Matahari tampak malu-malu menampakkan sinarnya. Membuat orang-orang yang ada di bawah kuasanya merasa malas untuk beraktivitas. Namun tidak bagi bocah bernama Raka Oktaviant Abimayu ini. Ia tetap bersemangat membantu sang ibunda tercinta, memanem berbagai macam bunga untuk mereka jual. Karena itu adalah sumber dari segala sumber rezeki yang mereka miliki.
"Raka, nanti mawar putihnya untuk toko kak Ana saja ya, hanya mereka yang memesan bunga itu untuk hari ini. Yang lainnya Raka taruh di toko kak Sari ya. Yang melati sama Lilinya di toko kak Adi," ucap Nandita sambil menghitung jumlah pesanan para pelanggannya.
"Siap, Bun," jawab Raka sembari mencatat perintah sang bunda di buku memo miliknya, agar tak lupa. Raka terlihat seperti asisten pribadi sang Bunda dan itu sudah biasa ia lakukan sejak kelas satu SD. Ketika pertama kali ia membantu bundanya mengantarkan bunga-bunga tersebut ke toko-toko langganan Nandita.
Raka memang cepat belajar, kelas satu SD saja dia sudah bisa membaca dan menulis. Sehingga memudahkannya untuk bekerja membantu sang bunda. Awalnya Nandita khawatir, namun sang nenek mengatakan bahwa, 'Biarkan putramu belajar dan menikmati prosesnya, jangan dilarang-larang. Biarkan dia berkembang dengan apa yang dia inginkan. Selama masih ke arah positif.' Kata itulah yang memotivasi Nandita untuk mendukung setiap keputusan yang Raka ambil, hingga detik ini.
"Oia Bun, Raka lupa kasih tahu. Kata Pakde, petinya tinggal enam yang ukuran kecil yang ukuran besar tinggal dua. Mau pesan lagi nggak?" tanya Raka.
Nandita membaikkan badan, kemudian dia tersenyum. Entah mengapa, Tiba-tiba rasa bangga menyeruak masuk di dalam batinnya. Untuk bocah tampan ini. Untuk bocah yang ia perjuangkan seorang diri. Untuk seorang putra pemilik hati. Sampai Nandita tak punya pikiran apa lagi niat untuk menikah. Hanya demi Raka. Ia tak ingin putranya memiliki seorang ayah yang nantinya hanya menyakiti Raka. Tak bisa menerima sang putra dengan baik.
Senyum mengembang di bibir wanita ayu ini. Ia tak menyangka saja, putranya sudah besar dan bisa membantunya menjalankan bisnis yang bisa dibilang sedikit membuat siapapun merinding. Ya, bisnis Nandita adalah menjual perlengkapan jenazah. Mulai dari peti mati, bunga, kain kafan dan sebagainya.
Nandita sanggup bertahan di detik ini, tak lain dan tak bukan itu semua berkat jasa seorang wanita yang menolongnya waktu itu. Waktu ia tersisih dari tempat di mana seharusnya dia berada. Nandita ditolak, diusir dari rumah bahkan sudah di keluarkan dari kartu keluarga karena ia dianggap mencoreng nama baik mereka. Ya .... itu karena, Nandita hamil di luar nikah dan tak tahu siapa pria yang menghamilinya.
Namun, sekarang Nandita bahagia. Tangisannya dulu tak sebanding dengan kebahagiaannya sekarang. Tangisannya itu telah diganti dengan seorang bocah tampan yang baik hati dan selalu memberinya kekuatan. Memberinya semangat agar selalu mempu berjuang demi mendukung cita-cita anak cerdasnya ini. Hanya masa dapan Raka lah yang ada di pikiran Nandita saat ini. Agar, sang putra bisa menjadi orang yang berguna baginya, bagi agama, bagi negaranya dan bagi orang-orang di sekitarnya. Sebuah harapan yang sangat mulia, bukan?
"Bun!" Raka melihat aneh ke arah sang Bunda, sebab sedari tadi Nandita hanya tersenyum sambil memetik bunga melati yang ada di depannya.
"Heemm!" jawab Nandita singkat.
"Bun, Raka nanya. Petinya mau belanja lagi nggak. Nanti Pakde pasti nanya lagi," ucap Raka. Pakde adalah pria yang bekerja pada Nandita sebagai penjaga toko miliknya.
"Boleh, deh. Tambah empat yang kecil yang besar boleh tambah enam," jawab Nandita.
"Siap, Bunda, nanti Raka bilangin Pakde. Udah siang ni, Bun. Raka ke sekolah dulu ya," tambah Raka.
"Siang apanya, matahari saja belum ada! alasan ya? Mau melarikan diri ya, " canda Nandita sambil menyembunyikan senyuman cantiknya.
