"Kak Mar..... Aku berangkat duluan."
"Tunggu bentar, bawa sekalian bekalnya! Kakak malas nganterin hari ini. Lagi sibuk soalnya. Padahal ini hari Kamis, tapi tugasnya tuh bikin orang jadi pesimis. Dikasihani dikit kek!” Ucapnya sambil menggerutu.
Hari ini Martha, kakaknya Daylon lagi sibuk-sibuknya mengerjakan tugas mata kuliahnya yang tiba-tiba menumpuk bak tanggul air yang jebol. Biasanya Martha selalu mengantar bekal Daylon saat siang hari sebelum dia mulai ekskul badminton. Daylon wajib datang lebih awal karena dia adalah ketua ekskul badminton, yang wajib mengawasi dan mengarahkan anggotanya selama kegiatan ekskul. Sebenarnya, Daylon dipilih menjadi ketua karena saat pemilihan dia sedang tidak masuk sekolah dan akhirnya menjadi target empuk bagi teman-temannya yang enggan menjadi ketua. Akan tetapi, selama dipilih semua anggota ekskul terlihat puas dengan kinerja Daylon karena dia sangat bertanggung jawab sebagai seorang ketua.
"Nih bekalmu."
"Oke, makasih, Kak."
"Eh! Ngomong-ngomong, nanti aku bakal pulang sore karena ada urusan badminton. Jadi, Kakak tidak perlu menyiapkan makanan dan fokus saja dengan tugas kuliahmu."
Martha hanya menunjukkan senyum tipis sambil mengisyaratkan 'oke' dengan tangannya.
Walaupun mereka terkadang ribut karena hal kecil, tetapi nyatanya mereka berdua saling peduli dan tidak ingin merepotkan satu sama lain.
Suara keramaian terdengar saling menyahut dari segala arah. Udara pagi yang tadinya terasa segar, perlahan tertutup asap kendaraan yang melintas. Memang sudah menjadi rutinitas jika banyak kendaraan lalu lalang di jam segini, mengingat ini waktu berangkat kerja maupun sekolah. Untungnya, jarak antara rumahku dengan sekolah bisa dibilang tidak terlalu jauh. Berjalan kaki saja sudah cukup bagiku untuk pergi ke sekolah.
"Aku pikir kamu bakal datang lebih cepat seperti biasanya," kata lelaki yang duduk sebangku dengannya.
"Kak Martha lagi sibuk, dia langsung menyiapkan bekal di pagi hari untukku."
Daylon mengeluarkan beberapa buku sambil membenahi posisi duduknya. Tak lama kemudian, guru pun masuk ke dalam kelas.
Panas matahari kian menyengat, bel pertanda jam pelajaran berakhir telah berbunyi. Seluruh murid tampak berbondong-bondong keluar dari kelas mereka dan sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing.
"Nicole, ikut badminton 'kan'?" Daylon memastikan jika teman sebangku-nya ini tidak lagi kabur karena berbagai alasan seperti biasanya.
"Ikut. Lagian kamu tidak punya teman sampai sore nanti kan? Aku bakal sekalian ke rumahmu selesai kita main badminton."
“Oke. Dan aku tidak se-penyendiri yang kau kira.” Daylon membalas dengan perasaan sedikit kesal pada Nicole.
Daylon dan Nicole kemudian memutuskan untuk segera pergi menuju lapangan badminton sekolah. International Public High School merupakan salah satu SMA swasta yang paling bergengsi di sana. Banyaknya fasilitas seperti sarana olahraga dan perpustakaan yang cukup luas, membuat banyak murid baru ingin bersekolah di tempat ini. Daylon yang bukan berasal dari keluarga kaya cukup bersyukur karena berhasil masuk ke dalam sekolah ini berkat nilai sempurnanya di mata pelajaran Matematika.
"Aku tidak paham kenapa kamu selalu saja bisa menjawab pertanyaan dari Bu Sylvia selama pelajaran. Padahal soal yang beliau berikan benar-benar tidak masuk akal." Nicole bercerita dengan perasaan jengkel sendiri. Bu Sylvia memang selalu menganggap semua murid itu sudah pintar dan pertanyaan yang dilemparkan selalu tidak masuk akal bagi Nicole. Jika saja dia tidak sebangku dengan Daylon, mungkin dia bakal terkena serangan mental yang cukup hebat karena tidak tau cara menyelesaikan soal-soal itu.
