Seorang gadis memasuki sebuah kamar rumah sakit, dengan tangan yang memeluk tiga botol air mineral ukuran besar. Wajahnya terlihat lelah, tapi dia tetap berusaha tersenyum.
Namanya Airina. Tanpa marga keluarga. Tanpa embel-embel apapun lagi. Satu kata itu saja. Bahkan orang-orang disekitarnya masih juga mendiskon nama itu dengan memanggilnya dengan sebutan singkat, Ai.
Ai pun meletakkan tiga botol air mineral tersebut di atas meja, sebelah ranjang.
“Banyak banget aqua-nya, Nak?” kata Mira, sang ibu yang sedang berbaring di atas ranjang rumah sakit.
“Buat minum sampe sore. Aku ada kelas sampe jam enam soalnya.”
Mira tersenyum. Putri satu-satunya itu memang sangat bisa diandalkan.
“Makasih, Nak.”
Ai mengangguk, lalu segera mengambil tas kuliahnya dan menyampirkan di bahu, “Aku berangkat dulu ya, Ma.”
"Iya, Nak. Kamu langsung ke kampus atau ke toko dulu?" tanya Mira. Ekspresinya selalu berubah seperti merasa bersalah pada putrinya itu. Mengingat bahwa beban keluarga mereka tidak lagi ada di pundak Mira.
"Toko dulu, Ma. Ada pengiriman pagi ini. Tapi kuliahnya mulai siang kok." Ai berusaha menghibur hati Mira. Ibunya tidak perlu merasa bersalah atas apapun. Ini hanyalah takdir kehidupan, lebih baik dijalani saja, tidak ada yang perlu disesali.
Akhirnya Mira mengangguk, tidak ingin membebani pikiran Ai lebih lagi.
"Kuliahnya jangan sampai ketinggalan ya, Nak," katanya.
"Pasti, Ma. Aku pergi dulu ya. Dah, Mama!" Ai mencium tangan Mira lalu beranjak keluar kamar sambil melambai-lambai.
Saat melewati meja suster jaga, ia mampir sejenak. Suster Rika – yang selalu siap sedia untuk menengok Mira saat Ai ada jadwal kuliah – langsung mengampiri.
"Sus, Mama lagi transfusi darah. Minta tolong dilihatin ya, takutnya Mama ketiduran, jadi lupa manggil Suster. Aku harus ke toko pagi ini, dan ada kuliah juga.”
Suster Rika menepuk bahunya, "Iya, nanti Suster lihatin. Kamu kuliah aja yang tenang ya."
"Makasih, Sus."
Suster Rika tersenyum.
Ai pun segera beranjak keluar untuk bertemu dengan mas ojek online-nya. Mereka pun segera meluncur menuju jalan raya.
Beberapa menit kemudian, Ai sudah tiba di sebuah toko kecil miliknya, di sudut jalan, bernama Rumah Bunga. Inilah toko kecil tempat Ai menghasilkan uang. Sudah dua tahun belakangan, ia menjadi penjual sekaligus perangkai buket bunga.
Memang terkadang, hidup hanyalah rahasia Ilahi. Kita tidak pernah tahu apa yang akan menjadi takdir kita sendiri. Dua tahun lalu, Mira divonis menderita kanker limfoma. Sebuah penyakit yang merusak cara kerja kelenjar getah bening dan sel darah putih. Hal inilah yang membuat Mira terkadang harus mendapatkan transfusi darah karena sel darah merahnya diserang oleh sel darah putihnya sendiri.
Banyak sekali pantangan yang harus Mira jalani karena penyakit ini. Bahkan terkena cahaya matahari pun ia sudah tidak bisa lagi. Hal ini membuatnya harus berhenti dari pekerjaan. Ai pun harus mengambil alih tugas kepala keluarga dari pundak sang ibu. Mereka hanya hidup berdua. Tidak ada lagi yang bisa diandalkan, selain diri sendiri. Ai pun harus bekerja sekaligus kuliah pada saat yang bersamaan agar seluruh kebutuhan harian dan biaya pengobatan Mira di rumah sakit dapat dilunasi.
