...☕Cerita ini adalah fiksi belaka. Mohon maaf jika terjadi kesamaan nama tokoh dan tempat kejadian. Dimohon bijak dalam membaca, diresapi kata demi kata, agar tujuannya sampai pada hati pembaca☕...
ERICKO POV
Aku mendengar kabar yang sangat memilukan hatiku. Dia, yang kucinta, pergi meninggalkanku. Dijemput oleh maut. Tanpa bisa menyatukan rindu yang seharusnya bertaut.
Aku masih tidak percaya. Kukira Ibuku sedang bercanda. Memberitahukan bahwa Kalena, wanita yang aku cinta. Pergi meninggalkanku untuk selama-lamanya.
Tubuhku lemas. Ingin aku menunjukkan kelemahanku. Tapi, aku sadar, bahwa sekarang aku dalam misi. Ingin aku menumpahkan air mataku. Berteriak dan berbagi kesedihan dengan banyaknya mega. Namun, sekali lagi aku tersadar, aku sedang dalam misi.
"Pulang, Nak" kata Ibuku dengan suara sendu. Jika itu adalah panggilan video atau video call, aku pastikan bisa melihat air matanya yang sudah mengalir deras bak hujan di bulan Januari.
Aku tak sanggup untuk menjawabnya. Kupilih mematikan sambungan telpon itu. Pikiran kembali kufokuskan pada target incaranku. Memastikan bahwa teman-temanku berhasil membekuknya. Lalu membereskan permasalahan yang kami buat.
Aku membereskan senapanku dengan hati yang kacau. Segera berlari menuruni atap gedung dan bergabung bersama Dilan dan Rio. Kami langsung menuju Indonesia. Kembali pulang untuk serah terima target incaran.
Di dalam mobil, aku hanya diam. Menundukkan kepala. Mempersiapkan hati dan mental jika benar mengetahui keadaannya.
"Len, kamu marah sama aku? Kamu marah karena aku tidak sering bersamamu atau pun memberi kabar padamu? Sungguh, Sayang. Ini tidak lucu," kataku dalam hati.
Dilan memperhatikanku. Dia bertanya padaku. Tentang apa yang menjadi kegundahan hatiku.
"Are You okay, Brother?" tanya Dilan.
Aku menggeleng singkat. "Ibu telepon. Memberitahukan Kalena meninggal." jawabku sambil menatap mata Dilan.
Mata Dilan membelalak lebar. Lalu dia tertawa. "Ha-ha-ha. Gak lucu sumpah!"
"Gue gak lagi main ludruk ataupun ngelenong. Gue serius. Dan Ibu tidak akan pernah main-main dengan berita kematian."
Jawabanku berhasil membungkam ucapan Dilan. Dia merangkul pundakku. Lalu mencoba menenangkanku.
Perjalanan kulalui dengan lebih banyak diam dan berdzikir pada Allah SWT. Aku tunaikan sholat dalam pesawat yang mengangkut kami agar hatiku tenang. Mil per mil kami lewati. Semakin banyak jarak yang kami lalui, semakin dekat pula kami akan tiba di Jakarta.
Jujur, aku tidak siap. Aku tidak siap mengetahui kenyataan yang ada nantinya. Bagaimana jika aku benar-benar tidak menemukan Kalena? Bagaimana dengan rasa rinduku yang belum benar-benar tersampaikan secara langsung padanya?
Aku telah gagal. Gagal melindungi orang yang sangat berarti dalam kehidupanku selain Ibuku. Pesawat telah terparkir dengan apiknya di bandara. Aku menyerahkan semuanya pada Rio dan Dilan. Aku ingin segera memastikan sesuatu.
Para awak media yang selalu setia dengan kabar berita telah berjajar sempurna. Menyorotkan kameranya pada sasaran utama mereka. Aku langsung mengambil jalan lain. Itu pun dengan bantuan pilot pesawat itu.
Setelah keluar dari bandara, aku langsung mencari taksi untuk mengantarkanku menuju sebuah alamat. Di dalam taksi aku melamun. Membayangkan kehadirannya. Wanita yang selama tiga tahun terakhir ini mengisi relung hatiku.
Dia duduk disampingku. Sambil menyandarkan kepalanya dan menggenggam tanganku.
"Apa kabar?" tanyaku singkat.
Dia hanya diam. Tak ada satu patah kata pun yang keluar dari bibir tipisnya. Aku merasakan genggamannya menjadi dingin. Aku menoleh ke arah jendela mobil. Ternyata hujan telah menyirami kota metropolitan itu. Bau tanah tercium semerbak hingga ke hidungku. Aku tersenyum dan menoleh.
