episode 5

Happy reading my beloved readers🥰

Akhirnya, setelah hari itu. Aku pun mencoba menjalani hariku seperti biasa. Tanpa memikirkan pernikahan tak sehat ini.

Aku tak ingin sakit hati terus menerus. Cukup sudah aku tahu alasan Bang Samuel sebenarnya, dan aku mencari bukti sendiri tentang perjanjian hitam di atas putih pernikahan ini.

Ya, setelah aku bertanya langsung kepada sekretaris ayah dan pengacaranya. Ternyata memang benar, ayah menjanjikan masing-masing 25 saham perusahan, pada Bang Samuel dan Kak Alisia jika mereka mau menerimaku pada pernikahan mereka.

Konyol, kan!

Apa ... aku memang sebodoh itu. Sampai harus di carikan suami?

Apa, Ayah terlalu takut hartanya jatuh ke pria yang salah, yang mungkin hanya akan manfaatkanku untuk sebuah harta?

Tuhan, aku benar-benar tak habis pikir untuk semua alasan di balik perjanjian ayah itu. Berhubung sekarang aku sudah tau maksud dan niat Bang Samuel menjadi suamiku.

Aku pun mencoba mengabaikan dan menutup hatiku untuk pernikahan ini.

Aku yakin, sampai kapanpun. Bang Samuel pasti gak akan mau menerimaku sebagai istrinya. Karena dari awal, bagi Bang Samuel istrinya itu hanya kak Alisia.

Sementara aku, hanya sumber penghasilan saja.

aku mengigit bibir bawahku agar tak bergetar karena rasa sesak ini membuat mataku mulai memanas.

Jangan nangis! Kamu gak boleh lemah. Sekarang gak akan ada yang akan memelukmu jika sedih, Hani. Kamu harus belajar berdiri pada kakimu sendiri.

Harus!

Kamu harus segera lulus, meraih sarjanamu, dan mengambil tampuk kepemimpinan perusahaan ayah. Agar bisa melepaskan Bang Samuel dari bebannya. Yaitu kamu.

Kamu harus kuat, Hani! Harus!

Sekalipun rasanya sulit sekali, meskipun harus diiringi rasa sakit hati yang luar biasa. Karena otakku tak bisa berhenti berpikir dan mengingatkanku, kalau ... ternyata ....

Aku cuma beban suamiku sendiri!

Jadi, untuk apa aku menjadi pungguk yang merindukan rembulan seperti ini? Iya, kan?

Lebih baik aku fokus pada pendidikanku, agar bisa segera melepaskan diri darinya.

Bercerai? Tentu saja. Apa lagi yang bisa aku lakukan selain itu? Karena aku tak ingin menjadi beban siapapun terlalu lama.

Ya! Aku rasa. Aku pasti bisa mengurus hidupku sendiri tanpa bantuan siapapun.

Oh, kalian tenang saja, aku gak serta merta mengabaikan orang-orang di Jakarta. Karena sampai saat ini pun, aku masih berhubungan baik dengan Mama Lina, seperti hari biasa.

Namun sekarang, aku menolak dan mencoba menutup telinga untuk semua kabar Bang Samuel dan istrinya di sana.

Biarkan saja kami hidup masing-masing sekarang. Aku ingin lebih menikmati kesendirianku, sebelum terjun menjalankan bisnis ayah.

Ya! Aku harus bahagia!

Sayangnya, kebahagiaanku itu tak bertahan lama. Karena pada dua bulan setelahnya, sebuah nomor yang tak asing menghubungiku. Tanpa adanya peringatan terlebih Dahulu.

Ya itu nomor Bang Samuel!

Bukan cuma itu, dia bahkan mengatakan menungguku di depan apartmen, dan menyuruhku segera datang. Karena dia ingin segera istirahat.

"Saya baru sampai negara ini. Saya masih sangat lelah dan butuh tidur. Jadi kamu cepatlah datang, lalu bukakan pintu ini untuk saya. Saya sangat mengantuk sekali."

Itu ucapannya yang penuh dengan nada perintah padaku.