Tapi, yang perlu kita tahu, bahwa Tuhan tidak pernah tidur. Dia melihat dan memperhitungkan segala usaha dan jerih payah hamba-Nya. Jika niat kita memang baik dan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, Dia akan bukakan pintu rezeki secukup-cukupnya.
Ada satu kalimat yang akhir-akhir ini sering digunakan orang untuk menyemangati diri sendiri…
"Yuk bisa yuk!" Ai merapalkan kalimat itu seperti mantra jitu sebelum dia masuk ke dalam tokonya. Ntah kenapa, kalimat sederhana ini cukup ampuh untuk membangkitkan semangatnya.
Ai pun beranjak menuju lemari pendingin tempat ia menyimpan bunga-bunga jualannya agar tidak cepat layu. Ia mengambil beberapa bunga mawar, lili, dan lainnya. Hendak merangkainya menjadi beberapa buket sesuai pesanan pelanggan.
"Pagi, Bu Bos!" Tantri satu-satunya karyawan yang Ai miliki, muncul di pintu.
"Bu Bos dari Hongkong!" Ai mencibir.
Tantri cengengesan, "Rajin banget sih lo, datangnya pagi-pagi banget."
"Ntar rezeki gue dipatok ayam kalau kerjanya siang."
"Dimana-mana ayam tuh makannya beras, bukan rezeki orang!" keluh Tantri sambil mulai menyapu toko. Ai mengabaikan dumelan Tantri, lebih memilih sibuk merangkai buket-buket bunga pesanan pelanggan.
Setelah semua buket terangkai sempurna, Ai lanjut menuliskan kartu-kartu ucapan. Inilah bagian paling favoritnya. Ketika para pelanggan mempercayakan beberapa kisah cintanya…
Ada yang minta maaf pada kekasihnya, ada yang mengucapkan selamat ulang tahun pada orangtuanya, ada yang mengucapkan selamat atas kelulusan sahabat. Macam-macam!
Tantri yang sedang menyapu di hadapan Ai berhenti sebentar untuk mengamatinya menulis.
"Ada kartu yang seru gak hari ini?" tanyanya.
Ai menyerahkan satu kartu potensial pada Tantri.
Disana tertulis kalimat yang cukup sensual.
Meet me in my room tonight?
(Temui aku di kamarku nanti malam?)
"Dikirimnya kemana?" Wajah Tantri terlihat penasaran. Ai pun menyebutkan sebuah nama hotel terkenal di Jakarta.
Tantri langsung cekikikan, "Dari gadun buat sugar baby-nya kali ya?"
"Ya kan? Gue juga mikirnya kayak gitu." Ai tertawa.
"Ada lagi yang lain?"
"Gak ada. Udah, udah. Balik kerja sono. Jangan gaji buta!"
"Galak deh. Lagi dapet ya?"
"Iya, dapet duit."
Tantri mencibir, tapi ia langsung lanjut menyapu.
Tak lama kemudian, satu sosok tiba-tiba muncul di dalam toko. Tantri melirik dengan kesal orang tersebut karena kembali mengotori lantai yang sudah dia sapu daritadi. Namun, begitu menyadari siapa yang datang, raut wajahnya langsung berubah.
"Selamat pagi, Mas Samuel!" sapa Tantri sambil senyum-senyum dan menyelipkan sendiri rambutnya ke balik telinga.
Ai menengadah. Begitu menyadari siapa yang sedang digoda oleh Tantri, ia hanya bisa geleng-geleng kepala.
"Pagi, Tantri!" Samuel – sahabat kecil yang lebih sering Ai panggil dengan sebutan Sammy – juga balas tersenyum lebar. Tantri langsung kegirangan seperti orang sawan.
Well, dia tidak tahu saja...
Sammy pun berjalan ke arah Ai.
"Pagi, Rosalinda!" Sammy selalu menyapa Ai seperti ini, setiap hari. Menurutnya, Ai memang adalah sosok Rosalinda, seorang tokoh perempuan penjual bunga di telenovela zaman dulu.
