Irene terkejut dengan penuturan Adit barusan.
"Kamu gila dit" celetuk Irene dengan emosi yang mulai memuncak.
Ia muak dengan lelaki dihadapannya.
"Terus bagaimana dengan dengan istri kamu?" tanya Irene.
"Kasih aku waktu, sampai perusahaan papa jatuh ke tanganku dan aku akan menceraikannya dan kita akan menikah," sahut Adit.
Plaaaakk.
Sebuah tamparan mendarat dipipi Adit.
"Aku menyesal kenal kamu dit" celetuk Irene dengan emosi yang masih tertahan.
Adit terpaku. Baru kali ini ia melihat Irene marah.
"Jangan temui aku lagi, dan untuk urusan pekerjaan akan aku alihkan ke staff yang lain," tambahhnya kemudian berlalu meninggalkan Adit yang masih mematung merutuki kebodohannya.
Ia terlalu meremehkan sikap sabar dan lembut Irene. Sejenak mencerna perkataan Irene.
"Aku tidak akan melepaskanmu Irene" gumamnya lirih.
"Tunggulah! Aku akan membuatmu kembali kepadaku, jika aku tidak bisa memilikimu maka tidak ada satupun pria bisa memilikimu" serunya sambil menarik satu sudut bibirnya.
Dan lagi ada Tian yang sedari tadi mendengarkan pembicaraan Irene dan Adit dari sudut ruangan yang terhalang sebuah tanaman hias.
Ketika ia akan memasuki lift tiba-tiba ponselnya berdering, ada panggilan dari kak Robby asistennya. Setelah selesai dengan panggilan telponnya ia mendengar suara orang bertengkar dan ia mengurungkan niatnya untuk melewati mereka.
Ia tidak bermaksud menguping secara diam-diam tapi ia tidak ingin menyela obrolan mereka. Apalagi yang ia lihat adalah Irene.
Entah mengapa sosok Irene mulai memiliki tempat dipikirannya.
"Ternyata selain cantik, ia pun tegas dalam pendiriannya," desis Tian sambil tersenyum.
Tanpa ia sadari ia mulai teralihkan oleh sosok Irene dan sejenak melupakan Desi yang sampai saat ini masih tidak ada kabar.
"Apa aku turuti saja saran James? Tapi gengsi juga," ucapnya lirih.
Ia ingat bagaimana ia kekeh tidak ingin dikenalkan lebih dekat dengan Irene.
"Tapi tidak ada salahnya aku mengenalnya," otaknya berputar memikirkan cara agar bisa bertemu Irene lagi.
"Aahhh... Aku butuh asupan kafein agar otakku bisa lancar berpikir," gumamnya sambil mengayunkan kakinya menuju parkiran mobil dan melajukan mobilnya menuju sebuah coffee shop yang tidak jauh dari hotel.
...............
Sepertinya takdir berpihak padanya. Setiba di coffee shop,
"Eheemmm ... boleh aku duduk disini?" tanya Tian pelan hampir tidak terdengar dengan segelas ice americano yang sudah berada di salah satu tangannya.
Irene mengalihkan tatapannya dari jendela kaca yang menghadap keluar kemudian menatap kearah sumber suara.
"Oh ... boleh mas. Silahkan. Lagian aku juga sendiri," sahut Irene gugup.
Ketika memasuki coffe shop tadi Tian melihat Irene sedang duduk sendiri didekat jendela kaca yang mengarah ke jalan raya.
"Takdir berpihak padaku," batinnya
Misinya kali ini hendak mendekati Irene walau ia sendiri tidak terlalu yakin.
"Tidak ada yang marah aku duduk disini bersamamu?" tanya Tian basa basi.
"Tidak ada. Tenang saja," sahut Irene sambil tersenyum.
Baru beberapa menit mengobrol mereka langsung akrab. Mungkin karena sama-sama dewasa atau perbedaan usia yang tidak terlalu jauh. Entahlah hanya mereka berdua yang tau. 🤣
Beberapa kali Tian mencuri pandang pada Irene.
"Kenapa senyaman ini bersamanya? Dia juga asik diajak bertukar pikiran, dia bisa jadi pendengar yang baik" batin Tian.
Irene tipe gadis dewasa, humoris dan terbuka pikirannya. Melihat masalah dari berbagai sudut pandang. Sederhana dan berwawasan luas.
Begitulah penilaian Tian terhadap Irene.
"Aku boleh menelpon mu?" tanya Tian gugup.
"Boleh mas" sahut Irene tersenyum malu.
"Kenapa perasaan aneh itu muncul lagi hanya dengan melihat senyumnya," batin Tian.
"Rasanya saat ini aku ingin senyum itu hanya untukku" batinnya lagi.
Hari mulai larut, jalanan kota masih ramai lalu lalang kendaraan. Irene memutuskan pamit pulang.
"Rasanya berat untuk berpisah" batin Irene lagi. Kebersamaan yang singkat bersama Tian memunculkan perasaan bahagia yang masih ingin ia rasakan.
"Ternyata aslinya ramah, lembut dan sopan" batin Irene lagi sambil berusaha mencuri pandang memandangi wajah tampan Tian.
"Mas Tian, aku pamit pulang dulu ya. Sudah larut" ucap Irene sambil melirik jam tangan yang melekat di pergelangan tangannya.
"Aku antar kamu pulang ya?" tawar Tian. Ia tidak tega membiarkan seorang gadis pulang malam sendiri.
"Sekalian pendekatan" batin Tian.
"Tidak usah mas, aku tidak ingin merepotkan mu," tolak Irene halus. Perkataan dimulutnya bertolak belakang dengan keinginan hatinya.
"Aku tidak menerima penolakan!" seru Tian menarik lembut tangan Irene menuju mobilnya yang terparkir didepan coffe shop.
Membuka pintu depan dan mempersilahkan Irene masuk.
Deg. Jantung Irene berdebar ketika Tian memegang tangannya. Ia terpesona dengan perlakuan lembut Tian dan ketika sudah duduk disampingnya tercium aroma maskulin Tian.
"Ingin rasanya menghirup aroma tubuhnya," Irene berfantasi.
"Astaga apa yang aku pikirkan," batinnya dan seketika wajahnya merona.
"Bisa kita jalan sekarang?" tanya Tian membuyarkan lamunan Irene.
Sewaktu masuk mobil Irene terlihat melamun.
" Ahh i..iyaa mas" sahut Irene gugup.
Tian hanya tersenyum.
"Ren, besok boleh aku ajak jalan?" tanya Tian ketika mobil sudah melaju memecah keramaian jalanan.
"Mas Tian belum balik ke Jakarta?" balas Irene balik bertanya. Hatinya begitu bahagia mendapat ajakan Tian.
"Aku balik hari Minggu, bagaimana? Mau kan?" harap Tian.
"Iya mas aku mau," sahut Irene malu-malu. "Dengan senang hati mas" batinnya
Deg. "Mengapa wajah malu-malunya menggemaskan sekali?" batin Tian.
"Besok aku jemput jam 10 ya. Biar tidak terlalu pagi dan terlalu siang," ucap Tian ketika mobil yang dikendarainya sudah berada tepat didepan kontrakan Irene yang terlihat sederhana.
"Iya mas. Mas Tian pulangnya hati-hati," ucap Irene ketika Tian memutuskan langsung pulang karena memang hari sudah larut.
Tidak baik dilihat tetangga.
...................
Esok paginya,
"Welcome weekend" ucap Irene sambil menarik kedua sudut bibirnya. Menampilkan gigi putihnya yang berbaris rapi.
Hari ini ia akan bertemu lagi dengan Tian. Ia belum tau akan diajak kemana. Rasanya kemanapun Tian mengajaknya ia akan ikut.
Irene sudah selesai bersiap-siap. Memakai cardigan press body warna peach dipadukan rok jeans warna biru cerah diatas lutut menampilkan kakinya yang jenjang putih. Tidak lupa memakai sandal slop. Membuat penampilannya kelihatan sederhana tapi anggun.
"Aku sudah didepan" bunyi pesan Tian di whatsapp.
"Kenapa aku gugup sekali" gumam Irene lirih sambil berjalan menuju mobil Tian.
Deg. Tian menelan salivanya ketika memandang yang berjalan ke arahnya.
"Melihatnya kenapa yang dibawah jadi tegang sih"? batin Tian. (Sabar ya pak Duda keren) 😜
Ketika membuka pintu untuk Irene,
"Astaga aromanya memabukkan. Tahan Tian tahan" batinnya lagi sambil mengipasi wajahnya.
"Mas Tian kepanasan?" tanya Irene heran melihat tingkah Tian.
"Ahhh.. sedikit" jawab Tian asal kemudian melajukan mobilnya menuju salah satu pusat perbelanjaan.
Diperjalanan,
Tiiiing.
Suara notif ponsel Tian.
"Foto siapa itu di wallpaper ponselnya mas Tian?" batin Irene bertanya-tanya. Karena tadi tanpa sengaja Irene melihat layar ponsel Tian sebelum lelaki itu membuka lockscreennya.
"Apa dia wanita yang diceritakan mas James?" batinnya lagi.
Mendadak hatinya memanas. Tapi tidak tau harus berbuat apa. Karena ia tidak berhak cemburu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments