Stranger

Setelah semua pekerjaan selesai, Agnese bergegas menuju ruangan khusus untuk para pekerja di kelab malam. Ia mengambil baju di dalam loker kemudian mengayunkan kaki menuju kamar mandi dengan senyum yang terus mengembang. Bagaimana, tidak? Hari ini ia sudah mendapat tiga kali tip lebih dan ia bersyukur karena tanpa menggerakkan tubuh di depan para pengunjung, ia bisa mendapatkan tip lebih.

Selepas mengganti baju, Agnese kembali berjalan untuk pulang ke rumah karena besok harus kembali bersekolah. Ia berjalan dengan terburu-buru karena berharap cepat tiba di rumah tanpa ada halangan. Saat melewati sebuah gang kecil, ia merapatkan jaket yang dipakai dan sesekali menengok ke belakang karena merasa jika ada orang yang mengikutinya. Ia mempercepat langkah begitu melihat ada bayangan di aspal.

Namun, ia kalah cepat dengan orang itu. Mereka berjumlah enam orang sementara Agnese hanya seorang diri. Ia tidak tahu harus berbuat apa karena telah dikepung oleh mereka dengan membentuk sebuah lingkaran.

"Ayo, Nona. Bersenang-senanglah dengan kami," ujar salah satu pria yang mengelilingi tubuh Agnese.

Dalam hati, Agnese terus merapalkan doa. Baru saja merasa senang karena mendapat tip lebih, sekarang ia sudah berada dalam masalah lagi.

Ya Tuhan, kumohon datangkan siapa saja untuk membantuku melawan mereka. Aku tidak mau mati sekarang.

Agnese melihat dagunya disentuh oleh pria berkepala pelontos yang berdiri di samping kanan. Saat pria yang lain hendak menyentuh, ia memalingkan wajah. Alhasil, pria itu hanya sempat menyentuh rambut. Namun, itu kesempatan bagi pria yang berkepala pelontos untuk menjambak rambutnya hingga mengaduh kesakitan.

Air mata Agnese sudah keluar membasahi wajah cantiknya karena menerima perlakuan kasar dari mereka dan karena ketakutan. Pria yang berbadan lebih besar dari yang lain maju dan mencengkeram dagunya. Karena ia terus saja meronta, kedua tangannya langsung dipegangi oleh dua pria yang lain.

"Rupanya gadis cantik ini lebih suka bermain kasar daripada lembut," ucap pria berbadan besar itu seraya membelai pipi Agnese.

"Tidak! Kumohon lepaskan aku. Jangan menyentuhku!"

Agnese memohon dengan keadaan yang sangat menyedihkan. Kedua tangan dipegangi, dagu dicengkeram, dan rambut yang masih ditarik setelah dijambak tadi. Saat pria yang berdiri di hadapannya hendak mencium bibir, tiba-tiba terdengar suara ban mobil yang berdecit sehingga membuat mereka berbalik badan untuk melihat siapa yang telah menganggu.

Tak lama kemudian, seorang pria turun dari dalam mobil berjenis Maserati GranCabrio. Dengan santai, ia membuka kacamata lalu menempatkannya di kerah sweater yang digunakan. Ia adalah salah satu orang yang paling penting di negara USA. Namun, keenam pria mabuk dan Agnese tidak terlalu mengenalinya. Maka dari itu, mereka terlihat santai saat melihat kedatangannya.

Agnese semakin merasa takut karena terdapat pria lain. Namun, ia tidak tinggal diam, ia justru memanfaatkan situasi yang ada dengam menggigit tangan dan menendang orang yang menahannya. Setelah berhasil, ia berlari kencang agar segera menjauh dari tempat itu.

Pria yang bersandar di depan mobil tersenyum penuh kemenangan saat melihat aksi Agnese meloloskan diri. Ia melihat keenam pria itu mencoba mendekatinya. Tidak ada rasa takut sedikit pun yang terpancar dari wajah mulus nan tampan yang dimiliki. Saat pria pelontos berdiri di depannya, ia hanya menatap tajam pria itu dengan mata elang yang dimiliki.