"Yah nanti aku ajarin caranya kalau kamu mampir ke rumah—"
Di depan Daylon, seorang perempuan tiba-tiba berlari dan tanpa sengaja menabrak bahunya. Sesaat, mereka sempat saling bertukar pandang. Entah kenapa tatapannya begitu menarik perhatian Daylon. Dibalik iris mata coklat dan indah itu, rasanya ada hal yang membuat tatapannya seolah mati saat menatapnya. Dengan gestur meminta maaf, perempuan itu lanjut berlari dan bersembunyi ke toilet. Daylon dan Nicole cukup heran kenapa dia terlihat seperti sedang dikejar-kejar seseorang. Tak lama setelahnya terlihat tiga orang perempuan yang terlihat kesal juga berlari, kemudian bertanya kepada mereka.
"Apa kalian barusan melihat perempuan berlari ke arah sini?" Salah satu dari tiga perempuan itu bertanya kepada mereka.
Belum sempat Nicole menjawab, Daylon langsung memotong perkataannya.
"Aku tidak melihat siapa pun berlari kemari, mungkin kalian salah arah."
"Benarkah? Terima kasih." Mereka bertiga langsung berbalik arah sambil berlari.
Nicole terlihat heran karena dia tiba-tiba melindungi perempuan itu.
"Kenapa kamu melindunginya?"
"Entahlah. Firasatku berkata seperti itu."
Saat itu Daylon tidak sadar kalau pertemuan tidak sengajanya dengan perempuan itu, pada akhirnya akan mengubah kehidupan dalam hidupnya.
“Ngomong-ngomong anak-anak sudah kamu suruh kumpul di lapangan apa belum?” Nicole tiba-tiba bertanya.
“Katanya mereka sudah pada kumpul dan main bareng.”
“Kau benar, aku bisa melihat mereka dari sini. Ayo kita segera masuk!” Ucap Nicole ketika mereka telah dekat dengan lapangan badminton tersebut.
“Oke.”
Suasana di dalam lapangan badminton cukup kondusif. Terlihat beberapa anggota sedang latihan tanding satu sama lain. Beberapa dari mereka sedang ngobrol santai tentang hal-hal yang terjadi di kelas sebelumnya.
"Wah wah wah... Akhirnya kamu berhasil membawa Nicole kemari, Daylon," kata wakil ketua ekskul badminton yang merasa senang dengan kehadiran Nicole.
"Hey.. Lagipula aku menyempatkan diri kemari hanya karena kakaknya Daylon sedang sibuk. Jadi, kurasa dia masih belum bisa dihitung berhasil membawaku." Nicole mencoba menentang pernyataan wakil ketua itu dengan wajah sok menang.
"Terserahmu saja jerapah lembek!!!"
"Apa katamu?!! Tikus cerewet!!!"
"Apa?!!"
"Sudahlah Frey, Nicole, kalian selalu saja ribut tiap kali bertemu. Apa kalian tidak bisa damai sedikit saja?" Daylon ikut kesal melihat mereka yang tidak pernah akur setiap kali bertemu.
Frey dan Nicole adalah teman dekat sejak masih SD. Bisa dibilang alasan Frey mengikuti badminton karena dendam kesumatnya kepada Nicole. Semasa kecil, Nicole pernah bersaing dalam pelajaran melawan Frey dan akhirnya kalah. Frey merasa kalau Nicole tidak dapat mengalahkan dia dalam hal apapun. Hingga akhirnya Nicole tiba-tiba menantang Frey untuk bermain badminton, Nicole mengatakan bahwa sekeras apapun Frey mencoba melawannya dia berani menjamin kalau Frey pasti kalah. Mendengar hal itu, Frey murka dan terpancing perkataan Nicole. Dan alhasil memang benar, Nicole menang telak melawan Frey. Sejak saat itu, Frey berlatih badminton tanpa henti agar bisa menang melawan Nicole. Nicole yang tau hal itu juga ikutan rajin badminton agar Frey tidak bisa mengalahkannya. Mereka selalu bersaing tentang siapa yang paling banyak menjuarai perlombaan badminton dan terus bersaing satu lawan satu di lapangan. Tetapi, Frey masih belum bisa mengalahkan Nicole sampai saat ini. Dan Frey selalu geram karena hal itu. Karena itulah, bisa dibilang Frey dan Nicole adalah anak emas dalam ekskul badminton saat ini. Permainan Daylon sendiri mungkin masih bisa dibilang bagus, tetapi tidak ada apa-apanya dibandingkan mereka berdua. Namun, akhir-akhir ini Nicole disibukkan dengan persiapannya agar dapat kuliah di luar negeri. Nicole jadi jarang mampir ke tempat ekskul karena harus belajar terus-menerus hingga kadang lupa diri, mengingat dia selalu saja mendapat nilai merah di setiap ujiannya.
Pada akhirnya separuh waktu ekskul dihabiskan Frey dan Nicole bertanding satu lawan satu, dan yang lainnya hanya menikmati pertandingan gila mereka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments