...1. Ayik Itam...
Sayup-sayup terdengar suara musik Minang saat gadis itu menurunkan kaca jendela. Ketika mobil tepat berhenti di sebuah rumah dengan halaman luas. Ia bergegas turun. Di ikuti Pak Ru dan sopirnya.
Semakin dekat, semakin kuat musik menggelegar memenuhi telinga mereka.
...Babiduak mangko badayuang...
...Nak jaleh jo tapian...
...Den duduak baok bamanuang...
...Nak jaleh jo parasaian...
“Assalamu’alaikum,” teriak sang sopir. Saat mereka tiba di teras rumah. Tak ada sahutan. Saking kencangnya suara musik yang menguar memenuhi seluruh ruangan hampa.
...Usah uda jadikan baban...
...Alah jodoh jo suratan...
...Aia mato lai den tahan...
...Kasiah ka uda tak ka mungkin hilang...
Tok ... tok ... tok
“Assalamu’alaikum ....” Pak sopir kembali berucap salam sambil mengetuk pintu yang terbuka lebar.
...Uda sayang tolong dangakan...
...Lah suratan ditangguang badan...
...Matohari nan denai hadang...
...Kandak rang tuo tak mungkin den lawan...
...-Rantau Den Pajauah-Ipank feat Rayola-...
“Assa—” Pak Ru sudah membuka mulutnya untuk kembali mengucap. Namun terpotong sahutan dari dalam bersamaan dengan musik yang di pelankan.
“Wa’alaikumsalam ....” Seorang pria berumur dengan kulit eksotis, berpeci hitam, bersarung kotak-kotak dengan kaos putih yang usang muncul dengan tersenyum menyambut mereka.
“Silakan, masuk.” Tuan rumah menyilakan untuk duduk di kursi plastik berwarna biru.
“Ado apo, Pak Ru. Tumben kemari?”
“Nampaknyo, mau ngasih gawe lagi. Ya, dak, Pak Toni?!” Pria itu terkekeh.
Laki-laki yang disebut Pak Ru itu menoleh pada pria yang disebut Pak Toni. Lalu mengedikkan bahunya.
Pak Toni berdehem, “Begini, Pak. Kami mau mengantarkan—” pria itu menatapnya.
Ia menimpali, “Saya, Gemala.”
“Iya, kami mengantarkan Mbak Gemala ini. Tujuannya—”
Dengan cepat ia mengeluarkan amplop putih dari tas ranselnya kemudian disodorkan di atas meja plastik biru yang diselimuti taplak kain berwarna bunga-bunga merah.
“Saya sedang melakukan penelitian terhadap Suku Anak Dalam. Untuk tugas akhir,”
“Di dalam amplop ini ada surat-surat perizinannya.”
Pria berpeci hitam manggut-manggut.
“Sayo, Waylik. Dulu sayo salah satu Tumenggung SAD. Tapi itu dulu. Sayo dan keluarga sudah tinggal di sini berbaur dengan warga sekitar.”
Ia tersenyum, “Bisakah,”
“Bisa-bisa. Kami bisa membantu.”
Obrolan dengan Pak Waylik mengalir begitu saja. Pak Ru lebih banyak diam. Sementara Pak Toni kadang kala menimpali.
Setelah mengobrol panjang lebar, dan suguhan kopi hitam telah hampir kandas. Pak Ru dan Pak Toni pamit.
“Kapan-kapan kami mampir ke sini, Pak Way," pungkas Pak Ru sambil mereka berjabat tangan.
Ia pun mengekori mereka hingga ke mobil.
“Saya, mau ambil barang,” terangnya sebelum laki-laki itu bertanya. "Terima kasih atas tumpangannya,” imbuhnya seraya tersenyum.
Pak Toni telah menurunkan kopernya dari kabin mobil.
“Saya, Gemala.” Ia mengulurkan tangannya, “maaf terlambat baru sekarang berkenalan.”
Toni menyambut tangannya, “Toni.”
Tapi laki-laki yang dipanggil Pak Ru itu justru cuek masuk ke dalam mobil. Tak mengidahkannya sama sekali.
“Beliau, Pak Ru. Atasan saya.” Terang Toni. Lalu bergegas memutari mobil.
Ia sekilas melihat laki-laki itu yang kembali mengenakan kaca mata hitamnya. Hingga mobil itu bergerak perlahan meninggalkan rumah Waylik.
...***...
“Jadi Ibu udah punya cucu 20?” tanyanya saat membantu Ibu Saidan—istri Waylik--memasak di tungku. Ia meniup api agar terjaga menggunakan semprong.
Uhuk.
Uhuk.
Ia menghirup asap dari semprong. Matanya pedih. Tenggorokannya perih.
“Ati-ati. Bialah Ibu yang buat apinya,” sergah Saidan.
