Sejak saat itu, malam dimana Akio bertamu ke rumah Alma, mereka berdua tetap saling diam dan tidak menyapa sama sekali meski setiap hari bertemu di sekolah, dan duduk berdekatan.
Memang semua warga sekolah tahu, jika Akio tidak pernah berkomunikasi dan bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. Namun justru itu sangat menguntungkan bagi Alma, setidaknya Alma tidak perlu membahas kejadian di kolam lagi.
Sudah cukup setelah menandatangani surat perjanjian dan menerima subsidi tutup mulut. Urusan dengan Akio dianggap tamat.
Namun siang ini, saat mengikuti pelajaran olah raga, semua dibuat takjub oleh Akio. Hari ini jadwal olahraga adalah lari maraton 100 meter, dan saat Akio di panggil untuk berlari bersama dengan beberapa teman yang lain, Akio seolah berlari seperti kuda, begitu cepat.
" Seharusnya jika tidak mau ketahuan tentang jati dirinya, setidaknya dia berpura-pura lemah, atau cukup mengimbangi kecepatan yang lain. Jika dia masih bersikap berbeda dari yang lain, bukankah itu akan membuat orang lain curiga, penasaran, dan akhirnya akan mencari informasi tentang dirinya, nanti kalau ada yang tahu kebenarannya, terus aku yang dijadikan kambing hitam, menyebalkan", batin Alma, sambil mengusap wajahnya kasar.
Seperti halnya hari kemarin saat pembahasan pelajaran kimia di kelas, bahkan Akio berani berdebat dengan guru kimia tentang teori atom. Seolah ia lebih mengerti di banding guru yang mengajar.
Usai pelajaran olahraga, Alma berniat langsung pulang, karena olahraga adalah pelajaran terakhir di hari jum'at.
Siang ini cuaca begitu terik, matahari yang hampir mencapai puncak membuat kepala terasa pusing.
Di tengah perjalanan, Alma sengaja mempercepat laju sepeda, berharap bisa segera sampai di rumah, karena kepala sungguh terasa pusing tersengat panas matahari.
Saat Alma sedang mengayuh sepedanya dengan cepat, sebuah mobil BMW seri X, warna hitam berhenti mendadak di depannya, membuat Sari harus menghentikan kayuhannya.
Kaca pintu mobil bagian belakang terbuka, dan menampakkan sosok pemilik mobil yang berwajah dingin.
" Apa lagi sih mau anak ini?", batin Alma.
" Kenapa masih bersepeda?, apa 75 juta masih kurang untuk mencukupi kebutuhan hidup keluargamu, sampai kamu tida bisa membeli motor dengan uang itu?", pertanyaan Akio membuat Alma membelalakkan matanya.
" Kenapa?, apa mau kamu minta lagi uang itu?".
" Tenang masih utuh di dalam amplop, ibuku simpan di tempat yang aman".
" Takut sewaktu-waktu si pemilik menanyakannya, seperti saat ini".
" Aku mau pulang, tolong beri jalan".
Alma menghindari mobil BMW itu, dan kembali mengayuh sepedanya dengan cepat.
Sepanjang perjalanan Alma terus mengumpat sendiri, dengan apa yang dilakukan Akio barusan.
" Seharusnya jika nggak ikhlas ngasih subsidi tutup mulut, ya nggak usah ngasih".
" Lagian duit sebanyak itu, tentu saja ibu akan takut menggunakannya barang selembar saja".
" Pakai berbohong pada ibuku sedang mengerjakan proyek bersama, bikin aku pusing harus ngomong apa sama ibu".
" Aku harus bilang apa?, masa aku harus berbohong gara-gara si pria dingin itu".
Alma memarkirkan sepedanya di samping rumah, dan langsung masuk ke dalam rumah lewat pintu samping.
Sepertinya ada tamu di rumah, terdengar suara orang ngobrol dari ruang tamu. Dan pintu masuk pun terbuka lebar.
Alma diam-diam mendengarkan percakapan ibunya dengan tamu laki-laki yang ada di ruang tamu, ternyata seorang pria yang menyukai ibunya. Setahu Alma, pria itu sudah datang beberapa kali ke rumah.
