...☕Cerita ini adalah fiksi belaka. Mohon maaf jika terjadi kesamaan nama tokoh dan tempat kejadian. Dimohon bijak dalam membaca, diresapi kata demi kata, agar tujuannya sampai pada hati pembaca☕...
Malam semakin memeluk dunia. Menampakkan sang bulan untuk unjuk pesona bagi penikmatnya. Lintang pun tak ingin kalah dengan sang rembulan. Dia menebarkan pesonanya di seluruh ruang angkasa.
Hujan lokal biasa terjadi di Indonesia. Tiba-tiba hujan tak begitu mengagetkan penduduk lokal. Mereka sudah bisa beradaptasi dengan cuaca yang kadang silih berganti.
Ericko melihat jam tangannya. Menunjukkan pukul tujuh malam. Bus telah meninggalkan Bandung. Memasuki perbatasan Bandung dan Jakarta. Ericko melihat temaram lampu jalan yang dengan cepat dilewati oleh bus yang ditumpanginya.
"Andai kamu duduk berdampingan denganku saat ini, aku ingin busnya mogok agar kita dapat berlama-lama menumpahkan kerinduan. Namun sayang, semua hanya angan. Kamu sekarang adalah hal fana bagiku. Kalena, aku merindukanmu."
Ericko tersenyum getir mengingat wajah Kalena yang terlintas dalam pikirannya. Tiba-tiba saja ada kepala yang menyandar lagi di bahunya. Ericko melirik jengah pada perempuan di sebelahnya. Dia mencoba menyingkirkan kepala perempuan itu. Namun, perempuan itu malah memeluk lengan Ericko dengan erat.
"Astaghfirullah ... Mbak, hei! Lepaskan tangan saya. Kita bukan muhrim." kata Ericko yang berusaha melepaskan cengkeraman tangan perempuan itu.
Bukannya terlepas, tangan perempuan itu semakin erat memeluk lengan Ericko. Membuat Ericko frustasi dan membiarkannya.
Jarak antara Bandung menuju Jakarta tak seberapa jauh. Hanya butuh menempuh waktu sekitar tiga jam untuk sampai tujuan. Para penumpang di bus menggunakan waktu tersebut untuk memejamkan matanya sejenak. Melepas penat yang mereka rasa.
Tak terasa saat ini bus telah memasuki salah satu terminal yang ada di Jakarta Pusat. Membuat sebagian penumpang menggeliat. Bersiap untuk turun dan melanjutkan perjalanan menuju tujuan masing-masing.
Ericko membangunkan perempuan yang sedari tadi tidur di bahunya. Perempuan itu menggeliat dan perlahan membuka matanya. Dia menguap tanpa menutup mulutnya. Membuat Ericko geleng kepala menyaksikan makhluk Tuhan satu ini.
"Sudah sampai ya, Mas?" tanya Fennita. Ericko hanya mengangguk menjawab pertanyaan Fennita.
Fennita kembali mengulurkan tangannya pada Ericko. Ericko menatap heran uluran tangan itu. Fennita memutar bola matanya jengah. Baru kali ini, dia mendapati seorang pria yanga menolak uluran tangannya hingga dua kali.
Fennita menjabat paksa tangan Ericko. "Aku Fennita. Nama kamu siapa, Mas?"
Ericko melepaskan jabatan tangan itu. Menurut pandangannya, Fennita adalah seorang perempuan agresif. Kalian juga berpikir demikian?
"Kalau ada orang tanya tuh dijawab, Mas!" bentak Fennita karena tak jua mendapatkan jawaban atas pertanyaannya.
"Emang penting saya kenal sama situ?"
Fennita yang sedang merapikan rambutnya langsung menoleh dengan tatapan mematikan. "Sombong kamu, Mas! Kita itu tidak tahu nanti akan ada kejadian apa. Siapa tahu kamu butuh pertolonganku."
Ericko tetap diam tak menjawab pertanyaan Fennita. Membuat Fennita akhirnya menyerah. Dia segera mengambil barang-barangnya yang ada di atas kabin bus.
Berjalan menuju pintu bus. Meninggalkan pria dingin tak berperasaan itu sendiri di dalam bus. Sesaat sebelum turun, Fennita menoleh dan melihat kembali Ericko. Lalu menjulurkan lidahnya pada Ericko.
Membuat Ericko tertawa menyaksikannya. Hanya beberapa detik. Namun, membuat jantung Fennita menjadi berdebar tak menentu. Debaran itu lain saat menyaksikan tawa kecil itu.
"Apa ini yang dinamakan love at first sight? Siapa namamu? Please, tell me what your name. Agar aku bisa menyebutmu dalam hari-hariku" batin Fennita yang masih terpesona dengan tawa Ericko.
Ericko baru menyadari bahwa dirinya sedang tertawa atas tingkah konyol Fennita. Hanya juluran lidah seperti itu mampu membuatnya tertawa kecil seperti itu? Receh sekali humor Ericko.
Fennita bukan pertama kali menginjakkan kaki di terminal. Namun, tetap saja, ada sesuatu yang membuatnya takut. Apalagi jika bukan buntut membuntuti? Fennita lelah harus bermain kucing-kucingan dengan orang suruhan ayahnya.
Fennita memantapkan langkahnya. Keluar dari terminal dengan menenteng barang bawaannya. Dia berhenti di bagian informasi dan menelepon seseorang.
Wajah Fennita menjadi sendu. Dia menghela nafasnya panjang. "Ya sudah, pulang sendiri saja. Tidur lagi di hotel, Fen." kata Fennita pada dirinya sendiri.
Fennita melanjutkan langkah lurus terarah. Menuju pintu keluar terminal. Di luar terminal banyak yang menawarinya jasa antar. Namun, Fennita lebih memilih berjalan dalam kegelapan. Mengulur-ulur waktu agar bisa menikmati kesendiriannya.
Dua orang bertubuh gempal dan tambun mengikutinya dari belakang. Fennita menghentikan langkahnya secara mendadak. Membuat kedua lelaki itu secara cepat harus mengalihkan pandangannya dari Fennita.
"Ini pasti orang suruhan Papah. Huft ... sumpah! Capek begini melulu." ucapnya lirih dan melanjutkan langkahnya.
Fennita sampai pada jalanan gelap. Dirinya merasa takut. Dia merasa kedua orang itu masih membuntutinya. Fennita mempercepat langkahnya. Tiba-tiba saja, tangan Fennita ditarik oleh seseorang. Fennita menoleh. Benar dugaannya. Dua orang lelaki tadi masih setia membuntutinya.
Fennita meronta meminta dilepaskan. Namun sayang, tak ada yang peduli dengan teriakannya.
Wiuw ... Wiuw ... Wiuw ...
Entah darimana suara sirine itu berasal. Namun cukup cerdas hingga membuat dua orang lelaki tadi langsung lari tancap gas. Fennita mencari sumber suara. Celingukan dalam gelap malam.
"Jangan jadi gadis bodoh kalau masih ingin hidup."
Suara seorang pria. Fennita menyipitkan matanya dalam kegelapan. Senyumnya tiba-tiba merekah. Sang pria yang berada di bus menolong dirinya yang sudah pasrah.
"Makasih, Mas." tutur Fennita pada pria itu. Ericko, ya benar sekali. Ericko yang membantunya. Semenjak turun dari bus, Fennita memang sudah diikuti oleh kedua lelaki bertubuh tambun dan gempal itu. Namun, dirinya tak menyadari hal tersebut.
Fennita baru menyadari saat dirinya sudah di luar lingkup terminal. Ericko berbalik arah. Berjalan meninggalkan Fennita di bawah temaram lampu jalanan. Fennita mengikutinya.
"Kenapa mengikuti saya?" tanya Ericko dengan nada bicara heran.
"Karena hanya kamu yang bisa membuatku aman."
"Jangan bergantung padaku. Kita tidak saling kenal." balas Ericko cepat.
Fennita tertawa mendengar ucapan Ericko. Apakah pria itu mengalami amnesia? Atau menderita penyakit lain yang membuatnya tidak mampu mengenang kejadian yang baru saja mereka alami di bus?.
"Aku memang tidak mengenalmu, tapi kamu tahu dengan benar siapa namaku. Tolong, antarkan aku ke hotel dekat terminal ini."
Ericko menautkan alisnya. Mengapa tidur di hotel? Apakah gadis itu tidak punya keluarga di Jakarta? Ericko menggelengkan kepalanya dengan cepat. Lalu berjalan kembali meninggalkan Fennita.
Fennita sudah jengah terhadap sikap Ericko kepadanya. Dia langsung naik ke punggung Ericko. Minta digendong belakang.
"Turun!" bentak Ericko. Fennita menggeleng.
"Please, help me, honey"
Ericko tak habis pikir dengan Fennita, bisa-bisanya Fennita memanggilnya dengan sebutan honey.
"Turun dulu!"
Fennita menggelengkan kepalanya. "Berjanjilah, Mas!"
Ericko sudah tak tahan lagi. Akhirnya dia mengalah pada Fennita. Mereka menuju hotel yang dimaksud oleh Fennita.
.
.
.
Like
Vote
Komen
Tip
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
Ummi Khai
suka karakternya Fennita 🥰
2022-07-26
0
Ney Maniez
🤔
2022-06-03
0
Dewi Purnama Dewi
suka karakternya fennita,
2022-03-06
0