Pagi hari disambut oleh rinai hujan yang turun membasahi bumi sejak beberapa jam terakhir. Hawa dingin yang dihantar oleh rinai itu membuat para manusia semakin bermalas-malasan. Mereka memilih semakin memejamkan mata, daripada bangun dan menjalankan aktivitas di bawah air.
Namun, tidak dengan penguasa mansion yang satu ini. Ia terbangun dari tidur nyenyaknya karena merasa sakit perut akibat dingin yang menyeruak ke dalam tubuh karena tidak berlapis sehelai benang pun. Ia hanya tidur dengan menggunakan celana pendek. Ia berjalan menuju kamar mandi yang berada dalam kamar kemudian segera mengeluarkan tinja yang sedari tadi meronta ingin dikeluarkan. Setelah selesai, ia keluar dan duduk di sofa beludru berwarna merah yang ada di kamarnya.
Begitu merasa lebih baik, ia berjalan menuju dapur untuk memasak sesuatu yang dapat menghangatkan tubuhnya. Ia mengambil alih pekerjaan yang dilakukan koki khusus di sana.
"Tolong ambilkan dua mangkuk," pintanya pada pelayan yang masih setia berdiri sambil memandangi.
Ia meletakkan sop ke dalam dua mangkuk setelah matang, mengambil nampan, dan menaruh satu mangkuk sop di atasnya serta susu cokelat yang telah diseduh.
"Tolong kau bawakan mangkuk itu ke kamarku," ujarnya sebelum melangkah sambil membawa nampan di tangannya.
Ia berjalan menuju kamar tamu untuk membangunkan gadis yang datang bersamanya semalam. Setelah menekan tombol, ia melihat gadis yang ditolong semalam masih terlelap di atas tempat tidur. Ia tersenyum singkat kemudian melangkah masuk ke dalam kamar dan meletakkan nampan di atas nakas.
Setelah itu, ia membuka tirai jendela agar ada cahaya yang masuk untuk menyinari kamar. Begitu selesai, ia beralih menuju tempat tidur dan duduk tepat di bagian tempat tidur yang kosong. Ia tersenyum saat melihat wajah tenang Agnese. Tanpa ia sadari, Agnese menggeliat dan perlahan membuka mata.
Agnese langsung bangun begitu melihat sosok pria ada di dalam kamar. "Kenapa kau bisa ada di kamarku? Lancang sekali kau!"
Agnese menajamkan penglihatannya, kemudian menggeleng dan menelan saliva saat melihat pria di hadapannya. Tunggu! Sepertinya ia baru sadar jika berada di kamar orang lain, bukan kamarnya.
Pria itu kembali tersenyum melihat tingkah Agnese yang begitu lucu menurutnya. "Kurasa kalimat yang kau ucapkan tadi harusnya keluar dari mulutku."
Agnese terdiam dan memerhatikan sekitar kamar. Benar. Itu bukan kamarnya. Ia mengembuskan napas kasar, lalu beranjak dari tempat tidur. "Maafkan aku. Sebaiknya aku pergi dari sini."
Agnese beranjak dari tempat tidur dan berjalan mendekati pintu. Namun, belum sempat tiba di depan pintu, ia mengembuskan napas kesal karena pintu itu tertutup rapat tanpa ada yang menyentuh. Dengan sangat terpaksa, ia membalikkan tubuh dan menatap pria itu.
"Kenapa kau membalikkan badan? Biar aku tebak! Pasti kau ingin memeluk tubuhku sebelum meninggalkan rumah ini, bukan? Kemarilah, akan kuberi kau pelukan hangat milikku," katanya sambil merentangkan tangan.
Agnese bergidik ngeri saat mendengar ucapan pria itu. Ia kembali berbalik badan dan memilih menghampiri pintu yang tertutup itu. Namun, saat memutar engsel pintu, tetap saja pintu itu tidak terbuka. Sepertinya ia memang harus menelan pil pahit sebab harus terkurung dalam satu ruangan bersama pria yang menjengkelkan.
Damn! Bagaimana cara agar aku bisa pulang ke rumah dan berangkat ke sekolah kalau pintu kamar ini saja tidak dapat kubuka?
Agnese terus saja memutar engsel pintu berharap pintu itu akan terbuka. Pria itu beranjak dari tempat tidur dan menghampirinya yang masih sibuk dengan engsel pintu.
"Sebaiknya kau sarapan dulu. Setelah itu, aku akan mengantarmu pulang," kata pria itu yang berhasil menarik perhatian Agnese.
Agnese menatap pria yang sudah berdiri di hadapannya. Ia menaikkan sebelah alis sambil bersedekap dada. "Benarkah itu? Kumohon padamu, antarkan aku pulang sekarang. Aku tidak mau ketinggalan pelajaran di sekolah, aku harus pulang."
Pria itu mengangkat bahu dengan abai dan kembali duduk di tempat tidur. "Sudah kukatakan, bukan? Sarapanlah lalu aku akan mengantarmu pulang," balas pria itu lalu mengambil semangkuk sop yang telah dimasak khusus untuk Agnese.
Mau tidak mau, Agnese mengangguk setuju. Lagi pula jika ia sarapan sekarang, pria itu akan mengantarnya pulang. Ia melangkah maju dan mengambil semangkuk sop dari tangan pria itu lalu ikut duduk di tempat tidur.
"Makanlah! Aku akan mandi," kata pria itu lalu meninggalkan Agnese.
"Siapa yang membuat ini? Dios mio! Rasanya nikmat sekali," kata Agnese sambil terus menyuapi mulutnya dengan sop.