"Hehe, Bunda. Ngajak bercanda ya. Kan ini memang mendung, Bun. Ni jamnya udah setengah tujuh." Raka menilik manik sang bunda, dan mereka pun tertawa bersama.
***
Raka dan Nandita terhanyut dalam candaan mereka. Namun, ada satu hati yang sangat penasaran dengan seorang anak yang sangat mirip dengannya. Pria ini adalah Zidan. Seorang pria tampan dengan segala kemewahan, tetapi tak ada seorang keluargapun yang ia miliki. Sebab, adik kesayangannya satu-satunya telah berpulang.
Untuk sampai ke titik ini, Zidan juga membutuhkan kerja keras yang tak main-main. Bisnis yang ditinggalkan sang ayah, awalnya hanya perusahaan ekpedisi biasa. Lalu berkembang pesat berkat keuletan dan kecerdasannya. Lalu, Zidan berhasil membangun sebuah perusahaan sepatu sport yang mendunia. Brandnya sudah terkenal di mana-mana. Keuntungannya berkali-kali lipat. Itu sebabnya ia sangat suka mengadakan event untuk para pelajar cerdas yang kurang mampu. Zidan berharap, niatnya ini bisa membantu negara untuk mencerdaskan anak bangsa. Sebuah harapan yang sangat mulia, bukan?
Zidan tersadar dari lamunannya ketika terdengar seseorang mengetuk pintu. "Masuk!" pinta Zidan sembari memencet remot kontrol yang terbubung dengan pintu.
Zidan terlihat masih santai sambil menyeruput kopi yang ia bikin sendiri beberapa menit yang lalu.
Tampak Dion melangkah masuk mendekatinya. Terlihat ia juga sudah siap dengan beberapa alat kerja yang biasa ia bawa ke mana-mana.
"Pagi, Bos!" sapa Dion.
"Heemm!" jawab Zidan malas.
Dion duduk, kemudian ia pun langsung menyalakan laptopnya.
"Maaf, Bos. Kayaknya barang yang kita kirim untuk ke Papua masih belum bisa jalan. Ada kendala sedikit, supir truck kita istrinya meninggal. Dia meminta izin dulu untuk pulang kampung," ucap Dion melapor.
"Yang lain tidak ada?" tanya Zidan.
"Semua full di posisinya masing-masing, Bos!" jawab Dion.
"Tak apa, tunggu salah satu dari mereka off aja. Lalu, minta segera barang itu di kirim. Oia jangan lupa minta bagian HRD untuk memberikan santunan pada keluarga sopir itu," jawab Zidan. Masih santai seperti tidak menghadapi masalah. Entahlah apa yang dipikirkannya saat ini. Biasanya ia akan bergerak cepat dengan masalah yang dihadapi. Ini malah terkesan santai dan biasa-biasa saja. Membuat Dion curiga.
"Bos ada masalah?" tanya Dion. Tentu saja Dion tak bisa membaca situasi ini, sebab Dion tak tahu masa lalu kelam yang pernah Zidan alami. Dion baru bekerja dengan Zidan ketika perusahaan Golden Gold berdiri lima tahun yang lalu. Sedangkan masalah yang memeluk Zidan kali ini adalah masalah ya g terjadi sebelas tahun silam.
"Nggak ada," jawab Zidan singkat. Namun maniknya mengatakan jika saat ini dia sedang dalam situasi yang kurang nyaman.
"Mohon, maaf Bos kalau saya sedikit memaksa. Bos harus memberikan keputusanan lomba tersebut hari ini. Sebab dua hari lagi adalah pengumuman pemenang, Bos!" ucap Dion tegas.
Zidan melirik sekilas pada sang asisten Lalu otaknya kembali bekerja dan anehnya, ia tak memikirkan keputusan lomba tersebut. Tetapi malah, Raka itu sendiri. Anak istimewa itu yang mengganggunya. Zidan penasaran, ingin melihat langsung wajah anak tersebut.
"Uji kembali anak itu! Aku mau melihat langsung kecerdasannya, jangan sampai kita salah sasaran memberikan bantuan," ucap Zidan, kembali menyeruput kopi hitam itu.
Dion tersenyum lebar, rasanya senang sekali. Entahlah, keputusan sang big bos baginya adalah sesuatu yang sangat ia tunggu. Dion berharap, Raka bisa menunjukkan performanya seperti kemarin saat lomba. Kalau bisa lebih, agar Zidan bisa dengan suka rela memberikan hadiah tambahan tersebut.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 98 Episodes
Comments
Siti Nurjanah
ayo raka kamu pasti bisa
2024-01-24
0
Kuro
biar Zidan aja yg langsung menguji raka
2022-11-04
0
Zahdan Dwi fr
sambil baca ga terasa air mataku meluncur sendiri,ceritamu menusuk hatiku
2021-10-07
0