Ia masih terbatuk-batuk, menyerahkan semprong tersebut.
Dan sekali tiup, api langsung menyala kembali.
Ia meringis. Malu.
“Cucung kami 20. Dari duo istri. Istri pertamonyo lah meninggal punya 5 anak. Sama sayo ado 5 anak.”
“Anak-anak semuanyo berpencar. Cari rezeki masing-masing. Ado 2 cucung yang tinggal sama kami.”
“Assalamu’alaikum,” sapa 2 anak kecil hampir bersamaan yang baru saja datang.
“Inilah cucung kami, namanya Azizah sama Nyumba.” Saidan memperkenalkan cucunya. “Salim dulu,” perintah Saidan pada 2 cucunya.
Lingkungan di desa yang didatanginya lumayan ramai. Saat sore menjelang anak-anak baru saja pulang dari sekolah madrasah. Sementara ibu-ibu ada yang sekedar duduk-duduk di teras. Sebagian memunguti jemuran pinangnya yang mulai kering.
Bersyukur ia diberi tumpangan Waylik di rumahnya. Menempati salah satu kamar anak laki-lakinya yang baru saja menikah.
“Cemano, mau mulai dari mano? Sayo biso bantu, tapi kalo pas senggang. Kalo pas sibuk, maaf sayo dak biso," kata Waylik saat mereka telah menyelesaikan makan malamnya.
“Saya mulai dari kampung ini dulu, Pak. Mungkin beberapa hari,”
“Kalo ado apo-apo bilang saja. Jangan takut.”
“Nanti biar Zizah sama Nyumba yang ngawani. Tapi kalo rombong di sini semua sudah paham Bahasa Indonesia,” Waylik tampak menyeruput kopi hitamnya dalam gelas belimbing.
“Nah, nanti kalo di dalam hutan. Bialah sama sayo. Di sano dak sembarangan orang bisa masuk," jelas Waylik.
Ia mengangguk.
Malam pertama di Ayik Itam ia menempati kamar ukuran 3 x 3 meter. Di rumah bagian belakang dengan dinding setengah masih kayu. Lantai semen dilapisi karpet plastik bercorak batik. Hanya terdapat ranjang dengan kasur tipis, meja kecil dan kursi usang. Serta lemari pakaian hanya satu pintu.
Ia mendesahkan napas. Suara ponselnya membuatnya menjengit.
Mama calling ....
“Ya, Ma.” Sahutnya sambil berdiri menghadap jendela. Ia sengaja me-loudspeaker volume ponselnya.
“Kamu udah sampai, Sayang?”
“Udah, Ma. Tadi siang.”
“Kok susah sekali menghubungi kamu. Dari tadi Mama nyoba telpon. Tapi di luar jangkauan terus.”
“Mama ... ‘kan, Mala udah bilang. Penelitian ini di hutan. Pelosok. Jadi susah sinyal,” curhatnya. “Ini aja, ponsel harus berdiri di jendela. Geser dikit sinyal ilang.”
“Itulah ... dari awal Mama bilang cari tempat yang mudah dijangkau, bukan pelosok gini, Sayang.”
“Lagian kamu ini iya-iya aja usul dosen kamu. Kan, kamu juga punya hak nyari tempat. Bukan nurut-nurut aja!”
“Sekarang, kamu kayak di planet mana gitu. Mama susah banget mau telpon aja. Mending di Melbourne tiap detik bisa nyambung komunikasi ....”
Dan suara mama masih terus berdengung. Sementara ia menjauh dari jendela. Duduk di kursi.
“Mal ....”
“Mala ....”
“Hallo ... Mala?!”
Ia kembali berdiri menghadap jendela. “Ya, Ma.”
“Ingat pesan Mama! Hati-hati dan mawas diri. Jangan sembarangan makan. Jangan gampang percaya sama orang. Jangan gegabah ambil keputusan. Jang—”
“Iya, Ma. Iya," potongnya cepat.
“Okay ... love you.”
“Love you too, salam buat Papa.”
Sambungan telepon itu pun berakhir.
Tidurnya dalam gelisah. Suara nyamuk berdenging hilir mudik di indra pendengarannya.
Plak!
Lolos.
Plak!
Lolos lagi.
Ia mendesah. Meski tangan dan kaki telah diolesi autan sachet-an yang Ibu Saidan berikan tadi sebelum masuk kamar. Tapi tetap saja suara nyamuk membuat matanya nyalang susah terpejam.
Ia belum pernah mengalami kehidupan yang seperti ini. Selalu tercukupi bahkan berlebih. Hidupnya terjamin. Tapi ia selalu berusaha menempatkan diri di mana pun. Mandiri sejak kecil jauh dari orang tua membuatnya belajar dari pengalaman.