Pria berkepala pelontos itu tampak takut, tetapi tidak menunjukkannya. Dengan keberanian yang melekat, ia mengepalkan tangan dan langsung melayangkan bogeman mentah ke wajah pria tampan di hadapannya. Namun, saat jarak kepalan tangan masih berjarak sekitar tujuh senti, ia langsung menangkis kepalan tangan dan memutar tangan pria berkepala pelontos itu.

Melihat temannya kesakitan, pria yang lain maju untuk menyerang pria yang datang bersama mobil mewah. Namun, pria bermobil begitu mahir dalam melawan keenam pria bejat yang suka mengganggu para gadis yang melintas di sekitar gang di sana termasuk Agnese yang hampir menjadi korban mereka.

Pria bermobil sempat lengah hingga terkena satu pukulan tepat di pipi kanannya. Namun, ia tidak langsung membalas, ia justru menunggu rasa sakit di pipinya menyebar. Semakin merasa sakit, maka kemarahan yang ada dalam dirinya akan semakin memuncak.

Sebelum pergi dari sana, Agnese tinggal menyaksikan pertarungan yang terjadi di depan gang kecil itu. Ia meringis sakit saat melihat wajah pria bermobil terkena bogeman dari salah satu pria mabuk di sana.

Dalam waktu singkat, pria bermobil berhasil melumpuhkan keenam pria itu. Ia kembali memakai kacamata yang sempat dilepas lalu masuk ke dalam mobil hitam dan mengendarainya dengan kecepatan pelan. Sambil mengendarai, ia celingak-celinguk untuk menemukan keberadaan Agnese yang sempat kabur dari kepungan keenam pria mabuk tadi.

Agnese kembali berjalan sambil terus merapatkan jaket yang dipakai untuk menghalau dinginnya malam. Saat berjalan, ia dikagetkan dengan mobil hitam yang tiba-tiba berhenti di hadapannya. Dengan sangat terpaksa, ia berhenti melangkah karena mengenali pengendara mobil itu.

"Sebaiknya kau ikut denganku, Nona." Pengendara mobil itu turun sambil bersedekap di depan pintu.

Agnese memutar bola mata saat mendapat ajakan dari pria itu. "Maaf, Tuan, kurasa kau tidak perlu repot-repot menawarkanku untuk ikut bersamamu. Aku bisa pulang sendiri."

Agnese kembali melangkah, tetapi dihalangi oleh pria bertubuh yang lumayan besar itu. Ia berkacak kesal saat melihat pria itu semakin membuatnya terlambat untuk tiba di rumah.

"Kenapa kau tidak mau pulang bersamaku? Tidak usah khawatir, aku hanya ingin memastikanmu tiba di rumah dengan selamat. Setidaknya aku bisa memastikan komplotan pria mabuk tadi tidak mengikutimu."

Agnese tersentak begitu mendengar pria bermobil menyebut sekelompok pria tadi. Ia mengembuskan napas kasar. Mau tidak mau ia harus ikut dengan pria yang ada di hadapannya.

Demi keselamatanmu, Agnese. Kau harus ikut dengan pria ini.

Agnese mengangguk dengan ragu. "Baiklah, aku ikut denganmu. Maaf kalau aku merepotkanmu. Kau sudah dua kali membantuku hari ini, Tuan."

Baik Agnese maupun pria itu sama-sama tersenyum. Agnese menyunggingkan senyum terima kasih, sementara pria itu menyunggingkan senyuman penuh kemenangan karena gadis di hadapannya mau pulang bersama.

"Akan lebih baik kalau kau ikut denganku dari tadi. Kau tahu? Aku tidak suka dengan penolakan," kata pria itu sambil membukakan pintu mobil untuk Agnese.

Agnese masuk dan duduk tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Pria itu berjalan setengah memutari mobil dan masuk ke dalam. Ia memasang sabuk pengaman sebelum mengendara. Namun, ia tak kunjung melaju. Ia justru tinggal bersedekap dada sambil menatap Agnese dari balik kacamata yang digunakan.

Agnese merasa heran dengan pria yang duduk di sampingnya karena belum juga melaju. Ia kembali mengembuskan napas karena mulai kesal sebab pria itu tidak kunjung menyalakan mesin dan mengantarnya pulang.