Namun, aku baru tersadar. Ternyata aku hanya melamun. Supir taksi memberitahukanku bahwa aku telah sampai pada tempat tujuan. Aku mengeluarkan uang untuk membayar taksi itu. Turun dan melihat kontrakan Kalena sudah dipasang police line.
Beberapa anggota kepolisian berjaga di tempat kejadian perkara. Ada juga intel yang sedang memeriksa sesuatu di dalam. Aku mengenalnya. Dia adalah temanku. Tubuhnya gempal dan tingginya aekitar 175 sentimeter. Ada sedikit brewok di sekitar dagunya. Dia memelukku. Mengucapkan bela sungkawa atas kematian Kalena.
"Apa ada yang janggal?" tanyaku tak sabar. Dia mengangguk. Dia menceritakan padaku.
"Pulang lah ke Bandung. Jenazah Kalena sudah dikebumikan. Meskipun terlambat, tapi aku yakin, Kalena masih menunggu kedatanganmu. Aku berjanji padamu, akan mengungkap tragedi ini." katanya meyakinkanku.
"Tolong tinggalkan aku sendiri. Aku ingin merasakan kehadirannya" pintaku. Dia mengangguk dan segera meninggalkanku sendirian.
Aku berjalan mengitari kontrakan yang hanya memiliki satu kamar tidur itu. Menyentuh barang milik Kalena yang ia simpan rapi. Aku tak kuasa lagi membendungnya. Aku tak bisa menahan air mataku dalam benteng pelupuk mataku. Aku menemukan foto kami. Foto yang dibingkainya dengan sungguh cantik nan estetik.
Dia tersenyum tulus ke arahku. Aku tak kuasa. Tubuhku mendadak lemas. Lututku tak mampu menopang berar tubuhku. Aku bersimpuh dan menangis.
"Len, aku datang, Sayang. Kenapa kamu malah pergi? Hiks ... hu-hu-hu. Maaf ... maafkan aku yang tak bisa melindungimu."
Aku menghapus air mataku setelah beberapa saat menumpahkannya. Aku pamit pada temanku. Aku bertolak ke Bandung. Menyambangi orang tua Kalena.
Sungguh, pilu rasanya melihat kedua orang tua Kalena mencoba tegar dihadapanku.
"Ikhlaskan dia ya Rick, semuanya telah jelas tertulis di Lauh Mahfudz" kata lelaki yang berumur separuh baya itu. Ubannya telah terlihat dimana-mana.
"Maafkan Erick tidak bisa menjaganya, Pah"
"Bukan salahmu, Nak. Temui lah dia. A' Zidan akan mengantarkanmu kesana"
Aku mengangguk menuruti keinginan orang tua Kalena. Bergegas menuju makam yang tak jauh dari rumah. Aku berjalan beriringan dengan A' Zidan, Kakak lelaki dari Kalena.
"Rick, kalau Kalena punya salah sama kamu, tolong dimaafkan ya? Agar jalannya lapang"
Aku mengangguk. Tak mau banyak bicara. Aku takut, ketika nanti aku bicara, rasa sedihku akan muncul dan membuat semuanya semakin terpukul.
Kami telah sampai di makam Kalena. Aku duduk dan menaburkan bunga. Menyiram makam yang masih basah itu dengan air mawar yang dibawa oleh A' Zidan. Aku membaca do'a untuknya. Memohonkan ampunan baginya. Dan mencoba untuk mengikhlaskannya.
A' Zidan membiarkanku duduk termenung sendirian. Aku mengusap-usap nisan itu. Sedikit memperbaiki posisi dudukku dan mulai bercerita padanya.
"Kangen ya? Sama! Aku lebih kangen sama kamu. Fotonya aku ambil ya? Iya, foto yang ada di kontrakan kamu. Aku senang kamu tertawa lepas seperti itu. Len, kenapa? Kenapa kamu pergi tanpa pamit padaku? Bagaimana aku nanti? Apakah aku sanggup kehilangau? Kamu salah! Jawabannya adalah aku tak akan pernah sanggup. Ada hal yang harus kamu ketahui. Tapi, mengapa aku kalah cepat darimu? Kamu mengabarkan kepergianmu terlalu cepat sayang."
Aku menumpahkan perasaanku. Batu nisan itu hanya diam membisu. Menjadi saksi akan hadirnya rasa pilu dan sendu. Yang berkolaborasi menjadi satu, menciptakan suatu rindu.
.
.
.
Like
Vote
Komen
Tip
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
Ney Maniez
😔
2022-06-03
0
Titiek Yeti
😭😭😭😭😭
2022-01-23
0
Heny Ekawati
pasti dibunuh tuh si kalena
2022-01-04
0