Ai meliriknya dengan dramatis, selalu benci jika Sammy meledeknya seperti itu.
"Galak amat!" Sammy terkekeh.
Ai memutar bola mata.
"Mau dibantuin, nggak?" tanya Sammy.
"Nggak usah. Ini udah kelar kok. Tinggal dikirim aja."
Sammy mengangguk.
Setelah memastikan semuanya sudah sesuai pesanan, Ai segera mengambil smart phone untuk memesan jasa kurir langganan.
"Tunggu sebentar ya? Please?" Ai memelas pada Sammy.
Ia langsung mencibir, "Tadi galak, sekarang mohon-mohon. Bipolar banget sih!"
Ai tertawa, "Namanya orang lagi butuh..."
Sammy tidak menjawab. Namun sepertinya, ia sadar bahwa pekerjaan Ai akan memakan waktu – tidak seperti yang dijanjikan. Jadi, ia memilih untuk duduk santai di sudut Rumah Bunga, lalu memasang airpod-nya. Ai bernafas lega. Sepertinya Sammy sedang menonton serial Netflix, ia akan cukup sibuk untuk sementara waktu. Ai jadi sedikit lebih tenang untuk mengurusi pengiriman.
Tepat setengah jam kemudian, akhirnya Ai menghampiri Sammy.
"Udahan?" tanya Sammy, sambil melepas airpod-nya. Ai mengangguk.
Mereka pun beranjak menuju kampus.
Ai dan Sammy memang tidak terpisahkan sejak kecil. Sudahlah jarak rumah hanya dua langkah, anehnya, mereka juga selalu diterima di sekolah yang sama. Bahkan kampus dan jurusan saja seperti berjodoh.
Dan seperti yang sudah disadari, Sammy selalu menyempatkan diri untuk menjemput dan mengantar Ai sesering yang ia bisa. Katanya, ingin memberi moral support pada Ai dan mengurangi sedikit beban sahabatnya itu. Ai selalu berterima kasih atas kebaikan Sammy ini.
Setibanya di kampus, mereka langsung melangkah menuju ruang mata kuliah siang itu. Saat memasuki pintu, mata mereka langsung beredar menyapu ruangan.
Satu tangan pun melambai begitu menyadari kehadiran mereka. Yaitu Shaletta, satu sahabat mereka yang lain, yang seperti biasa memilih bangku paling pojok di belakang kelas. Begitu Ai dan Sammy duduk di sebelahnya, mereka langsung memandang heran Shaletta yang sedang tertawa-tawa kecil sambil memandangi smart phone-nya.
"Kenapa lo?" tanya Ai, penasaran.
"Nggak apa-apa!" Shaletta masih tertawa-tawa.
"Buset! Masih ketawa! Ada meme lucu? Video tiktok viral apalagi yang bikin lo ketawa?" tanya Sammy.
Akhirnya, Shaletta berhenti tertawa. Dia mematikan layar smart phone, lalu beralih memandangi Ai.
"Ai..." panggilnya.
"Hm?" Ai menjawab sambil mengeluarkan buku.
"Lo masih belum punya pacar kan?"
"Iye! Kenapa? Lo mau ledekin gue lagi?"
"Enggak…”
"Terus?"
"Lo mau nggak kalau gue jodohin sama abang gue?"
"HAAAAH?!"
“Ini beneran! Mau nggak?”
Ai mengernyit, memandang Shaletta seakan-akan ia adalah mahluk alien dengan mata tiga dan kaki berselaput.
Ia tidak pernah menyangka bahwa kalimat Shaletta bisa terdengar begitu konyol.
***
Tekan tombol favorit dan like nya ya! Yuk bisa yuk! 🙂🤍
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
Sunny
Baca ulang, biar dapet lagi feelnya
2024-08-12
0
Tarisya Achmad
Makin cinta, baca maraton ditemani cemilan mantap
2021-11-11
1
✪⃟𝔄ʀ ησƒяιтα 🅾︎🅵︎🅵 ⍣⃝కꫝ🎸
diskon berapa % itu nama ai
2021-11-10
1