Kini Mbah Marlan hidup sendiri tanpa ada satupun sanak keluarga yang mendampinginya.
Perasaan senang kadang timbul di hatinya, namun perasaan bahagia sering dia tanyakan kepada hatinya,
mengapa setelah keinginan nya terpenuhi, dia tetap tidak merasa Bahagia?
Jawaban nya adalah karena kebahagiaan itu tidak akan hadir tanpa kita rasakan.
Faktor pendukung hadirnya rasa itu mesti sinkron antara senang dan bahagia.
Jika rasa senang yang dianggap bahagia itu hanya rasa senang saja, maka tidak akan timbul kedamaian seperti seorang yang senang membunuh, setelah melakukan hal itu, maka dia hanya mendapatkan kesenangan semu sesaat.
Namun lain halnya jika faktor penunjang seperti seseorang yang senang melakukan ibadah dan kebaikan, maka di samping kesenangan yang hadir di hatinya, ada pula rasa damai, aman dan tenteram yang menghiasi dirinya.
Maka saat seperti itu lah seseorang bisa dikatakan bahagia.
Seperti seekor kucing yang senang memakan ikan yang dicurinya, namun tak ada ketenangan pada nya, bahkan suara gemerincing sedikit saja sudah mengejutkan si kucing nakal dan akan membuatnya lari menabrak apa saja yang ada.
Namun jika kucing itu memakan ikan pemberian tuannya, walaupun suara petir menyambar dengan sangat besar, maka sang kucing pun tak akan bergeming sedikitpun dari tempatnya,
Dia akan dengan tenang memakan ikan itu sampai habis ke tulang-tulang nya.
Begitu pula apa yang di lakukan Mbah Marlan,
dia senang melakukan hal yang demikian, namun tak akan pernah tenang karena hati kecilnya tau bahwa itu menyalahi Kudrat Tuhan Yang Maha Esa.
Namun untuk mundur pun sudah tidak mungkin lagi.
Mbah Marlan yang sudah menutup pintu kamar nya segera pergi ke belakang rumah untuk mengambil bangkai kucing hitam yang beberapa waktu lalu di kuburkan nya.
Tak lama setelah dia mengambil bagian-bagian yang penting dari bangkai tersebut,
di depan rumahnya ada suara seorang wanita paruh baya yang sedang memanggil tuan rumah.
Dengan segera Mbah Marlan membuka pintu dan menyuruh wanita yang bernama Ningsih itu masuk dan duduk di sofa.
Setelah menutup pintu dan ikut duduk di depan wanita tersebut,
Mbah Marlan memperhatikan bu Ningsih yang berusia 38 tahun itu dengan seksama dari bawah ke atas.
Dia melihat seorang wanita yang memiliki kaki yang putih bersih dengan paha ketat yang di balut rok berwarna ungu muda,
bu Ningsih juga memiliki pantat yang bahenol dengan postur badan yang sintal berisi, rambutnya lurus dan wangi terurai ke punggung melewati bahunya.
Dia mempunyai wajah yang cantik, cukup awet untuk wanita seusianya dengan alis seperti terlukis dan bulu mata lentik, hidung sedikit mancung dan bibirnya yang menggairahkan membuat Mbah Marlan tak bisa berkata-kata.
Sebenarnya Mbah Marlan adalah seorang pria yang tampan, namun karena terlihat sedikit dekil dengan rambut acak-acakan dan kulit kumal,
ketampanan nya seperti tersembunyi. Namun jika di perhatikan baik-baik, akan tampaklah daya tarik pada Mbah Marlan.
"bagaimana Mbah, obat yang saya pesan kemarin dulu untuk membuat suami betah di rumah?"
Ningsih yang merasa sedikit malu di perhatikan begitu segera bertanya.
"ooo, obat itu sudah ku buatkan, nih nanti kau ambil sedikit dan kau campur ke dalam masakan mu dan berikan kepada suamimu"
ucap Mbah Marlan seraya memberikan bungkusan bangkai kucing hitam tadi yang telah di tumbuk hancur.
lantas Mbah Marlan kembali berkata,
"nanti selepas magrib kau harus datang ke sini sendirian saja untuk melakukan ritual terakhir dan bermalam di sini bersamaku, barulah proses seperti yang kau inginkan akan tercapai".
"baiklah Mbah", ucap bu Ningsih yang lalu pamit pulang.
Selesai mandi, Mbah Marlan segera menyiapkan kamar nya dengan rapi, dia membakar wangi-wangian yang di campur kemenyan putih dan hitam di sudut-sudut ruangan.
Tak lupa dia menaburkan bunga di atas tempat tidur yang telah di semprotkan minyak wangi pas azan magrib berkumandang.