"Kenapa kau tidak mengendarai mobilmu, Tuan?" tanya Agnese pada akhirnya karena sudah tidak ingin berlama-lama di dalam mobil pria itu.

"Bagaimana aku bisa mengendarai Arnold kalau penumpangku belum memastikan keselamatannya?"

Agnese mengernyit saat mendengar ucapan pria itu.

Arnold? Siapa lagi itu? Tuhan, kenapa hari ini kau mempertemukanku dengan orang asing yang aneh?

Karena pria itu melihat perubahan ekspresi yang terjadi pada wajah Agnese, ia tahu apa yang Agnese pikirkan. Ia terkekeh sejenak sebelum menjawab pertanyaan yang berputar di pikiran Agnese.

"Mobil yang kau naiki saat ini adalah Arnold. Dia yang kau tanyakan, bukan? Kurasa tebakanku benar," kata pria itu seraya tersenyum.

Mata Agnese terbelalak saat apa yang ia pikirkan diketahui oleh pria itu.

Dasar pria aneh. Benda mati saja diberi nama. Siapa tadi namanya? Arnold? Sepertinya nama mobil ini lebih keren daripada namanya sendiri.

"Terserah kau mau menganggapku seperti apa. Yang jelas aku tetap memiliki wajah tampan yang sudah tidak bisa diragukan lagi."

Kurasa dia memang orang yang aneh.

"Percaya dirimu terlalu tinggi, Tuan. Kuharap kau tidak akan merasa sakit hati kalau sebuah kenyataan menamparmu dengan hebat."

Pria itu tersenyum menanggapi ucapan Agnese lalu mencondongkan tubuhnya. Agnese yang menyadari pergerakan tubuh dari pria itu langsung memejamkan mata. Setelah terdengar suara klik, pria itu kembali menegakkan tubuh lalu kembali terkekeh saat melihat Agnese memejamkan mata.

"Bukalah matamu! Kau pikir aku akan menciummu? Sebegitu tampankah aku sehingga kau ingin merasakan sensasi ciuman hangat dari bibirku ini?"

Secara spontan, Agnese memanyunkan bibir ke depan, kemudian memalingkan wajah ke sebelah kanan untuk melihat hamparan jalan. Ia tidak habis pikir dengan pria yang menolongnya. Bagaimana bisa pria itu selalu tahu apa yang dipikirkan? Ia mengakui jika tadi mengira pria itu akan menciumnya. Tidak apa, bukan? Lagi pula memang terlihat seperti ingin menciumnya.

"Sepertinya kau memang ingin dicium. Kemarilah," kata pria itu sambil memajukan tubuhnya ke arah Agnese.

Deru napas Agnese terdengar berat karena sangat kesal. Ingin rasanya ia menguliti tubuh pria itu. Sayangnya, mereka sedang berada dalam mobil dan tenaga yang dimiliki tidak berarti apa-apa jika dibandingkan dengannya.

Pria ini berniat mengantarku pulang atau hanya ingin bermain saja, sih?

Agnese menggerutu dalam hati karena hingga sekarang mobil yang dinaiki belum jalan sedari tadi. Ia sudah sangat lelah dan tubuhnya sudah pegal. Ia harus segera tiba di rumah dan mengistirahatkan tubuhnya agar besok saat bersekolah, ia bisa fokus.

"Ah ya, kurasa kau sangat lelah. Akan kuantar kau sekarang," ucap pria itu dan langsung mengendara dengan kecepatan sedang.

Tak selang beberapa lama setelah pria itu berkendara, Agnese tertidur dengan pulas. Pria itu tidak ingin Agnese merasa tidak aman berada di dekatnya. Jika ia hanya seorang diri dalam mobil, maka kecepatan yang dipakai tidak tanggung-tanggung. Ia menoleh ke kanan untuk melihat wajah Agnese yang terlihat polos ketika tertidur. Sebenarnya ia juga kasihan pada Agnese.

