If Only You
...Prolog...
Gemala Luwi.
Itulah namaku. Aku anak bungsu dari 3 bersaudara. Semuanya perempuan. Dan aku rasa inilah salah satu ujian berat di depan mata yang harus aku hadapi saat ini. Sebelum pada akhirnya gelar Bachelor of Arts (BA) tersemat di belakang namaku.
Aku mendesahkan napas berat. Pengajuan penelitian tentang studi pola antropologi masyarakat Indonesia khususnya suku Badui ditolak. Alasannya,
“We need a new one, special from Indonesia,” ucap Paul. Dosen pembimbing yang bergelar prof. Dat Paul, Ph.D itu selalu menolak jika dipanggil dengan mister atau sir.
“Just call me, Paul!” serunya saat menemui pria setengah baya itu pertama kali. Lagian, dosen di sini lebih suka dipanggil nama mereka. Karena mereka menganggap semua orang itu sama atau equal. Sebenarnya bukan hanya di lingkungan kampus saja. Tapi secara umum di negara yang sudah aku anggap rumah kedua ini.
Ya, sejak kecil tepatnya memasuki primary school hingga junior secondary school aku tinggal di Melbourne-Australia. Kembali ke Indonesia saat SMA. Lalu kembali ke negara kangguru itu lagi jelang kuliah.
Bukan tanpa alasan.
Di balik itu semua. Dalih utamanya adalah demi keamanan dan kenyamanan anak-anak, kata papa. Waktu itu papa sibuk campaign gubernur. Pada akhirnya aku harus tinggal bersama Kak Ganisha dan Kak Gayatri.
Menempati rumah sendiri. Dengan orang-orang yang dikirim mama untuk menemai kami selama di sana. Tentu saja ada yang tetap berbeda. Kendati begitu mama berusaha selalu datang 1 atau 2 bulan sekali. Atau saat ada momen-momen penting dalam kehidupan anak-anaknya.
Meskipun terkadang ada sekelebat rasa menyelinap dalam dada. Kok begini amat sih hidupku harus berjauhan dengan orang tua? Tapi aku berusaha untuk berlapang dada. Memahami kondisi mereka.
Kembali ke usahaku untuk mengangkat pola sisi kehidupan sebagian masyarakat Indonesia sebagai bahan penelitian jelas mendapat dukungan. Namun tak ayal juga beberapa kali pengajuan judul dan tempat ditolak.
Seperti,
“Kesultanan Yogya, Solo, Cirebon sudah banyak publish.” Alasan Paul, waktu aku mengajukan tema apa yang akan aku ambil.
“Masyarakat suku Batak di Danau Toba, sudah ada.” Lagi, Paul tidak setuju.
“Budaya dan karakteristik suku Tengger,” Paul mengerutkan dahi, “saya pernah baca hasil penelitiannya ... banyak.”
Dan terpaksa aku harus menyebutkan puluhan dari 300 kelompok etnis di Indonesia. Yang tepatnya ada sekitar 1.340 suku bangsa menyebar di 17 ribu pulau dari Pulau Miangas sampai Pulau Rote. Dari Sabang hingga Merauke satu persatu sesuai daftar ingatanku.
Lalu yang membuat aku nanap adalah ketika aku tanpa sengaja menyebut, “Suku anak dalam yang mendiami daerah Jambi dan Sumatera Selatan.”
“Wait! Wait!” Paul menyergah cepat.
“Suku anak dalam,” gumam Paul. Lalu tersenyum kecil.
Entah apa maksudnya?
Yang pasti aku sendiri belum pernah ke daerah yang aku sebutkan tadi. Bahkan baru mengucapnya juga ini yang pertama kali. Oh ... astaga, rasanya aku ingin meralat ucapanku baru saja.
Tapi,
“I agreed. Suku anak dalam," putus Paul.