Ngiiiiiiingg ....
Plak!
“Akhirnya,” desahnya penuh kepuasan setelah berhasil menangkap seekor nyamuk berukuran besar.
Keesokan paginya ia terbangun kesiangan. Pak Way dan Ibu Saidan telah pergi ke ladang. Sementara di rumah tinggal Azizah dan Nyumba. Kedua gadis kecil itu masih duduk di bangku Sekolah Dasar kelas 5 dan 4.
“Kakak, disuruh makan sama nenek betino," kata Azizah saat melihatnya keluar dari kamar mandi yang terpisah di belakang rumah.
“Makasih, Zah. Nanti Kakak, makan. Barengan, yuk!” ajaknya.
“Kami, lah makan, Kak," sahut Zizah.
Ia tersenyum.
“Nanti habis makan temani Kakak keliling ya,” pintanya. Ini hari minggu. Kedua gadis kecil itu libur sekolah. Jadi bisa menemaninya.
Azizah mengangguk.
Tak berapa lama ia keluar rumah bersama dengan Zizah dan Nyumba saat matahari sudah sepenggalah.
Jalanan becek bekas hujan tadi malam masih membekas. Ditambah tidak adanya parit untuk saluran pembuangan air menjadikan air tergenang di kubangan.
Keberadaan Zizah dan Nyumba sangat membantunya. Mereka menunjukkan satu persatu warga yang masih keturunan Suku Anak Dalam (SAD) atau orang Rimba.
Walau sebagai kepala keluarga sebagian besar pergi berladang atau mencari nafkah di pagi ini. Tapi ia bisa berinteraksi dengan kaum para ibu dan anak-anak.
Mereka ramah. Dan menyambutnya dengan baik.
Kehidupan mereka yang memilih tinggal di luar Taman Nasional Bukit Duabelas jelas lebih tertatih-tatih. Apalagi dengan kehidupan nomaden. Areal hutan sebagai sumber kehidupan yang banyak beralih fungsi. Lalu harus bersinggungan dengan orang luar. Meski, ya ... sebagian lain hidupnya lebih maju dan berhasil. Seperti keluarga Pak Waylik contohnya.
Tapi tak sedikit juga yang diambang kepayahan.
Menurut informasi, dulu pemerintah membuatkan mereka rumah dan ladang untuk bercocok tanam. Seperti program transmigrasi. Tapi sayangnya mereka lupa bahwa SAD punya tradisi nomaden atau pengembara.
Tentu butuh pendampingan yang ekstra. Berbeda dari transmigrasi yang berasal dari Pulau Jawa.
Dengan terpaksa rumah dan ladang yang diperuntukkan kelompok SAD akhirnya diperjualbelikan dengan harga seadanya. Lalu pada akhirnya mereka hidup kembali berpindah-pindah. Miris sih.
“Duo anak kami seminggu ini domom (sakit). Kami dak bisa makan tiap hari,” ujar Selisih. Kala ia mewawancarai salah satu penghuni rumah bantuan dari pemda setempat. Hatinya langsung terenyuh. “Bapaknyo lah cari uang ke sano kemari. Tapi dak ado hasil,” imbuh Selisih.
Ia mencoba meraba kening kedua anak tersebut dengan punggung tangan. Benar saja. Masih demam.
“Gak dibawa ke Puskesmas, Bu?” tanyanya.
“Puskesmas jauh. Lagi pulo, kami dak ado duit. Cemano bayarnyo nanti.” Raut wajah Selisih memilukan. Gurat kesusahan dan kesedihan sangat kentara sekali.
Ia merogoh uang dalam saku celananya, “Mungkin bisa sedikit membantu, Bu. Terimalah.” Menarik tangan Selisih lalu meletakkan beberapa lembar di telapak tangannya.
Selisih tidak menolak. Bahkan malah menangis.
“Terima kasih, Kak. Terima kasih ....” Seraya menyusut air matanya dengan ujung baju yang dikenakannya.
Ia menepuk bahu Selisih, “Harus secepatnya dibawa ke Puskesmas, Bu. Jangan ditunda lagi.”
Mereka kembali ke rumah saat matahari tepat di atas kepala. Dengan peluh yang bercucuran. Sebab cuaca sedang terik-teriknya.
Sore harinya ia kembali berkeliling. Kali ini hanya ditemani Zizah. Tujuannya bukan lagi warga yang di rumah penampungan. Tapi, kelompok yang nomaden. Masih sekitar desa, namun berbatasan dengan perkebunan perusahaan kelapa. Eh ... kelapa sawit.
Tanpa sadar sudut bibirnya tertarik ke atas. Mengingat perdebatan kelapa dan kelapa sawit. Mengingatkan pada laki-laki yang arogan dan bossy. Siapa lagi?