Laki-laki ramah, seorang guru SD, duda beranak satu, dan sangat baik pada bara dan Alma, sementara itu penilaian Alma dari sikap pria itu.
Tapi meski sebaik apapun pria itu, Alma tidak ingin punya ayah tiri. Alma takut jika ibunya menikah lagi, maka semua kenangan tentang ayahnya akan semakin menghilang.
Dan Alma tidak mau melupakan semua kenangan bersama ayahnya sekecil apapun itu. Meski mungkin para ibu-ibu tetangga banyak yang menilainya sebagai seorang putri yang egois, karena tidak pernah menyukai laki-laki manapun yang mendekati ibunya.
" Jadi apa anak-anak boleh saya ajak juga?", Alma bisa mendengar pertanyaan ibunya pada pria itu, dengan jelas.
" Tentu saja boleh, saya juga akan mengajak putra saya untuk ikut, biar lebih ramai", jawaban pria itu membuat Alma memutuskan untuk keluar dan ikut ngobrol dengan mereka.
" Loh, kapan kamu pulang Al?", Maemunah yang duduk hanya berjarak sejengkal dengan laki-laki itu langsung berdiri dan menghampiri Alma yang keluar dengan wajah ditekuk.
" Sudah sejak lima menit yang lalu, masa ibu nggak lihat Alma menuntun sepeda tadi, kan Alma lewat depan rumah".
" Pasti lagi asyik ngobrol sama....", Alma menatap laki-laki itu dengan tajam.
" Beliau Pak Sobri, namanya hampir sama dengan nama mendiang ayah kamu kan?, ayo beri salam sama pak Sobri", Maemunah membimbing tangan Alma untuk bergerak ke depan dan menyalami Sobri.
" Wah sekarang sudah SMA ya, putra bapak juga sekolah di Pelita Jaya, kelas 11 IPS 1, apa Alma kenal sama putra bapak?, namanya Zayn Mikael ".
Alma langsung menggelengkan kepalanya. " Maaf nggak pernah denger nama itu".
Mendengar jawaban Alma, Maemunah langsung mencubit tangan putrinya itu.
" Ooh...mungkin Zayn jarang bermain-main ke wilayah kelas 10, jadi Alma nggak kenal".
" Tapi besok saat kita makan diluar, akan bapak kenalkan sama Zayn", ujar Sobri.
" Makan diluar?", Alma mengernyitkan dahi, meminta penjelasan dari ibunya.
" Pak Sobri mengajak kita makan malam di luar besok, kan malam Minggu, pas liburan akhir pekan, jadi kamu dan Bara ikut, nanti Zayn juga akan ikut bersama kita".
Alma semakin marah, kecewa dengan sikap ibunya, yang mengiyakan ajakan laki-laki itu begitu saja, tanpa meminta persetujuan Alma terlebih dahulu.
Alma langsung menatap ibunya dan berkata lirih. " Ibu dan bara saja yang pergi, besok Alma harus mengerjakan proyek bersama Akio, mumpung akhir pekan, jadi maaf Alma nggak bisa ikut". Alma membuang muka dan masuk kedalam rumah.
Alma terpaksa berbohong, agar tidak diminta untuk pergi makan malam diluar bersama laki-laki yang bernama Sobri dan putranya, sepertinya ibunya menyukai laki-laki itu, bahkan dia mengatakan namanya mirip mendiang ayahnya. Hal sepele, tapi itu menyakiti hati Alma, karena belum apa-apa ibu sudah menyama-nyamakan laki-laki itu dengan ayahnya.
***
Esok harinya, tepat jam 4 sore, Pak Sobri datang lagi kerumah bersama putranya yang bernama Zayn. Ternyata wajah putranya sangat mirip dengan pak Sobri, tapi selama Alma sekolah di Pelita Jaya, memang belum pernah melihat Zayn sekalipun.
" Alma, kenalkan ini Zayn, putra pak Sobri", Maemunah meminta Alma untuk berkenalan dengan Zayn.
Alma.
Zayn.
mereka berdua bersalaman dengan ekspresi yang sama-sama di tekuk.
" Maaf saya harus pergi sekarang karena sudah ada janji dengan teman saya". Alma langsung berniat untuk pergi dari rumah. Dengan alasan akan mengerjakan proyek bersama Akio. Tapi tentu saja itu hanya sebuah alasan.
Sebenarnya sore ini tujuan Alma yang sebenarnya mau pergi ke rumah sahabatnya, Sean. Sahabat sejak masih kecil, hingga kini sudah sama-sama remaja.
" Apa nggak bisa di tunda sampai besok mengerjakan proyek nya Al?".
" Nggak bisa Bu, kan hasilnya sudah Alma serahkan sama ibu semuanya".
Alma pun pergi dari rumah mengenakan sweater rajut berwarna marun, celana baggy hitam dan membawa tote bag hitam.
Zayn hanya menatap kepergian Alma dengan tatapan yang tidak biasa.
Alma terus berjalan, tanpa menengok kebelakang. Tidak mau moodnya semakin rusak melihat bibir ibunya yang terus menyunggingkan senyuman sejak pagi. Saking bahagianya mau pergi makan di luar dengan laki-laki yang bernama Sobri itu.
" Sean...Sean...Sean....", Alma berteriak dari depan rumah Sean. Tak lama kemudian Sean langsung membukakan pintu dan menarik Alma masuk ke dalam rumahnya, kemudian kedua gadis itu saling berpelukan untuk melepas kerinduan.
" Aku kira kamu sudah lupa sama aku setelah menjadi siswi di Pelita Jaya. Gimana-gimana awal sekolah disana, cerita-cerita dong Al".
" Sepengetahuan ku, cowok-cowok di Pelita Jaya keren-keren banget ya Al?".
Sean memang sahabat Alma yang paling dekat sejak masih kecil, mereka berdua sekelas sejak TK, namun Sean melanjutkan SMA di sekolah yang berbeda.
Seandainya Sean tahu Alma melanjutkan sekolah di Pelita Jaya, pasti Sean akan mendaftar di sana juga. Namun liburan kelulusan Sean mengunjungi orang tuanya yang tinggal di Swiss, dan tidak tahu jika Alma memperoleh beasiswa di Pelita Jaya.
" Kamu itu, nggak berubah-ubah, masih tetep bahasanya cowok....terus ".
" Gimana kabar uncle dan aunty di Swiss?".
Alma duduk di sofa ruang tengah.
Rumah Sean besar dan berlantai dua, tapi Sean tinggal hanya bersama supir dan pembantunya saja, karena orang tuanya tinggal di Swiss.
" Mom dan dad baik-baik saja, mom juga kirim salam buat kamu, dan....sebentar, aku ambilkan oleh-oleh yang aku siapkan spesial buat kamu". Sean lari ke kamar dan keluar dengan membawa paper bag untuk Alma.
" Wah... repot-repot pakai bawa oleh-oleh segala, tapi thanks ya Se...", Alma mengeluarkan isi paper bag, ternyata syal rajut berwarna putih, sangat indah.
" Gimana...., cantik kan?", Alma menganggukkan kepalanya cepat, kemudian Sean mencoba memakaikan syal rajut itu di leher Alma.
" Ini bisa kamu gunakan jika kamu merasa kedinginan".
" Tapi kalau boleh tahu, ada apa gerangan tiba-tiba kamu datang kemari?", selidik Sean.
" Apa aku nggak boleh main kesini tiba-tiba?".
" Kan sudah lama banget kita nggak ketemu, sejak sekolah di tempat yang berbeda, dan kita di sibukkan dengan urusan kita masing-masing".
" I miss you so much my best friend".
Sean percaya begitu saja dengan ucapan Alma. Padahal bukan itu alasan utama kedatangan Alma di rumah Sean. Alma hanya butuh tempat bersembunyi, untuk menghilangkan rasa kekecewaan terhadap ibunya, dan juga agar tidak ikut makan malam diluar dengan keluarga laki-laki yang disukai ibunya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments
Emak Femes
Halo
mamak mampir disini
2021-09-08
1