Dan di sinilah aku sekarang berada. Bandara Sultan Thaha-Jambi. Terdampar di bandara yang baru kali pertama aku datangi seumur hidup. Tiba di sini malam dengan penerbangan terakhir dari Jakarta sebab buruknya cuaca.
Sepi.
Cemas menyelimuti.
Ini negaraku. Tapi berbagai cerita menyangkut kejahatan membayangiku. Kriminalitas setiap hari melintas di situs berita sewaktu-waktu, tanpa jeda dan pembeda.
Malam kian merangkak. Sementara aku harus ketinggalan agen perjalanan travel menuju lokasi dikarenakan pesawat yang delay.
Lagi, aku menghela napas dalam lalu membuangnya kasar.
Duduk sendirian pada kursi besi di ruang kedatangan membuat aku seperti orang hilang. Celangak celinguk tak karuan. Mengharap ada sosok yang membantu bak pahlawan kesiangan. Hei ini Indonesia, Bung! Budaya orang timur masih kental.
Namun rasanya keberuntungan semakin tipis. Penumpang yang turun di sini hanya beberapa, sebab pesawat melanjutkan penerbangannya ke tujuan berikutnya.
Sementara penumpang yang turun bersamaan dengan diriku hanya ya ... beberapa dan mereka seperti tergesa-gesa. Tak acuh dengan keberadaanku.
Ekor mataku melirik arloji di pergelangan tangan kiriku. Pukul 22.30 WIB.
Aku putuskan untuk keluar saja. Mungkin ada taksi atau mobil sewaan, harapanku.
Sialnya saat aku menggeret koper hendak berbalik badan kembali masuk karena ingin ke kamar mandi. Tubuhku ditabrak seseorang dari depan. Orang tersebut sepertinya juga tengah terburu-buru.
“Ssshhh ...," aku meringis mengaduh. Bahu kananku rasanya nyeri kena tubuh yang kerasnya seperti batu.
Dan orang itu tampak kesal sekaligus berkata, “Kalo jalan pake mata!” Lalu membenahi kaca mata hitam yang melorot dari hidung mancungnya.
Oh sialan! Masih sempat-sempatnya aku memuja laki-laki itu. Aku lalu menggeleng. “Anda yang sepertinya harus membuka kaca mata. Sudah tahu malam, kaca mata hitam adalah pilihan yang sangat buruk!” Aku tidak mau kalah.
Laki-laki itu mengibaskan tangan pada bahunya. Seolah aku menempelkan kotoran di sana.
Aku geram. Rasanya ingin memakinya. Tapi aku tahan.
“Pak Ru,” sapa seseorang dari belakangku. Aku ikut berbalik badan demi melihat orang tersebut.
Laki-laki itu tersenyum samar. Kemudian keduanya berlalu tanpa sepatah kata.
Huh! Dasar tidak tahu diri pekikku dalam hati
Setelah dipikir-pikir akhirnya aku memilih hotel untuk menginap malam ini. Baru keesokan harinya menuju lokasi.
Hotel bintang empat di kawasan Telanaipura menjadi pilihan. Sesuai permintaan, aku memilih tipe kamar junior suite sebab kenyamanan dan pelayanan tetap nomor satu. Setelah melakukan check in dan menempati kamar 427. Aku langsung merebahkan tubuh di kasur yang empuknya sesuai ekspektasi. Terpental sedikit, akibat gaya pegas dari ranjang empuk membuatku seperti bermain trampoline. Tapi aku suka. Artinya kasur ini nyaman dan layak ditiduri.
Tanpa basa basi dengan tubuh begitu lelah aku langsung merasuk ke dalam mimpi.
...***...
“Ya, Kak. Aku masih di hotel. Bentar lagi check out. Pagi ini langsung ke lokasi biar gak kesorean juga.”
“Sampekan ke mama-papa, aku udah sampai Jambi.”
“Bye,”
Sambungan telepon itu langsung aku matikan ketika aku telah berdiri di depan buffet makanan. Aku mengambil roti panggang berselai cokelat kacang. Beberapa potongan buah segar dan segelas orange juice.
Aku memilih meja dekat kolam renang. Sambil melihat anak-anak dan pengunjung yang sedang berenang di sana. Tapi lacur, mataku menangkap sosok laki-laki yang tak asing di netraku. Sepersekian detik mata kami bersua pandang. Kenapa bisa ketemu dia lagi-dia lagi?
Laki-laki itu juga tengah sarapan dengan pria yang menjemputnya tadi malam. Dengan gaya yang sama. Kaca mata hitam. Se-pagi ini. Aku melipat bibirku menahan senyum agar tak ketahuan. Narsis dan cari perhatian pikirku. Oh, Bung ... ini Indonesia. Atau jangan-jangan dia sedang belekan?
Aku terkekeh pelan. Lalu menunduk.
Mobil travel yang aku hubungi telah tiba di depan lobi. Setelah memastikan benar. Aku bergegas masuk ke dalam. Hanya 4 orang di sana. Dan aku sendirian sebagai penumpang perempuan.
Petuah dan pesan mama-papa, Kak Ganisha, Kak Gayatri selalu aku ingat.
“Harus selalu hati-hati, mawas diri di mana pun berada. Mau di Indonesia tempat lahir kamu. Atau di Melbourne tempat kamu dibesarkan.”
Tiba-tiba mobil berhenti di bahu jalan.
“Ngapo pulo? (Kenapa pula?)” tanya penumpang bapak-bapak berkumis seperti Pak Raden.
“Mogok!” sambar sang sopir. Kemudian berusaha menghidupkan mesin kembali tapi sudah dicoba berulang kali tetap saja tak mau diajak kompromi.
“Wah, kacau! Dak katek bengkel dekat sini (tidak ada bengkel di dekat sini),” celetuk penumpang pria yang mungkin seumuran denganku.
Jelas saja pemandangan kanan-kiri tanaman seperti kelapa. Seperti hutan kelapa pikirku. Saujana mata memandang tampak berjajar rapi. Semua sama. Hutan buatan mungkin. Batinku mengira-ngira.
Sang sopir terlihat menelepon seseorang. Bosnya barangkali. Meminta mobil pengganti. Intinya seperti itu. Sebab aku tidak terlalu mengerti bahasanya.
Akhirnya aku putuskan untuk turun. Bersamaan para penumpang yang lain. Pak sopir mencoba membuka kap mobil. Berusaha mencari penyebab mogoknya kendaraan.
Kurang lebih 30 menit berdiri di sana. Terkadang aku berjongkok. Berdiri. Berjongkok lagi. Lalu kembali berdiri. Mobil tak kunjung menyala. Mobil pengganti pun tak jua datang.
Aku menghela napas entah yang kesekian kali.
Hingga pada akhirnya sebuah mobil berhenti tepat di depan mobil yang mogok tersebut. Setelah sebelumnya sempat melaju kencang, lalu berjalan mundur menghampiri kami. Seorang pria mendekati sang sopir. Berbicara entah apa.
Eh, tapi tunggu ... bukankah itu?
“Mbaknya tujuannya mau ke mana?” tanya pria itu mendekatiku.
“Sarolangun.”
“Tujuan kita sama. Kalo mau, bisa sekalian sama kami,” pria itu menawari tumpangan.
Jeda sejenak.
Ragu.
Tapi sepertinya orang itu meyakinkan. Penampilan dan kendaraan mobil Pajero Sport Dakar berwarna hitam mengilat salah satu buktinya. Kalaupun penculik atau orang jahat tidak mungkin berpenampilan perlente, bukan?
Aku masih bergeming.
“Silakan,” imbuh pria tersebut membuka pintu kedua dengan sopan. Lalu, mempersilakan aku untuk naik.
