Rintik hujan membasahi kota besar ini. Terlihat seorang pemuda sedang menikmati segelas kopi dan juga roti bakar di kamar hotel di mana dia menginap. Dia adalah Dion, yang tak lain adalah asisten pribadi Zidan. Pemilik perusahaan besar itu. Perusahaan yang mensponsori lomba yang diikuti Raka dan beberapa peserta yang lain.
Pria ini sedang menonton rekaman video yang memperlihatkan jalannya lomba. Entah mengapa Dion tak bosan-bosan menonton video Raka dalam lomba debat tersebut. Rasanya gaya bicara dan gestur tubuh anak ini mirip seseorang.
"Mirip siapa ya?" tanya Dion pada dirinya sendiri. Terlihat pria ini menatap kosong pada gunung yang menjulang tinggi, yang kini berada dalam jangkauan matanya. Namun, otaknya masih berusaha mengingat.
Dilihatnya lagi, cara bicara Raka. Tatapan mata bocah tampan ini dan tak lupa adalah senyumnya. Senyum itu sangat familiar.
"Bener banget, anak ini memang cerdas." Dion menyeruput kopi yang ada di tangannya. Kemudian, memfokuskan padangannya pada laptop miliknya.
"Tangkas sekali memperhitungkan segala hal. Kalau sampek nggak bisa sekolah, kasihan amat," guman Dion lagi. Sesekali ia tersenyum sendiri. Sebab Raka terlihat sangat menggemaskan.
Fokus Dion buyar ketika suara sering ponsel mengagetkannya. Sang big bos menghubunginya. Mungkin ada sesuatu yang penting.
"Kamu di mana?" Suara di seberang sana terdengar galak.
Seketika Dion pun meloncat dari sofa tempatnya bersantai.
"Maaf, Bos maaf. Saya masih di hotel Bos," jawab Dion gelagapan. Terang saja pria ini gugup. Sebab ia lupa bahwa seharusnya ia sudah di bandara menjemput majikannya ini. Sebab, jadwal Zidan diubah. Yang harusnya tadi malam datang. Ia meminta jadwal pesawat pagi saja. Jadi wajar kalau Dion lupa.
"Apa!" bentak Zidan kesal.
"Maaf, Bos. Saya meluncur ke sana, sekarang juga!" jawab Dion, spontan. Dengan cepat pria ini pun langsung berlari, mengambil mobil untuk segera meluncur ke bandara. Di mana sang big bos sedang menunggunya.
Beruntung, jarak antara hotel dan juga bandara tidak terlalu jauh. Hanya membutuhkan waktu sekitar dua puluh menit saja. Jika lebih dari itu, kemungkinan Dion dipecat pasti terbuka lebar.
"Mati aku, mati aku! Semoga beliau mood-nya lagi baik!" ucap Dion sembari menggosok- gosok tangannya, berusaha menghilangkan kegugupannya.
Merasa mentalnya sudah siap, ia pun segera turun dari mobil. Merapikan jasnya dan segera menghampiri sang bos besar di restoran di mana pria gagah itu sedang menunggunya.
Terlihat Zidan sedang menelpon. Kali ini kesempatan Dion untuk mengalihkan perhatian pria tersebut. Jangan sampai Zidan ingat kesalahannya. Jika ingat, maka tamatlah riwayatnya.
"Pagi menjelang siang, Bos. Mari!" sapa Dion santun, tak seperti biasanya yang suka cengegesan.
"Hemmm, mana mobil?" tanya Zidan malas. Malas meladeni Dion yang sok lugu maksutnya.
"Mari silakan!" ucap Dion sembari menarik koper kecil milik Zidan. Pria tampan ini tak menghiraukan asisten isengnya. Ia pun langsung masuk ke dalam mobil sembari fokus pada telepon genggam yang ada di tangannya.
Dion bisa bernapas lega. Sebab Zidan sedang dalam mood yang baik. Seperti yang ia harapkan. Tak ada kemarahan di raut wajah pria itu. Ia hanya fokus dan fokus pada ponselnya.
Semoga selalu begitu, batin Dion licik. Tanpa di minta pria tampan ini pun melajukan kendaraannya. Dengan tenang dan pelan. Sebab jalanan licin habis diguyur hujan.
Zidan masih sibuk dengan gawainya. Sesekali ia tertawa, tak jarang juga ia tersenyum.
Belum ada pembicaraan berarti di antara mereka. Namun Dion sudah bersiap menyusun kata jika sewaktu-waktu Zidan bertanya. Tentang apapun itu. Tentang lomba ini mungkin.
Dion mengingat lomba itu, mengingat anak itu. Lalu, ia pun melirik Zidan. Jlek ... mereka mirip. Ya anak itu mirip dengan orang ini, batin Dion.
"Oh! Kenapa mereka mirip sekali ya" celetum Dion. Untung Zidan tidak dengar. Kembali melirik sang big bos kemudian memastikan penilaiannya.
Benar mereka mirip sekali, matanya, senyumnya, rambut hidung bahkan bibir. Seperti dublikat saja, ucap batin Dion lagi. Pria ini terlihat tersenyum lucu. Seperti menemukan sesuatu yang unik. Seperti menemukan sesuatu yang nyata akan prasangkanya.
Dion kembali melirik Zidan. Memastikan lagi. Lalu, ia tersenyum bahagia, seperti menemukan saudara kembar si pria cerdas di sampingnya ini. Jangankan postur tubuh dan wajah rupawannya. Gaya bicara mereka juga mirip. Sangat-sangat mirip.