Ternyata membawa Zizah memang ada hikmahnya. Anak-anak kelompok Temenggung Bekilat langsung berbaur dengan Zizah.
“Lah, lamo kami di sini," jawab Bekilat ketika ia menanyakan sudah berapa lama tinggal di perkebunan sawit. Ia dan Bekilat duduk di atas pelepah sawit dekat sudung.
Dengan kondisi sudung seadanya. Beratapkan terpal. Tanpa sekat dan dinding. Bagaimana mereka bisa bertahan seperti ini, pikirnya.
Kelompok Bekilat terdiri dari 35 orang. Dengan 3 istri dan 16 anak. Sisanya adalah keluarga kecil beserta anak-anaknya. Bahkan anak yang sudah menikah masih ikut dengannya. Namun dengan sudung berbeda. Tradisi matrilineal SAD bahwa anak laki-laki yang sudah menikah harus tinggal bersama keluarga dan kerabat dari istri.
Mereka tinggal dalam keluarga kecil dan keluarga besar. Keluarga kecil terdiri dari pasangan suami istri dan anak-anak yang belum menikah. Sementara keluarga besar terdiri dari beberapa keluarga kecil dari pihak kerabat istri.
“Baru 1 minggu anak-anak kecik (kecil) lah sembuh dari domom (sakit),” imbuh Bekilat. “Tapi ado yang masik domom, induknyo (ibunya). Kami sendirikan. Biar dak nular ke yang lain,”
“Bepak, Induk (ibu) panggil-panggil," sela anak kecil yang menyambutnya tadi di awal kedatangannya bersama Zizah.
Bekilat tak acuh, “Lah, biaso. Waktunya dekat melahirkan.”
Tapi baru beberapa detik anak itu berlalu, terdengar teriakan para ibu membuatnya berdiri. Pun dengan Bekilat. Ia mengekori Bekilat hingga tiba di sudung sedikit jauh tapi masih satu lokasi.
“Kenapo?” tanya Bekilat.
“Deghoh (darah)!” teriak salah satu istri Bekilat menunjuk paha ibu yang mau melahirkan tadi.
“Panggil dukun!” teriak Bekilat menyuruh salah satu kerabatnya. Bergegas salah satu kerabat yang disuruh itu pun segera melajukan motornya.
Ia ikut panik. Darah semakin banyak yang keluar. Ibu tersebut merintih kesakitan. Matanya mengedar ke segala arah mencari sosok Zizah.
“Zah!” panggilnya.
Zizah muncul dari belakangnya, “Kakak.”
Ia berjongkok, “Kamu tahu di mana bidan?” tanyanya sembari memegang kedua bahu Zizah.
Azizah mengangguk. “Tapi,” jeda sesaat.
“Tapi apa?”
“Jauh. Di puskesmas.” Kedua tangannya langsung melorot. Sementara kondisi istri Bekilat sepertinya parah. Harus secepatnya ditangani dokter atau pihak medis paling tidak.
Ia menggandeng Zizah berjalan menjauhi sudung menuju tepi jalan. Kerabat Bekilat sudah semua berkumpul. Ada yang bersedih. Menangis, bahkan berteriak yang ia tidak tahu artinya apa.
Duduk di bawah pohon sawit beralaskan pelepah. Tatapannya kosong. Ini pertama kali. Seumur hidupnya melihat orang mau melahirkan berdarah dalam kesakitan. Tapi ia tidak bisa menolong.
Setetes kristal cair bergulir dari pelupuk matanya.
“Kak,”
Ia bergeming.
“Kak,” panggil Zizah kedua kali.
Ia masih bergeming.
Zizah menggoyang lengannya yang memeluk kakinya yang ditekuk.
“Kak!”
Ia baru menoleh.
“Itu,” tunjuk Zizah pada sebuah mobil yang berhenti tepat di depannya.
-
-
Catatan :
Sudung : rumah atau tempat tinggal Suku Anak Dalam. Biasa berupa pondok tanpa dinding beratapkan daun benal atau rumbia. Tapi kondisi sekarang jauh berbeda. Lebih banyak beratap terpal dan beralaskan pelepah. Tiap sudung keluarga terpisah dengan sudung keluarga lainnya. Pun, bagi anak-anak yang sudah besar dibuatkan sudung sendiri. Namun masih 1 lokasi dalam kelompoknya.
Terima kasih yang berkenan mampir, membaca dan memberikan dukungannya ... 🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
Fauzi Nizam
kangen sama pak ru baca ulang lagi novel ini
2024-08-27
0
Windy Veriyanti
terima kasih banyak...saya jadi memperoleh tambahan pengetahuan mengenai kehidupan Suka Anak Dalam 🙏👍
2023-03-05
0
Sri Bayoe
nyimak
2023-01-05
0