"Agkhh.... Sakit sakit.."
"Lagian enggak ada juga yang menyuruhmu bermain badminton segila kemarin. Kesel sih ga masalah, tapi gaperlu maksa juga."
Sepanjang awal masuk sekolah, Nicole hanya menggerutu soal seluruh badannya yang sakit karena pertandingan tanpa hentinya melawan Frey. Aku tidak mengerti kapan mereka akan berdamai. Mungkin setelah diasingkan ke hutan terpencil berdua saja, baru mereka akan sadar
"Ren, bagaimana dengan Frey?"
Ren hanya menghela nafas panjang setelah mendengar pertanyaan Daylon. Karena kondisi Frey sama saja dengan Nicole. Walaupun mereka berdua pemain yang hebat, tetapi mereka juga punya batasan. Sayangnya mereka sering lupa soal hal itu ketika saling berhadapan dalam lapangan.
"Awas aja kalau udah ketemu Frey lagi. Pertandingan kemarin masih belum ada pemenang—"
"Tanding, tanding.. Apanya yang mau ditandingin?! Badan udah enggak karuan begini, masih aja mau nantangin Frey," potong Ren sambil memukul lengan kanan Nicole yang sakit.
"Berisik Ren, paling kalau tanding melawanku juga aku yang bakal—"
"Oke..!!! Siapa takut!" Ren menunjukkan wajah menantang seolah dia pasti menang melawan Nicole.
"Kalian bisa diam atau tidak sih?"
Daylon memotong pembicaraan mereka karena dia benar-benar lelah mendengar keributan mereka berdua.
Bel pertanda jam pertama berbunyi. Nicole dan Ren langsung kembali ke posisi duduk masing-masing. Kali ini adalah waktunya pelajaran dari Pak Anthony, guru seni rupa. Kali ini beliau meminta para murid untuk berekspresi bebas melalui sebuah gambar dalam kertas ukuran A4. Tanpa berpikir panjang Daylon langsung menggambar apa yang terlintas di pikiran.
"Perempuan yang kau gambar itu.. Sepertinya aku pernah melihatnya di suatu tempat sebelumnya," Nicole merasa ingat sesuatu saat melihat gambaran Daylon.
Tunggu dulu. Kenapa aku tiba-tiba menggambar-nya? Kenapa aku jadi kepikiran dengan perempuan kemarin? Lalu kenapa dia dikejar tiga perempuan lainnya? Pada akhirnya Daylon terjebak dalam lamunan-ku sendiri.
"Ah...! Ini perempuan yang kamu lindungi kemarin kan? Jangan-jangan ada benih-benih cinta yang mulai tumbuh nih," Nicole menebak-nebak sambil menggodaku.
"Mana mungkin. Kenal aja enggak."
"Ya.. Siapa tau bisa aja kejadian."
"Terserah lah. Aku ga peduli juga."
Ren yang terlihat kebingungan tiba-tiba mendekati kami.
"Gila! Bagus banget itu gambar. Buatin juga dong!"
"Sini aku aja yang buatin. Daylon lagi sibuk dengan imajinasi cinta pertamanya," Nicole berbicara seolah tau segalanya. Dan bodohnya, Ren percaya akan hal itu.
"Oh begitu... Ya sudah, aku minta bantuan Nicole aja. Nic, warnain yang bagian ini dong!!"
"Dibilang bukan, masih ngotot aja bilang cinta pertama."
Daylon agak kesal saat digoda seperti itu. Akan tetapi, entah kenapa akhir-akhir ini pikirannya terus disibukkan dengan perempuan itu.
Dia tetap fokus menggambar secara mendetail dan hati-hati. Warna demi warna ditorehkan ke dalam gambaran itu.
"Bapak sepertinya pernah melihat perempuan ini.. Jangan-jangan itu pacar kamu ya Day?" Pak Anthony tiba-tiba saja berjalan di dekatnya dan melirik sambal mengomentari hasil karya yang digambar Daylon.
"Dia jatuh cinta dengan perempuan itu dalam sekali pertemuan pak. Ya.. Mirip-mirip kejadian di novel lah, Pak," Nicole tiba-tiba memotong pembicaraan dan berkata seenaknya saja.