Namun tidak heran, orang seperti Mbah Marlan tidak pernah lagi melakukan shalat Magrib semenjak dia ikut gurunya Ki Tapa Rawut.
Beberapa waktu kemudian, datang lah bu Ningsih dari belakang dengan mengendap-endap mengetuk pintu,
sebenarnya, jika Ningsih datang lewat pintu depan pun takkan ada orang yang curiga kepada Mbah Marlan karena memang rumahnya terletak agak jauh dari pemukiman penduduk.
Setelah membuka pintu, Mbah Marlan segera mempersilahkan bu Ningsih masuk dan menyuruhnya duduk di ruang tengah.
Saat ditanya apakah Ningsih sudah makan malam, dia menjawab bahwa dia belum sempat makan karena terburu buru.
Maka dengan sigap Mbah Marlan membuka penutup hidangan di atas meja tepat didepan bu Ningsih.
Lalu mereka berdua makan,
dari obrolannya malam ini, Ningsih melihat Mbah Marlan kelihatan berbeda, kata-katanya tidak sedingin dua pertemuan yang lalu, malam ini Mbah Marlan terlihat sedikit lebih ramah dan gaya bicaranya pun lepas.
Selesai makan, Ningsih merasakan sakit di bahunya, mungkin karena masuk angin,
agar acara malam ini tidak berantakan, Mbah Marlan segera mendekati Ningsih yang kini duduk di kursi sofa, tiba-tiba Mbah Marlan memegang bahu Ningsih dengan lembut dan mulai memijitnya perlahan,
Ningsih awalnya merasa malu, namun karena keenakan, dia pun membiarkan dirinya di pijat oleh Mbah Marlan.
Beberapa kali Ningsih sendawa dan badannya pun berangsur-angsur terasa enakan.
Setelah selesai memijat Ningsih, Mbah Marlan segera bertanya,
"apa kau siap melakukan ritual terakhir?"
Ningsih yang menunduk menganggukkan kepalanya.
Tak lama kemudian, Ningsih di bawa oleh Mbah Marlan ke kamar mandi dimana sudah siap air bunga tujuh rupa di sana.
Terdapat sebuah bangku dari rotan di depan ember air besar berisi bunga, dengan perlahan-lahan, Mbah Marlan mulai membuka baju Ningsih lalu saat Ningsih dalam keadaan tidak ada satupun benang di tubuhnya,
Mbah Marlan mulai menyiram air bunga tersebut ke kepala Ningsih sambil menggosoknya dengan lembut.
Ningsih yang memang merasakan berbagai perasaan campur aduk, hanya memejamkan mata dan membiarkan air yang wangi itu serta tangan kekar Mbah Marlan menggosok sekujur tubuhnya.
Setelah selesai, langsung saja Ningsih memakai handuk di tubuhnya dan Mbah Marlan pun menuntunnya ke kamar yang telah di siapkan magrib tadi.
Sesampainya mereka berdua di atas pembaringan, Mbah Marlan segera menanggalkan pakaian dan ikut rebahan di samping Ningsih yang kini telah dilucuti handuknya.
Terlihat lah sepasang manusia yang rebah telentang di atas pembaringan berdampingan dalam keadaan tiada benang di tubuhnya.
Sekitar lima belas menit mereka berdua hanya rebahan saja tanpa kegiatan apapun, yang terdengar hanyalah bunyi kecil mantra-mantra yang keluar dari mulut Mbah Marlan.
Setelah itu barulah Mbah Marlan mulai melakukan pembukaan bercocok tanam di sana, Ningsih yang sudah di balut perasaan keinginan yang telah lama tidak di dapatnya dari sang suami, kini bereaksi dengan beringas.
Akhirnya sepanjang malam, mereka berdua bercocok tanam sampai belasan kali.
Saat malam berganti subuh, Mbah Marlan berkata,
"seluruh proses ritual telah kau laksanakan, sekarang pulang lah dan lihat bagaimana reaksi suamimu".
Ningsih kembali mengenakan pakaiannya tanpa memakai dalaman karena sebagai syarat, daleman nya harus di tinggal dan tidak boleh di pakai lagi sampai kapanpun.
Setelah itu, bu Ningsih segera pulang ke rumahnya dan kembali hidup dengan harmonis bersama suaminya.
Begitulah kehidupan sebagian manusia, mereka mau melakukan hal-hal yang terlarang hanya untuk memuaskan keinginannya.
Padahal Allah telah menjelaskan semuanya dan menurunkan ke dunia ini berupa ilmu pengetahuan agama.
Namun memang sudah menjadi sifat manusia untuk mengambil jalan pintas, walaupun akhirnya mereka akan celaka, namun rela mereka terima kecelakaan tersebut hanya demi tercapainya hajat mereka yang sifatnya sementara.
BERSAMBUNG
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments