum sadarkan diri.
Kabar itu didengungkan langsung oleh Pak Waylik. Ia dan Pak Way langsung menuju sudung Bekilat di perkebunan sawit.
Para ibu dan anak-anak yang sudah mengerti terlihat menangis dan bersedih. Bahkan meraung-meraung. Ia bisa merasakan itu. Kesedihan atas kehilangan kerabat sangat terasa. Begitu menyayat.
Kesedihan itu bahkan berjalan selama 1 pekan lamanya. Setelah jenazah Nyede di kuburkan di dalam hutan.
Setelah itu kelompok Bekilat melakukan tradisi melangun. Meninggalkan tempat tinggal mereka untuk melupakan kesedihan. Mereka juga percaya bahwa tempat tersebut bisa menimbulkan kesialan.
Dengan membawa bayi Nyede yang masih berumur 1 minggu ia dan Pak Way melepas kepergian kelompok Bekilat.
“Mereka akan pergi ke mana, Pak?” tanyanya pada Waylik yang masih berdiri di sampingnya. Tatapannya memandang jalanan di mana Bekilat dan rombongannya semakin jauh.
“Sejauh mungkin.”
“Selama berapa lama?” imbuhnya.
“Bisa 4 bulan. Atau 1 tahun.”
“Tapi ... kasihan bayi Nyede masih—” jedanya. Jalanan itu sudah lengang. Bekilat dan kerabatnya sudah hilang. Air mukanya gamang.
“Jangan kowatigh (khawatir). Lah, biaso.”
“Besok kito masuk hutan. Pagi-pagi.” Pesan Waylik. Yang disertai anggukan kepalanya.
Malam harinya mamanya kembali menelepon.
“Iya, Ma.” Sahutnya ketika ia menggeser ikon hijau pada layar ponselnya.
“Gimana kabar kamu, Sayang? Sudah 2 hari gak ada kabar.”
“Kan, Mala udah bilang. Di sini susah sinyal. Hanya spot-spot tertentu saja, Ma.”
“Oh, ya ... besok Mala mau masuk hutan.”
“Hah! Hutan?” suara mama terdengar kaget.
“Mal ... sama siapa? Aduh gimana kalo nanti ketemu singa, gajah ... gorila ... buaya ... beruang ... ya ampun, Mal. Belum lagi banyak ular ....” Mama mengoceh membayangkan kehidupan di hutan yang menyeramkan.
Ia terkekeh.
“Don’t worry, Ma. Sama Pak Waylik. Lagian mana ada binatang seperti itu sekarang.”
“Aduuh, kamu tuh. Gak lihat di TV apa?! Kemarin ada berita orang dimakan ular piton di perkebunan sawit.”
“Ada juga yang dimakan buaya. Diserang macan ... ih serem, Sayang. Jangan deh. Mama takut kenapa-kenapa.”
“Pokoknya jangan! Mama gak mau ....”
Ia mendesah, “Ma ....”
“Mala, gak sendirian. Sama Temenggung Waylik. Beliau tetua di sini. Jangan khawatir. Buktinya Mala baik-baik aja, kan sampai sekarang.”
Mama masih saja melontarkan ke-tidak setujuannya.
Ia terduduk di kursi. Menelinga. Suara mama masih sibuk dari seberang. Hingga mama mengakhiri obrolannya sebab ia sudah begitu lelah.
Hanya bisa menyahut, “Hem,” dan, “iya.”
Tubuhnya ia baringkan di atas kasur. Meringkuk dengan tangannya sebagai bantalan. Yang ... jangan dibayangkan kenyamanannya. Hanya kasur tipis terbuat dari sumpalan kain perca.
Ia mengembuskan napas. Selama hampir dua minggu di sini begitu banyak kejadian yang dialami. Tentu begitu dalam mengena di hati.
Bagaimana masih ada kelompok atau rombong yang terlantar. Sakit. Kekurangan bahan makanan. Meski tak sedikit dari pemda dan pihak swasta membantu meringankan beban mereka.
Tapi, rasanya masih jauh dari harapan. Ia berharap permasalahan ini segera teratasi.
Malam ini ia harus mengistirahatkan tubuhnya. Sebelum besok pagi bersama Waylik masuk ke dalam hutan. Paling tidak pesan singkat dari Ethan mengantarkannya pada mimpi indah.
"Miss you, too ...."
-
-
Terima kasih yang sudah mampir, membaca dan memberikan dukungannya ... 🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
Lily
Ethan pasti pacarnya Mala. tapi maaf Than, kayaknya kamu bakal ketikung 😁
2024-02-29
1
Rizkha Nelvida
Ethan siapa Thor😁kepo😁😁
2022-03-28
0
Rizkha Nelvida
takutnya pindah lapak😭
2022-03-28
0