Aku tidak tau untuk urusan apa dia ke sini? Dan akan berapa lama?

Yang jelas, mendengar hal itu. Tentu saja aku pun bergegas pulang, dan menyambut tamuku tersebut.

Terlepas dari hubungan kami yang sudah sangat renggang. Bagaimanapun, dia masih sah sebagai suamiku. Dan Kehadirannya, memang tak boleh aku abaikan begitu saja, iya kan?

Karena surgaku masih ada pada kakinya.

Untungnya, kelas hari ini sudah selesai, dan jarak apartmen dari kampus juga tak terlalu jauh. Jadi, aku bisa berlari cepat untuk pulang.

Namun, baru saja aku sampai di hadapannya. Dia pun langsung menatapku tajam, dan berdesis kesal " dasar lelet."

"Tolong ambilkan minum, saya haus!" ujar Bang Samuel saat sudah masuk. Sebelum menghempaskan diri di sofa yang ada di apartmen, dan dia memijat keningnya beberapa kali.

Sepertinya, dia memang lelah sekali. Karena itu kuturuti saja permintaannya. Tanpa banyak komentar.

Aku segera berjalan menuju dapur, dan mengambilkan apa yang dia mau. Letak dapur memang tidak jauh dari ruang tamu, dimana Bang Samuel tengah duduk. Hingga membuat aku tak butuh waktu lama untuk kembali menghampirinya lagi.

"Ini, Bang." Aku menyodorkan air dalam gelas bening.

Bang Samuel terlihat melirik sekilas. Ia lalu mengambil gelas itu. "Makasih."

Melihat Bang Samuel yang tiba-tiba datang begini. Jelas membuatku heran bercampur penasaran juga.

Untuk apa Bang Samuel kemari? Ada masalah apa?

Entahlah, aku tak merasa senang sedikitpun, mendapati kehadirannya di sini. Karena aku tahu, pasti ada alasan penting di balik kehadirannya ini.

Entah itu apa? Yang jelas, pasti bukan untuk menjengukku, kan? Karena, siapa aku untuknya?

Aku ini hanya pemeran pendukung, kehadiranku tak akan penting untuknya.

"Maaf, tapi ... kalau boleh tau, untuk apa abang kesini?"

Baiklah akhirnya aku bertanya seperti itu. Anehkah? Entahlah. Menurutku itu wajar, karena aku merasa penasaran.

Bang Samuel menaruh gelas usai meminum isinya. Ia tidak tersenyum sama sepertiku.

Dia justru menghela napas berat penuh beban setelahnya.

Kan, aku memang hanya beban saja untuknya.

"Kenapa? Kamu nggak suka saya ada di sini?" Tanyanya, yang membuatku sontak mengedipkan mata berulang.

"Ah, bu-kan be-gitu maksud aku. Cuma ... aneh aja. Kok, Abang kesini? Terus Kak Alisia mana? Kenapa dia nggak ikut?"

Setelah bersusah payah menelan kegugupan, akhirnya bisa aku berkata lancar. Usai kalimat itu beres, lega rasanya hatiku.

"Kalau soal itu, ya ...." Bang Samuel tampak sendu dengan kalimat yang digantung.

Yang justru membuat jiwa penasaranku meronta ronta.

Namun, meski begitu. Aku tidak berusaha menyela. Aku menunggu sampai dia sendiri mau buka mulut.

Lagi pula dia terlihat akan bicara lagi, kok. Dan Benar saja, setelah menunggu beberapa detik. Kak Sean pun kembali melanjutkan bicara.

"Sebenarnya saya juga terpaksa mengganggu kamu." Sautnya terpaksa

Degh!

Apa? Terpaksa mengganggu dia bilang? Maksudnya?

"Ada yang harus saya bereskan di perusahan cabang yang ada di sini."

"Ada masalah apa? Kok, Feny gak bilang?" sambarku cepat. Membuat Bang Samuel langsung menaikkan alisnya satu, tanda tak suka.