Sepanjang jalan Dion masih memikirkan kemiripan mereka. Namun, tidak berani berasumsi bahwa mereka memiliki hubungan darah. Sebab, yang Dion tahu, Zidan bukan pria yang gampang menabur benih. Pria ini selalu pilih-pilih jika ingin bermain. Akhirnya ia pun berusaha membuang jauh pikiran anehnya.
Mobil yang dikendarai Dion akhirnya sampai di hotel tempat mereka menginap. Tanpa banyak bicara, Dion langsung turun dan membawakan koper sang big bos dan mengantarkannya ke kamar untuk beristirahat. Namun bukannya istirahat, pria gagah ini malah langsung meminta semua laporan hasil kerja Dion selama di tempat ini.
"Nggak istirahat dulu, Bos!" canda Dion. Zidan tak menjawab dengan suara. Ia hanya menjawab dengan lirikan yang diam menelan mentah-mentah sang asisten. Dengan cepat Dion pun langsung menciut. Merinding tentunya.
"Siap, Bos. Laksanakan!" ucap Dion seraya memundurkan langkahnya. Berlari menuju kamarnya dan mengambil file yang Zidan Inginkan.
Berkas, laptop dan semua peralatan kerja sudah di tangan. Saatnya menjalankan perintah sang atasan. Sebelum masuk, pria ini terlihat menghela napas dalam-dalam. Mempersiapkan mental agar tak gentar menghadapi amarah Zidan.
Dion mengetuk pintu kamar hotel di mana Zidan berada. Tak lama pria penghuni kamar itu pun membukakan pintunya dan Dion langsung masuk.
"Bagaimana lomba kemarin. Apakah ada yang masuk kriteria penerima hadiah tambahan?" tanya Zidan santai.
"Sebenarnya tidak ada, Bos. Tapi ada satu anak yang super istimewa. Dia selalu menang lomba apapun, karena memang cerdas sih. Tangkas dan mampu menjawab semua pertanyaan dengan baik. Namun, di salah satu mata pelajaran, nilainya tidak masuk kriteria kita," jawab Dion sambil memberikan berkas penilaian yang ia dapat dari Dewan Juri.
Zidan mulai meneliti lembar demi lembar nilai-nilai itu. Kemudian ia mulai mengoreksinya sendiri.
"Siapa nama anak ini?" tanya Zidan.
"Sebentar, Bos." Dion mencari biodata Raka dan menyerahkannya pada Zidan. Pria ini segera mengambil kertas itu dan mulai membacanya.
"Kok cuma nama ibunya, ayahnya nggak ada?" tanya Zidan.
"Sepertinya yatim, Bos," jawab Dion sesuai yang ia tahu.
"Ini anaknya yang kamu bilang cerdas?" tanya Zidan.
"Iya, Bos. Mau lihat video debatnya. Uwih keren, Bos. Ngomongnya lancar banget, saya aja kalah," ucap Dion pamer. Tanpa meminta persetujuan Zidan, Dion pun langsung memutar file itu.
Zidan diam, menyimak dengan khusuk video itu, tak ada perbincangan khusus antara mereka. Hanya saja, Dion terus memerhatikan raut wajah Zidan yang terlihat sangat mirip dengan anak yang ada di video tersebut.
"Cakep kan Bos?" canda Dion.
"Lumayan dia pintar," jawab Zidan.
"Cara ngucapin setiap kata juga jelas, enak. Pokoknya sip deh ni anak. Sayang Bos kalau anak pintar gini nggak bisa lanjut sekolah," bujuk halus Dion, berharap sang big bos sepemikiran dengannya.
"Kamu bener juga," balas Zidan.
Yes, semoga bos mau bermurah hati, batin Dion penuh harap.
"Oia Bos, dia mirip seseorang ya. Wajahnya, senyumnya, rambutnya sampai gestur tubuhnya juga mirip. Tahu nggak bos dia mirip siapa?" Dion tersenyum. Senyum meledek tentunya.
"Mirip siapa, ada-ada aja kamu." Zidan masih fokus dengan video itu. Sedangkan Dion tetap melanjutkan penilaiannya.
"Kalau aku bilang dia mirip banget dengan Bos. Kayak bapak sama anak." Dion tertawa. Sedangkan Zidan masih belum berpikir jika anak yang ada di video tersebut mirip dengannya.
"Ngawur kamu!" Zidan melirik kesal pada Dion.
"Ye, nggak percaya. Coba Bos perhatikan. Rambutnya mirip, matanya, hidungnya. Bos kalau lagi menyampaikan sesuatu di rapat kan kayak gitu gayanya. Nggak percaya, ni ya aku kasih tahu," ucap Dion lagi. Ia pun segera membuka aplikasi di ponselnya dan mencari salah satu video Zidan yang sedang menyampaikan materi rapat yang menurut Dion itu sangat-sangat mirip dengan Raka.
Zidan menerima ponsel itu dan membandingkan dengan cara bicara Raka. Bahkan wajah mereka, sangat-sangat mirip dan Zidan mulai mengakui dalam hati bahwa dia dan anak itu memang ada kemiripan.
Bersambung...
Terima kasih dukungannya. Like dan Komen kalian selalu kunanti... 😘😘😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 98 Episodes
Comments
Kuro
Dion cobalah kamu selidiki siapa Raka kok mirip SM zidan
2022-11-04
0
Bunga Biru
ayo zidan diingat ingat
2021-10-08
0
Ayu Cantika
blm nyadar ...
2021-10-04
0