Brayen Lyansi, merupakan laki laki tampan asal Amerika, meski belum resmi menjadi warga negara Indonesia, namun dirinya menetap di Indonesia. Pekerjaannya berpusat di sini, dan ia cinta negara ini. Mencintai keramahan mereka, yang mudah tersenyum, dan budaya yang kaya. Lelaki itu mencintai perbedaan yang beragam, namun entah lah, perbedaan nya di anggap tabu. Lebih tepatnya cintanya.
Sebenarnya tak ada yang salah dari cinta, namun kepada siapa cinta itu berlabu, apakah kepada orang yang tepat atau bukan. Atau mungkin saja cinta itu berlabuh kepada si pembuat luka.
Disinah brayen berada saat ini, cintanya yang dulu membawa bahagia, kini memberinya luka. Entahlah, mungkin ini karenanya yang mencintai perbedaan, sehingga tak menyadari kesalahan dari perbedaannya. Laki laki itu berkali kali menghela nafasnya, memandang langit malam. Tampak begitu indah, di tambah dengan indahnya kota Jakarta ketika malam hari. Lampu lampu jalanan menyala dengan terang, seolah menunjukkan kemewahan dan keindahan, dari kota Jakarta yang disajikan.
Pemandangan indah itu tak mampu membuatnya tenang, padahal dulu ketika ia merasa gelisah, maka pemandangan malam lah yang membuatnya tenang. Namun kali ini berbeda, tak langit malam, dan tak lampu jalanan yang indah. Semua seolah hanya pemandangan hampa.
Pikiran Brayen terus mengawang mengingat semua perkataan dari Chandra. Bayangan laki laki itu terus melayang di pikirannya. Seolah berlari lari, dan tak akan pernah bisa keluar, laki laki tampan itu segera mengguyar rambutnya, seolah menghilangkan bayangan nakal di pikirannya. Namun bayangan itu semakin nyata, membentuk sebuah ingatan indah uang mereka bentuk, namun ingatan indah itu pun di ikuti dengan kenyataan pahit, yang membentang di hadapannya.
Flashback.
"Kamu sayang beneran sama dia, atau hanya sekedar agar kamu sembuh?" Brayen memandang Chandra dengan seksama, berharap apa yang akan di katakan oleh Chandra memberinya sedikit harapan. Hanya saja jika Chandra memang tak suka lagi kepadanya maka ia harus menerimanya dengan lapang dada, berharap ini lah yang terbaik, namun Brayen tetaplah Brayen, yang butuh kepastian.
"Kalau gue sudah berani melangkah sejauh ini perlukah di pertanyakan?" Chandra tersenyum ke arah Brayen.
Laki laki itu tersenyum kecut, panggilan yang di sematkan oleh Chandra kini berubah. Jika dulu aku kamu, namun kini lo gue. Seolah menegaskan bahwa Chandra telah melupakan hubungan mereka, dan siap menjalankan hubungannya dengan wanita yang di cintai nya, Aliya.
Ya, jawaban ini yang akan paling membuat Brayen sakit, namun juga akan membuat Brayen tegar bahwa cinta Chandra tak ada lagi untuknya. Bukankah Brayen telah berjanji pada dirinya sendiri untuk kuat? Apalagi jika harus menerima kenyataan ini.
Flashback end.
Brayen entah keberapa kalinya menghela nafas, ia tak tahu harus bagaiman, mengadu kepada siapa. Ia hidup sebatang kara di Indonesia, saudara angkatnya entah kemana, hingga kini menjadi buronan. Kedua laki laki yang telah di anggapnya menjadi orang tua juga telah meninggal. Hidupnya kini kembali sendiri, di liputi gemerlapnya kemewahan, dan harta tak mampu membuatnya bahagia.
Hanya senyum palsu yang ia jadikan topeng. Brayen kembali menyesap wine yang tersedia di lemari pendingin miliknya. Lagi lagi dirinya harus kembali di temani oleh wine ini di hari patah hatinya. Yah, wine sebagai teman sejatinya, yang tak akan meninggalkannya kala ia dalam keadaan sedih.
Pandnagan mata Brayen meneliti ke setiap sudut kota yang tampak di kaca besar miliknya. Pandangan ya tiba tiba tertuju kepada sebuah gedung yang cukup dekat dengan gedung apartemennya. Gedung bercat putih biru dengan lambang tambah di gedungnya. Tidak salah lagi itu rumah sakit mewah, rumah sakit tempatnya para orang orang yang sekelas dengannya.
Brayen tiba tiba teringat kartu nama yang di berikan Chandra, Brayen menghela nafas, wanita ini yang membuatnya seperti ini. Namun bukan kah hati bukan tergantung orang lain? Hati di atur oleh diri sendiri.
Ya, Brayen tak pernah percaya akan hati di atur oleh Tuhan. Ia tak memiliki tuhan, bahkan di catatan sipil warga negara Amerika saja dirinya tercatat tak beragama. Orang tuanya ateis, dirinya tak pernah di baptis, apalagi di sunat seperti hal nya yang orang muslim lakukan. Dirinya tak beragama, tak punya pegangan. Tiba tiba ada rasa ingin mengadu kepada orang atau apa saja, tapi ia tak tahu kepada siapa.
Hanya dirinya yang ia percaya, dulu Chandra namun lelaki yang di cintai nya juga telah memilih meninggalkan. Kini tak ada lagi yang bisa ia percaya, hanya dirinya. Ya, hanya dirinya yang tak akan pernah melukai dirinya sendiri.
Brayen segera mengeluarkan kartu nama yang di berikan Chandra, mungkin untuk terakhir kalinya, Brayen membolak baliknya. Brayen menghela nafas, Brayen membaca kembali nama dokter tersebut.
"Juwita," gumam Brayen meletakkan selembar kartu nama tersebut di atas meja samping botol wine yang telah habis.
Brayen kembali melangkah menuju lemari pendinginnya, demi kembali menyesap wine miliknya. Menenangkan pikiran, dan mengalihkan pikirannya sesaat. Meskipun besok akan mengingat nya kembali.
"Chandra," Brayen bergumam ketika botol ketiga telah habis. Lelaki itu terus memandang langit yang sudah tak ditaburi bintang. Cahaya bintang redup oleh temaram lampu malam kota, begitupun hatinya. Hatinya seolah kebas ketika mengingat semua kisahnya.
"Apa aku harus merelakan kalian bahagia? Agh... Aku tak rela," Brayen kembali mengguyur rambutnya yang sudah tak beraturan.
Ingatan Brayen terus melayang ke mengingat kata kata Chandra, yang kini hanya menganggap nya teman baik. Brayen berdecak frustasi, laki laki itu berjalan ke arah naklas, menarik laci kecil, di mana terdapat album fotonya bersama Chandra. Kebersamaan yang akan di rindukannya, namun jika tidak mengakhiri, maka dia sendiri yang akan tersiksa.
Brayen membuka setiap lembaran, kemudian mengusap setiap lembaran foto yang mereka ambil, saat bersama di beberapa tempat. Mereka memang tidak pernah berlibur bersama, namun beberapa hal kerja sama perusahaan mereka, membuat mereka memiliki banyak waktu bersama. Sebelum akhirnya hubungan mereka terhendus oleh tuan Omer dan nyonya Mona.
Kebersamaan mereka semakin berkurang, ketika tuan Omer memperketat segala aktivitas Chandra, hingga memaksa lelaki itu untuk berobat. Dan benar saja kini Chandra sudah menyukai seorang gadis.
Apa ini penyakit? Tapi kami di sana bukan penyakit, ini bukan kelainan, ini hanya perbedaan. Kenapa semua orang di sini mengatakan nya penyakit? Brayen bergumam memandangi foto Chandra dan dirinya.
Brayen memandang kembali lampu jalanan yang tampaknya perlahan redup, seredup hatinya yang kini telah nelangsa. "Cinta? Apa hanya untuk mereka yang normal?"
Brayen segera meraih tabung kecil dari besi, kemudian menghidupkan korek api, dan mulai membakar setiap foto kebersamaan mereka. "Selamat tinggal."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments
Kusii Yaati
ooo...Brayen BL ternyata,nggak papa cukup menarik ceritanya...lanjuuttt
2023-10-30
0
Koesoema Dewi
ngakak
2022-02-03
0
🌈i'm fearlessꨄ︎---🌆💘
pertanyaannya bikin over thinking bgt, emg selama ini gue mikir apakah cinta hanya untuk yg saling melengkapi antara lawan jenis, dan untuk mereka tidak? tapi klo di sana (barat) emg gak dianggap penyakit lg, karna emg udh legal, tapi di Indonesia bkn tentang agama atau relegius nya negara ini, tapi juga tentang "love is love" klo semuanya diperbolehkan, maybe cinta antara ayah dan anak juga bkl diperbolehkan, leluhur kita sdh pas, memberikan Pancasila sebagai dasar negara nkri
2022-01-05
5