Namun, karena wajah Agnese terlalu menggemaskan saat diajak bercanda seperti tadi, membuatnya ingin terus menggoda. Sekarang ia sedang kebingungan. Bagaimana cara agar bisa tahu di mana rumah Agnese jika orang yang ingin diantar sedang tertidur pulas? Ia menghela napas panjang lalu mengusap wajah dengan gusar.

Sebaiknya aku bawa dia ke rumah.

Pria itu terlihat mengambil sesuatu di dalam dashboard. Ia menekan tombol yang ada di earphone lalu menyematkan di telinga kirinya. Begitu teleponnya diangkat, ia langsung berbicara.

"Gal, tolong siapkan kamar tamu. Tidak lama lagi aku segera tiba," ucapnya lewat panggilan suara yang dilakukan bersama Galeno, kepala mansion yang bekerja di sana.

Setelah mengatakan itu, ia segera mematikan panggilan suara dan kembali fokus mengemudi sambil sesekali menoleh pada Agnese yang masih tertidur pulas.

Wajah Agnese begitu tenang. Berbeda dengan tadi saat berada di antara kumpulan pria yang mabuk itu. Ia terlihat begitu ketakutan. Untung saja dirinya tak sengaja lewat di sana. Jika tidak, entah bagaimana nasib gadis itu. Mungkin sudah habis diperkosa di tangan para pria mabuk itu. Namun, semua hanya sebuah kemungkinan yang belum sempat terjadi karena kehadiran pria yang begitu penting.

Tak butuh waktu lama untuk tiba ke mansion. Mobil sudah berada di luar gerbang. Ia kembali membuka dashboard dan mencari sesuatu. Setelah menemukan yang dicari, ia kemudian memencet tombol yang ada di remote. Secara otomatis, pintu gerbang terbuka dengan sendiri.

Ia pun kembali mengendarai mobil hingga masuk dalam pekarangan rumah dan tak lupa juga kembali memencet tombol agar gerbang tertutup. Ia segera turun dari mobil dan berjalan setengah memutar. Ia membuka pintu dengan hati-hati agar Agnese tidak sampai terbangun.

Pria itu menggendong tubuh Agnese dan segera berjalan masuk ke dalam rumah besar nan mewah yang biasa disebut mansion. Saat masih di depan pintu utama, ia kembali memencet remote agar pintu terbuka dengan sendiri tanpa harus menyentuh engsel yang ada di sana. Rumah itu memang telah dirancang khusus oleh salah satu arsitek terbaik yang ada di negara Italia. Ia juga menyediakan para pekerja di sana masing-masing satu remote untuk memudahkan pekerjaan mereka.

Galeno yang melihat tuannya tiba langsung menghampiri. Ia tersenyum seraya membungkukkan badan. Ia tetap melakukan hal itu meskipun tuannya sudah melarang. Namun, sebagai tanda hormat, ia terus saja melakukannya.

"Apa kamarnya sudah siap?" tanya pria itu sambil terus menggendong tubuh Agnese.

"Sudah, Tuan," jawab Galeno.

Pria itu mengangguk lalu mengayunkan kaki menuju kamar tamu yang telah disiapkan oleh pelayan yang ada di sana. Begitu tiba di kamar, ia merebahkan tubuh Agnese di atas pulau busa yang empuk. Tak lupa juga menutupi tubuh Agnese dengan selimut hingga sebatas leher.

Galeno dari tadi terus saja bertanya dalam hati tentang gadis yang bersama tuannya itu. Sepanjang ia bekerja dengan tuannya itu, baru kali ini ia melihat sang tuan pulang bersama seorang gadis.

"Dia gadis yang aku tolong di jalan. Jagalah dia, aku ingin istirahat," kata pria itu lalu berjalan keluar dari kamar tamu menuju kamarnya yang berada di lantai dua.

Terpopuler

Comments

💮Nena💮🍆

💮Nena💮🍆

galpok sama nama pelayannya galeno mengingatkanku akan sesuatu🤭🤭

2021-09-07

0

dewi syah

dewi syah

mulai.... nich.... seruny...

2020-09-28

0

IG:samudra_lee_19

IG:samudra_lee_19

Sepertinya pria yg menolong Agnesse adalah jodoh yg author sediakan😁

2020-09-11

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!