Aku mengangguk kecil. Mengambil barangku di mobil yang mogok. Kemudian berpindah ke mobil yang memberikan tumpangan. Aku duduk di bangku kedua.
Kami bertiga dalam kebisuan. Sangat lama. Bahkan mungkin hampir selama dalam perjalanan. Semua bergeming entah apa yang ada dalam benak masing-masing. Rasanya aku ingin bicara. Tapi melihat gelagat penumpang di sebelah sopir yang menawariku tumpangan. Akhirnya urung aku lakukan.
Perjalanan ke lokasi rasanya panjang. Meski kecepatan mobil jangan ditanya. Di atas rata-rata. Hingga membuat perutku mual rasanya.
Aku berusaha memejamkan mata. Meski sulit akhirnya tertidur juga. Entah sudah berapa jam mataku terpejam. Tiba aku terbangun ketika kepalaku membentur kaca jendela.
Jedug.
Aku meringis sambil mengusap pelipisku.
Masa bodoh dengan kondisiku sekarang. Kusut. Rambut acak-acakan. Beberapa kali aku menyugar suraiku lalu mengikatnya cepol. Aku menegakkan punggungku.
Kini pemandangan tak lagi sama saat memasuki jalan sepi. Jalan aspal yang setengah rusak. Berlubang sana sini hanya ditambal tanah merah. Pohon kelapa kembali berbaris rapi dan semua tampak sama.
“Kelapa," gumamku dengan tatapan ke sisi jendela kaca.
Laki-laki yang duduk di depanku tertawa sinis.
“Ada yang aneh?” tandasku kesal.
Justru laki-laki itu semakin menertawai sikapku.
Aku mendesis.
“Ini kelapa sawit. Bukan kelapa," sanggah orang yang dipanggil Pak Ru itu.
“Sama-sama kelapa,” aku tetap dalam argumenku.
Laki-laki itu berdecak.
Sementara terlihat dari kaca spion dalam sang sopir tersenyum tipis.
“Ini sudah sampai mana?” tanyaku mengalihkan perhatian. Perdebatan kelapa dan kelapa sawit tak akan ada ujungnya pikirku.
“Ayik itam,” sahut sang sopir.
Aku mengulangi, “Ayik itam?”
“Maksud saya Air Hitam,” ralat sang sopir.
Syukurlah ini awal tujuanku. Sebelum nantinya lebih masuk ke dalam kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas.
Tapi sebelum itu aku menghubungi sepupuku. Berulang kali menelepon nada sambung selalu sibuk. Panggilan terakhir masuk, sayangnya tidak diangkat. Tak patah arang aku berusaha menghubungi istrinya, syukurlah langsung tersambung.
“Ya, Mala ....”
“Mbak Rei,”
“Mala minta tolong sampaikan ke Mas Danang. Mala cancel ke Palembang. Jadinya ke Jambi. Tadi menghubungi Mas Danang tapi gak diangkat.”
“Mungkin beberapa hari Mala gak bisa dihubungi sebab ....”
Tut ... tut ... tut
“Hah!” Aku melihat layar ponselku. Karena sambungan telepon terputus tiba-tiba.
Aku berdecak, “Gak ada sinyal.”
Aku berusaha mengangkat tinggi ponsel dan menggoyangnya demi mendapatkan sinyal kembali. Tapi nihil. Kuangkat lagi, kondisi masih sama. Akhirnya aku pasrah.
-
-
Happy reading ❤
Terima kasih yang sudah mampir, membaca dan memberikan dukungannya ... 🙏
Jangan lupa tekan Fav, untuk mendapatkan notifikasi dan sebagai koleksi di rak buku kalian jika suka. Lalu like, comment, dan vote, poin maupun koin seikhlasnya ....
Salam,
enel choi, 🤗
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
Fauzi Nizam
baca ulang lagi
2024-08-27
0
Lily
baru nemu karya otor.
kayaknya bagus
2024-02-29
0
T.N
nyimak...
2024-01-07
1