Agnese makan hingga sop yang ada dalam mangkuk tandas. Setelah itu, ia meneguk susu cokelat yang masih hangat hingga tinggal seperempat dari ukuran gelas. Ia kembali menyimpan wadah bekas makanannya di atas nakas lalu menatap sekeliling. Ia begitu takjub dengan desain interior yang menghiasi kamar.
Agnese berjalan menuju kamar mandi yang bersatu dalam kamar tersebut karena ingin membuang hadas kecil. Saat keluar dari kamar mandi, ia kembali mengedarkan pandangan. Namun, kali ini ia juga menyentuh benda yang terpampang di sana. Rasa bangga menyelimuti dirinya karena kembali bisa merasakan bagaimana lembutnya barang mahal.
Sebelum sang ayah meninggal dan bangkrut, Agnese masih bisa merasakan kekayaan yang melimpah. Apa pun yang diinginkan, pasti bisa dibeli karena dulu uangnya masih banyak. Berbeda dengan sekarang yang harus menghemat.
Untuk makan saja, uangnya hanya cukup membeli bahan makan siang dan makan malam. Sejak ayahnya mengalami kebangkrutan, Agnese sudah tidak pernah lagi merasakan yang namanya sarapan. Namun, hari ini ia bisa kembali merasakan nikmatnya sarapan. Karena bertemu pria itu, ia jadi bisa merasakan kenikmatan yang dulu sempat dirasakan saat sang ayah masih hidup.
Sebuah genggaman tangan di pundaknya membuat Agnese terlunjak kaget saat tengah menyentuh sofa yang ada di kamar sambil memikirkan kehidupannya yang lalu.
"Eh, maaf. Aku tidak bermaksud menyentuh barangmu," ucap Agnese gelagapan padahal hanya menyentuh bagian permukaan sofa.
Pria itu terkekeh dan duduk tepat di sofa yang tadi Agnese sentuh. Ia sudah menggunakan setelan yang biasa digunakan ke kantor.
"Memangnya kau menyentuh barangku?" Agnese mengangguk. "Sejak kapan? Aku tidak pernah merasakan genggaman tanganmu di barangku."
"Tadi aku menyentuh dan mengelus barangmu."
"Hei! Kau tidak pernah menyentuh maupun mengelus barangku sama sekali." Pria itu merentangkan tangan kiri ke sandaran sofa lalu menaikkan kaki kiri ke atas kaki kanannya. "Kemarilah, biarkan aku merasakan sentuhan tanganmu di barangku," lanjutnya.
Agnese melangkah mendekati pria itu. Namun, saat baru dua langkah, ia berhenti lalu menatap wajah pria itu dengan seksama.
"Maaf, tapi kurasa aku harus pulang. Aku tidak ingin terlambat ke sekolah," kata Agnese dan langsung memutar balik badannya lalu kembali melangkah untuk bisa segera pulang ke rumahnya.
Sekolah? Jadi, dia masih kecil? Astaga! Apa yang akan orang pikirkan jika tahu aku menampung gadis yang masih bersekolah?
Namun, sama saja seperti tadi. Pintu kamar kembali tertutup rapat padahal tidak ada bantuan tangan manusia yang menutup. Dengan menahan emosi, Agnese menoleh lalu menatap wajah pria yang telah menolongnya dengan sinis.
"Hei! Kurasa kau tidak akan terlambat seperti yang kau katakan."
"Aku ingin pulang sekarang. Ibuku pasti khawatir apalagi aku tidak pulang ke rumah semalam. Aku harus mengurusnya sebelum berangkat sekolah. Kumohon, bukalah pintu kamarmu," kata Agnese dengan sedikit memohon.
Pria itu berdiri lalu berjalan ke arah Agnese yang sudah siap untuk menangis. Pundak Agnese ditepuk sebanyak dua kali sebelum pintu kamar terbuka. Saat pintu kamar terbuka, Agnese tidak tinggal diam. Ia langsung berlari karena takut pintunya akan tertutup kembali. Setelah berhasil melewati pintu kamar itu, ia berhenti seraya mengatur napas, menatap sekeliling, lalu berdecak kagum.
Mansion itu lebih besar daripada mansion peninggalan mendiang ayahnya. Saat tengah memandangi seisi ruangan, Agnese kembali dikagetkan dengan kehadiran pria itu di hadapannya.
"Kau ingin pulang, bukan?" Agnese mengangguk mengiakan. "Ayo, aku akan mengantarmu pulang lalu ke sekolahmu," kata sang pria lalu berjalan mendahului Agnese yang masih terperangah mendengar ucapannya.
Pria itu bilang jika akan mengantar ke sekolah? Tidak. Agnese tidak akan membiarkan itu terjadi. Yoana saja sangat jarang direpotkan, tetapi kenapa pria itu justru terus saja membuat dirinya repot? Ia berlari kecil untuk menyamakan langkahnya dengan pria itu. Saat ingin mengajukan tentang keberatannya, pria itu sudah lebih dulu memasuki mobil.
Agnese ikut masuk ke dalam mobil tanpa mengeluarkan satu kata pun. Ia duduk diam sambil memerhatikan jalanan yang masih sangat sepi karena masih terlalu pagi.
Di tengah perjalanan, pria itu menanyakan alamat Agnese. Tanpa menjawab pertanyaan sang pria, Agnese hanya menunjukkan jalan apa saja yang harus dilalui untuk tiba ke rumahnya.
"Berhentilah, Tuan! Kau sudah melewati rumahku," seru Agnese sambil memegang tangan pria itu secara spontan. Agnese membuka seatbelt yang mengunci tubuhnya. "Terima kasih. Kau boleh pergi sekarang."
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
dewi syah
barang apa🤭🤭
2020-09-28
0
IG:samudra_lee_19
Barang apa yang yg di maksud🤭
2020-09-11
0
Man
bahaya hahah
2020-07-06
0