"Uhm, Maaf. Tapi, setau Hani, cabang di sini gak ada masalah karena Hani rajin mengeceknya setiap minggu." Ucapku padanya berharap bisa mengembalikan moodnya.

"Apa saya bilang ada masalah?" tanya Bang Samuel kemudian, membuatku mengerjap bingung.

Karena, ya, dia memang gak bilang ada masalah. Tapi, dia bilang ada yang harus dibereskan, kan? Dan itu artinya. Berarti ada yang gak sesuai aturan. Benar begitu, kan? Atau ... aku salah dengar?

"Makanya lain kali, dengar baik-baik omongan orang. Jangan langsung nyela saja," ucapnya sinis.

Aku pun hanya bisa menunduk saja menerima ucapan itu. Bukan tak bisa menjawab, tapi aku mencoba mengalah, karena tak ingin ribut dengan suamiku di hari pertama di kunjungi.

Walaupun, ... itu hanya untuk sekedar bisnis semata.

"Maaf, silahkan lanjutkan," ucapku kemudian. Ingin segera tau alasan sebenarnya.

Namun, Bang Samuel bukannya melanjutkan ucapannya, dia malah menyandarkan diri dengan nyaman, sambil melipat tangannya dibawah dada, dan memindaiku dengan seksama.

"Cabang di sini memang gak ada masalah, semuanya baik karena kamu memang cukup baik mengaturnya. Tapi, saya juga punya hak kan, untuk mengecek semuanya lagi, dan menaikturunkan orang-orang di sana sesuai kinerjanya? Karena saya rasa, ilmu kamu belum sampai di sana," ucapnya lagi, terdengar sangat meremehkan aku.

Aku hanya mengangguk saja demi mempersingkat waktu.

"Sebenarnya, tadinya saya ingin tinggal di Hotel, atau apartemen saja. Karena saya gak mau mengganggu kamu. Tapi karena Mama terus merengek meminta saya tinggal sama kamu, dan memberi kamu kesempatan melaksanakan kewajiban kamu sebagai istri. Saya bisa apa selain menurut? Lagipula, saya takut kamu mengadu lagi karena tidak pernah saya perhatikan." ucapnya sinis.

"Hani tidak pernah mengadu," sahutku cepat. Lagi-lagi kehilangan kontrol diri.

Saat menyadari hal itu, aku pun langsung menggigit bibir bawahku, dan hampir saja mengucapkan maaf, sebelum jawaban Bang Samuel lebih dulu berkata.

"Dan kamu kira saya percaya?"

Aku pun sontak membeku di tempatku, saat mendengar pernyataan dingin dari mulutnya, disertai dengan seringaian miring.

Padahal benar selama ini aku gak pernah ngadu sama mama. Terus kenapa Bang Samuel malah menuduhku seperti itu?

"Tapi Hani memang gak pernah ngadu apapun Bang, sama mama." Protesku padanya

"Oh, ya? Lalu, Kalau begitu darimana Mama tau, kalau aku gak pernah mengindahkan kamu selama ini? Mama bahkan tau, saya gak pernah ingin tau biaya hidup kamu di sini atau pun uang saku kamu, dan saya juga menyerahkan semuanya sama Feny. Kalau bukan dari mulut kamu, dari siapa lagi, coba?"

Hatiku sakit sekali. Sungguh! Bukan karena mendengar tuduhannya saja, tapi juga tentang kenyataan yang baru di ucapkan barusan.

Kukira, selama ini uang sakuku dia yang memberikan tapi ternyata....

_

_

_

_

_

_

Bersambung...

Harap maklum bila ada ejaan atau penulisan kata yang salah.

karena saya masih amatiran

Thanks to read

Terpopuler

Comments

Titis KIDDO

Titis KIDDO

Naah kan "keceplosan" disebut dsni.. ga usah aku highlight mana yg mirip.
sayaang bgt thor

2022-01-10

0

merry jen

merry jen

kshn hani dnkhin krn Alicia sm Sam dpt saham Dr ppy hani Alicia jg jht kyky cm mau hrty hani ajj

2021-10-03

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!