Pak Anthony langsung tertawa mendengar penjelasan Nicole.
"Hahaha... Enak ya masa muda. Bisa bebas dan lepas dalam mencintai orang lain. Yah, semoga dia memang jodoh kamu, Day."
Daylon hanya bisa tersenyum tipis, karena baginya pernyataan Nicole tidak sepenuhnya salah. Dia memang tertarik dengan perempuan itu.
Jam istirahat telah berbunyi, seluruh murid di kelas 11-A menghentikan aktivitas menggambarnya. Hasil pekerjaan kami langsung diberikan kepada Pak Anthony selesai atau belum selesai.
"Aghhh....!! Tinggal sedikit lagi padahal. Kan hasilnya jadi belum sempurna," jelas Ren dengan perasaan yang tidak puas.
"Sudahlah Ren. Sebagus apapun hasilmu nantinya, pasti masih belum bisa mengalahkan hasil-nya Daylon."
"Kau itu terlalu memuji gambaranku, Nicole. Hasil milik Ren juga sangat bagus bagiku."
"Muncul juga tuh, sikap merendah-nya."
"Terserah kau saja."
"Day, Nic, makan dulu yuk ke kantin! Laper banget gila," Ren tiba-tiba memecah obrolan dengan perutnya yang mulai berbunyi. Mereka pun setuju dan pergi ke kantin bersama-sama.
Kantin sekolah yang terletak di lantai dua ini terbilang cukup luas dan terlihat modern. Hampir seluruh dinding luarnya menggunakan kaca agar pemandangan perkotaan dari luar terlihat jelas dan menenangkan. Di bagian luar kantin, terdapat meja-meja yang dikhususkan bagi murid yang ingin makan atau berkumpul di area outdoor. Dengan menggunakan kursi dan meja yang terbuat dari kayu sekaligus ditutup dengan semacam payung besar di atasnya, membuat nuansa alam bisa didapatkan dari area outdoor kantin ini. Untuk para penjual makanan, biasa membawa seluruh bahan-bahannya melewati lift, karena akan kesulitan jika harus menaiki dan menuruni tangga secara berkala. Memang sehebat ini fasilitas yang disediakan oleh sekolah internasional. Namun, bagi kebanyakan siswa mengunjungi kantin saat istirahat sama saja seperti sedang berebut sembako. Seluruh murid berbondong-bondong memesan makanan hingga antriannya menumpuk. Untungnya jam istirahat di sekolah ini cukup lama (sekitar satu jam), jadi mereka bisa bersantai dan menunggu antriannya mereda.
"Untung aku bawa cemilan, setidaknya bisa mengurangi rasa laparku saat ini," kata Ren sambil membuka snack yang dia bawa dari rumah.
Daylon yang awalnya melihat snack yang dibawa Ren, tiba-tiba teralihkan saat melihat perempuan yang dia temui kemarin terlihat duduk menyendiri di sisi pojok dekat area outdoor kantin. Karena terlihat sendirian, dia pun berinisiatif mendekatinya.
"Aku tinggal bentar."
"Ngapain tuh anak, tiba-tiba mau pergi."
Nicole celingak-celinguk melihat arah kemana tujuanku. Dan kemudian ekspresinya berubah setelah mengetahui-nya.
"Kemana sih dia?" Ren penasaran.
"Cie yang lagi kasmaran!!" Teriak Nicole.
Daylon hanya berpura-pura tidak mendengar, agar orang lain tidak tahu kalau yang Nicole maksud adalah dia.
Tanpa berpikir panjang dia langsung duduk di depan perempuan itu.
"Kamu ini siapa?"
"Entahlah, aku hanya ingin duduk disini karena kamu sendirian."
"Kamu mengejekku?!"
Daylon tidak menghiraukan pertanyaannya.
"Tiga perempuan yang mengejarmu kemarin gimana? Mereka menemukanmu?"
"Hah? Kenapa bisa tahu?"
"Sebenarnya kamu salah apa sama mereka?"
Perempuan itu diam sejenak. Perlahan dia mencoba mencerna semua perkataan Daylon. Hingga akhirnya tanpa sadar perempuan itu menceritakan semuanya padanya.
"Kalau kamu butuh teman, kamu bisa bergabung denganku dan teman-temanku. Aku yakin mereka akan menerima dan tidak berbuat sejahat mereka." Daylon berkata sambil menunjukkan dimana posisi Frey dan Nicole berada. Mereka terlihat heran kenapa dia tiba-tiba menunjuk mereka.
"Kamu orang pertama yang tahu kondisiku. Terima kasih mau mendengarkan orang yang menyedihkan sepertiku ini."
"Santai saja."
"Kamu mau gabung bersama kami sekarang atau nanti saja?"
"Nanti saja. Aku ingin sendirian dulu."
"Oke deh."
Daylon langsung bangkit dari dudukku dan hendak pergi meninggalkan perempuan itu. Tapi ada hal yang lupa dia tanyakan dan kembali menatap mata wanita itu sembari menjulurkan tangannya.
"Ngomong-ngomong, namamu?"
"Arlenia. Untuk panggilan, panggil saja sesukamu. Aku tidak keberatan."
"Daylon. Salam kenal ya!" Mereka bersalaman dan Daylon pun tersenyum kepadanya. Setelah itu, dia pergi meninggalkannya sendirian.
"Cieee yang lagi PDKT." Nicole langsung saja mengganggu Daylon dengan godaannya.
"Ohh.. Jadi itu toh anak yang dimaksud Nicole. Pinter juga ya kamu Daylon, kalau milih cewek." Ren ikut-ikutan menggodanya.
"Berisik kalian."
Karena antriannya mulai sepi, kami pun memesan makanan dan langsung makan dengan lahapnya. Ren malah langsung memesan dua porsi makanan untuk dirinya sendiri. Daylon dan Nicole benar-benar heran dengan kemampuan makan Ren.
"Jawdwi swiawpa nawmanya, Dway—?" Ren bertanya sambil masih banyak makanan di mulutnya.
"Habiskan dulu makanan di mulutmu itu," potong Nicole.
"Arlenia."
Ren kemudian menelan makanan yang ada di mulutnya dan minum beberapa teguk air putih.
"Namanya nggak asing. Apa jangan-jangan dia itu anak yang sering dibully di kelasnya?"
"Jadi kau sudah tahu ya? Seperti biasa, pendengaranmu selalu tajam."
"Eh tunggu-tunggu. Aku enggak ngerti apa-apa soal ini. Ceritakan dulu kepadaku." Nicole merasa tidak terima karena tidak tahu apa-apa. Kemudian Daylon dan Ren menjelaskan keadaan Arlenia kepada Nicole.
"Kurang ajar mereka. Beraninya main keroyokan."
"Aku pun berpikir hal yang sama. Tetapi pelaku pembully-an ini adalah murid yang berasal dari keluarga ternama di sekolah ini. Aku tidak mau berurusan dengan kalangan atas seperti mereka."
"Tapi tetap saja kita harus membantunya," saran Nicole.
"Untuk sementara, kita biarkan saja dia bermain bersama kita. Itu pun jika dia mau menemui kita. Jika ada masalah dan kalian tidak mau terlibat. Biar aku saja yang mengurusnya. Toh orang tuaku juga ga begitu peduli dengan apa yang terjadi padaku. Mereka terlalu sibuk dengan pekerjaannya sendiri."
Ren dan Nicole diam saja mendengarkan ucapan Daylon. Mereka tidak ingin menceramahi atau apapun itu jika berkaitan dengan masalah kehidupannya. Mereka takut hal itu akan membuatnya makin kesal.
"Enggak masalah kan, kalau aku mengajak Arlenia bareng kita?"
"Tentu saja enggak masalah. Akhirnya ada tambahan cewek di kumpulan kita." Ren menjawab dengan ekspresi senang.
"Aku pun enggak masalah. Lagian Ren juga setuju." Nicole pun menyetujui-nya.
Pada akhirnya mereka sepakat menerima Arlenia menjadi bagian dari perkumpulan kami.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments