Chapter 4

"Akhirnya, sebentar lagi kita punya anak ya!"

"Semoga anak ini kelak memiliki takdir yang bahagia sejak lahir."

"Aku benar-benar tidak sabar ingin memeluknya dan mengajarinya banyak hal."

Kira-kira, ini terjadi delapan belas tahun yang lalu. Saat itu, Marcus sudah bekerja sebagai manager dari PT. Jaya Purnama yang bergerak di bidang ekspor minuman kaleng. Dia selalu berusaha sebaik mungkin agar karyawan-ku merasa betah saat bekerja, karena memang pada dasarnya pekerjaan ini cukup melelahkan terutama bagi para pekerja yang mengontrol kinerja mesin pembuat minuman tersebut. Mereka harus sesekali berjalan untuk melihat apakah ada yang salah dengan mesinnya atau tidak, dan mereka harus tetap terjaga disana untuk menyiapkan bahan-bahan yang akan digunakan dalam pembuatan.

"Ini kebetulan saya melihat ada beberapa minuman dingin sedang promo di supermarket. Kamu bisa bagi ini ke karyawan lainnya," kata Marcus berbicara kepada salah satu ketua bagian di sana.

"Terima kasih, Pak."

"Ngomong-ngomong, bagaimana keadaan istri bapak? Semuanya aman-aman saja kan, Pak?"

"Alhamdulillah semuanya aman. Kata perawat, persalinannya akan dilakukan nanti malam. Doakan saya ya!"

"Tanpa Bapak suruh, saya pasti akan melakukannya. Semoga semuanya lancar ya, Pak!"

"Terima kasih, ya.."

Marcus berjalan ke setiap sudut ruangan pabrik dengan wajah penuh bahagia. Dia sudah terjebak angan-angannya sendiri tentang bagaimana dia akan merawat anaknya kelak. Hingga akhirnya semua pikirannya itu mendadak teralihkan ketika mendengar bunyi telepon berdering dari smartphone miliknya.

"Pak.. Saya mohon anda harus tetap tegar mendengar hal ini. Ketika jam istirahat, tiba-tiba orang asing datang dan membuat kerusuhan di rumah sakit. Sepertinya dia adalah orang yang kondisinya sudah tidak waras."

"Tidak perlu berbelit-belit, Dok. Katakan saja apa urusannya dengan saya!"

Dokter pun menarik napas panjang sejenak hingga akhirnya berbicara.

"Sialnya, istri anda menjadi korban penusukan oleh pria itu."

Mendengar hal itu, Marcus langsung menutup telponnya dan berlari menuju tempat parkir. Seluruh badannya berkeringat dingin dan pikirannya kalut. Dia takut hal yang terburuk dalam pikirannya, akan terjadi tidak lama lagi. Dengan mobil Mercedes-Benz miliknya, dia melaju dengan begitu kencangnya tanpa memikirkan pengemudi lain di sekitarnya. Hanya selisih 8 menit, Marcus sampai di rumah sakit dan segera menuju ke tempat Evelyn, istrinya dirawat.

Marcus langsung membuka pintu dengan kencang. Terlihat disana dokter yang sebelumnya menelpon sedang berusaha sebaik mungkin menyelamatkan istrinya itu.

"Mar..cus.." Terdengar suara Evelyn dengan lirih memanggilnya. Marcus langsung mendekatinya dengan perasaan sedih.

"Evelyn... Kenapa hal ini harus terjadi padamu?" Marcus tidak bisa menahan air matanya yang mulai menetes saat itu.

Evelyn hanya tersenyum dan memeluk suaminya yang sedang bersedih itu. Air mata pun ikut menetes dari kedua mata Evelyn diiringi perasaan pasrah karena dia merasa bahwa batas waktu hidupnya telah dekat. Pendarahan yang terjadi dalam tubuh Evelyn semakin lama semakin parah. Beberapa kali Evelyn merintih kesakitan dan Marcus marah kepada dokter karena hal itu.

"Saya mohon, Bapak untuk sementara bisa menunggu di luar terlebih dahulu. Kami akan kesulitan merawat pasien jika bapak masih di sini."

"Tapi dia ini istri saya, Sus!! Anda tidak berhak melarang saya ada disini!"

Suster tidak bisa berkata-kata. Kemudian dengan menahan rasa sakitnya, Evelyn berbicara lembut kepada Marcus.

"Tenanglah.. Mereka akan membantuku sekuat mungkin. Kamu harus bersiap dengan segala kemungkinan yang terjadi, oke? Aku harap, setelah ini kamu bisa meluangkan banyak waktumu bersama denganku. Entah sudah berapa lama kita tidak berjalan-jalan seperti dulu." Jelas Evelyn dengan tersenyum.

"Kamu ingat? Bagaimana kita saat pertama kali bertemu dulu? Aku hanyalah anak pendiam yang selalu duduk sendiri di pojok kelas. Saat itu, kamu melihatku dengan wajah murung, bukan? Dan kamu yang merupakan anak yang terkenal di sekolah, datang dan menyapaku. Aku benar-benar tidak bisa berkata apa-apa saat itu. Dan dari situ, kita mulai saling mengenal. Aku merasa bahwa hanya kamu lah orang yang paling mengerti perasaanku. Aku tidak pernah menyangka, seorang mantan ketua OSIS sepertimu bisa menyapa diriku yang kecil ini, bahkan sampai bisa menjadi istrimu hingga saat ini. Terima kasih karena hadir di hidupku, Marcus."

Evelyn mulai melantur. Dia tahu sisa waktunya tidak banyak lagi. Dia merasa hanya saat ini sajalah waktu yang bisa digunakan untuk menceritakan segala perasaannya hingga saat ini.

Marcus tidak sanggup berkata lagi. Dia hanya tersenyum dan mengikuti apa kemauan istrinya. Pikirannya benar-benar kalut. Dia masih belum siap kehilangan istri yang sangat dicintainya itu.

Dokter memberikan bius kepada Evelyn. Karena luka yang dialami Evelyn benar-benar luka fatal dan harus di operasi saat itu juga. Tusukan dari pelaku berhasil menembus tubuh Evelyn dan melukai bagian jantung-nya. Marcus pun tidak bisa berbuat apa-apa. Karena jika dia tiba-tiba berbuat gaduh di dalam, dokter dan perawat akan makin sulit berkonsentrasi. Hal itu malah bisa membuat peluang hidup Evelyn semakin rendah. Marcus hanya duduk dengan perasaan sangat cemas.

Rasa ketakutan makin lama semakin memuncak. Perasaan khawatir Marcus sudah tidak sanggup dibendung lagi. Kira-kira sudah satu jam sejak operasi dimulai. Marcus tanpa pikir panjang kemudian berdiri dan hendak memasuki ruang operasi. Tak lama, dokter tiba-tiba terlihat keluar dari ruangan tersebut. Dari dalam, terdengar suata tangisan bayi yang cukup keras. Namun, raut wajah dokter benar-benar terlihat seperti tidak bahagia. Marcus makin takut melihatnya seperti itu.

"Dok!! Istri saya baik-baik saja kan, Dok?!!"

Sang dokter tidak berkata apa-apa.

"Dok..!! Ini pasti bercanda kan, Dok?!!"

Marcus kemudian memegang wajah dokter itu, dan membuat dokter menatap wajahnya yang ketakutan itu.

"Dok!! Tolong jawab, Dok!! Apa yang kupikirkan tidak benar, kan?!! Dok!!"

Dokter kemudian melepaskan kedua tangan Marcus yang memegangnya itu. Sembari menarik nafas panjang, dia berkata kepada Marcus.

"Kami sudah mengupayakan yang terbaik dan menggunakan media terbaik yang mungkin bisa menyelamatkan istri anda. Tetapi pendarahan di jantungnya terlalu hebat. Kami tidak bisa melakukan apa-apa. Tetapi, anak anda berhasil kami selamatkan dalam keadaan tidak ada cacat sama sekali. Saya mohon, Bapak harus menerima segala kondisi yang terjadi saat ini. Sekali lagi maafkan kami atas segala kelalaian rumah sakit ini."

Dokter memang tahu ini hal yang sangat berat bagi Marcus. Sebagai dokter pun, menjelaskan hal ini juga bukan perkara yang mudah. Tetapi, dia memang harus menjelaskan faktanya. Dokter tidak bisa berbohong tentang hal ini.

Marcus benar-benar terpukul. Dia benar-benar kesal sekaligus sedih. Dia butuh orang yang disalahkan, tetapi dia tidak mampu menyalahkan tim medis yang berusaha sekuat mungkin menyelamatkan istrinya itu. Pada akhirnya, dia justru menaruh kebencian yang amat mendalam pada anak kecil yang tidak bersalah itu. Ya.. Anak itu adalah Arlenia. Sebuah nama yang telah dipikirkan secara matang-matang oleh Evelyn ketika pertama kali tahu bahwa bayi dalam kandungannya adalah seorang perempuan. Dia tidak pernah menyangka hidupnya akan berakhir di saat-saat dimana dia seharusnya masih menjaga dan merawat putri kecilnya itu. Jika saja Evelyn masih hidup, mungkin Arlenia tidak akan pernah merasakan siksaan yang dilakukan Marcus kepadanya tanpa alasan yang jelas. Semenjak itu Marcus menjadi orang yang sangat idealis. Dia ingin putrinya menjadi orang yang sangat sempurna. Mengingat dia adalah orang yang ternama, Arlenia harus menunjukkan sikap yang sama. Berbagai macam pukulan dan siksaan dilakukan Marcus kepada Arlenia hanya karena perempuan ini telat makan, tidak bangun tepat waktu, makan dengan cara yang terlihat buruk (seperti makan dengan cepat-cepat dan mulutnya penuh akan makanan). Pada dasarnya, Marcus benar-benar ingin Arlenia menjadi bayang-bayang istrinya walau dia tidak sampai menaruh hasrat kepada anaknya sendiri. Tetapi setidaknya, Marcus ingin Arlenia tidak berbeda sama sekali dengan ibunya, agar keberadaan Evelyn tidak menghilang dalam pikiran Marcus. Marcus tidak pernah berpikir bahwa hal itu akan menyiksa fisik dan mental Arlenia. Bahkan siksaan itu akan lebih parah jika sebelumnya Marcus minum minuman keras. Akhir-akhir ini, setiap ada masalah berat dalam perusahaannya, Marcus melarikan diri lewat minuman kerasnya itu. Pada awalnya ini terjadi karena di saat banyak masalah di perusahaan dan pikiran Marcus sedang kalut, seseorang yang tidak dikenal menawarkan minuman keras dan mengatakan jika pikirannya akan lebih tenang jika meminumnya. Walaupun, tentu saja hal itu justru akan lebih mengganggu mentalnya karena semakin tidak bisa mengontrol emosinya. Jika Evelyn melihat semua hal ini, dia pasti akan merasa sangat sedih.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!