Seperti jadwal yang telah mereka atur dan sepakati, Brayen kembali datang ke rumah Juwita. Mereka kembali melakukan pengobatan. Juwita terlihat sangat perhatian dan bersemangat, bahkan beberapa kali berganti ekspresi ketika mendengarkan setiap cerita dari Brayen. Laki laki yang tengah mencari cahaya itupun merasa nyaman, dan menceritakan segala kegiatan sehari harinya sebelum mereka bertemu kepada Juwita.
"Seperti yang sudah 'ku katakan kemarin, kau harus keluar dari kebiasaan 'mu. Akan sedikit sulit untuk 'mu keluar dari kebiasaan itu, namun Haris kau coba. Meskipun itu merupakan kebiasaan yang kau lakukan sejak kecil," Juwita sedikit menjeda kata katanya, dirinya segera menarik nafasnya dalam dalam. Mencoba menangkap netra tajam Brayen. "Kau buruh kesungguhan 'mu untuk sembuh sepenuhnya."
Brayen tampak mengangguk, entah kenapa dirinya seolah terhipnotis melihat mata bulat tersebut, tampak lucu. Tapi ia tak mengerti kenapa, mata itu tampak terus memanggilnya, agar terus di tatap oleh Brayen.
Meski begitu Brayen juga sadar, bahwa dokter cantik di hadapannya ini masih bisa membaca secercah keraguan di hatinya. Membuat dokter itu terus mencoba meyakinkannya.
Setelah melakukan konsultasi Brayen kembali ke apartemennya. Kebetulan saat ini sudah hampir senja, Brayen melakukan konsultasi setelah mereka pulang dari tempat kerja. Agar kegiatan kerja mereka tak terganggu.
Brayen beberapa kali menghela nafasnya, bayangan percakapan dirinya dan Juwita terus merasuk otaknya. Entah kenapa bagian favorit nya terus terbayang. Ya, mata Juwita terus terbayang olehnya. Mungkin itu salah satu kelebihan dari dokter muda tersebut. Pikir Brayen.
"Apa dia punya sihir?" Brayen bergumam, sembari menuju kamar mandi.
Tiba tiba ingatannya bersama Chandra datang, dan menghantui pikiran nya. Kebersamaan mereka, bahkan dirinya mengingat bagaimana mereka dulu pertama kali bertemu. Cintanya kepada Chandra terus mengikis kesungguhannya untuk sembuh. Namun Setelah kenangan manis itu, datang pula kenangan pahit yang menyongsongnya. Kenangan pahit bahwa Chandra kini telah sembuh, dan bersama dengan wanita pilihan orang tua nya.
Atau mungkin kini mereka tengah bahagia bersama, bermesraan, sama seperti dirinya dan Chandra dahulu. Brayen segera menghidupkan kembali kran air dingin, agar menghilangkan kenangan tersebut. Brayen mencoba memejamkan matanya, namun entah kenapa bayangan mata dari Juwita tiba tiba muncul di pikirannya.
"Agh... Da*mn, what happened to your brain Brayen," umpat Brayen, segera membasuh tubuhnya dengan sabun.
Brayen segera menyudahi mandinya, dan segera meringkuk ke tempat tidurnya, hendak menyusun alam mimpinya. Namun tiba tiba kata kata Juwita kembali bermunculan, lengkap dengan bola mata yang menggemaskan tersebut.
"Aghh... Dasar penyihir, apa yang di campurkan nya pada minuman 'ku? Bahakan matanya tak bisa aku lupakan, dasar penyihir," umpat Brayen menyingkirkan selimutnya, dan menendang angin ke segala arah.
Brayen menghidupkan televisinya, entah cenel apa itu, yang penting pikirannya teralihkan, hingga dirinya terlelap di alam mimpi, dengan segala kegundahan hatinya.
......................
Pagi ini seperti biasanya Juwita berangkat ke rumah sakit khusus penderita gangguan jiwa, baik berat maupun ringan. Juwita segera masuk ke ruangannya dan memulai pemeriksaan terhadap pasiennya. Pasien dengan sedikit tingkah lain dari biasanya. Sebuah pekerjaan yang selalu membuatnya bersyukur, karena mampu mengetahui bahwa banyak orang yang tidak seberuntung dirinya. Mengetahui bahwa dirinya sangat beruntung memiliki lingkungan yang sangat baik. Membuatnya beruntung bertemu dengan kakek Rio, Aliya dan Angel. Kedua sahabatnya yang mengerti akan dirinya, dan menyayanginya dengan tulus.
Setelah hampir setengah harian penuh mengurusi pasiennya, Juwita segera menyambar ponselnya, hanya sekedar melihat apakah ada pesan masuk ataupun tidak. Saat membuka ponselnya Juwita sedikit terkejut, keningnya mengerut melihat panggilan masuk dari ibunya. Bahkan kini ponselnya kembali menampakkan panggil ibunya. Juwita segera mengangkatnya dengan malas.
"Halo bu," sebenarnya Juwita sangat malas mengangkatnya, karena sifat dari ibunya, yang pasti menginginkan sesuatu jika menelfon dirinya.
"Halo sayang lagi apa?" Juwita hampir muntah mendengar kata kata manis dari seberang sana.
"Baru saja istirahat," Juwita menjawabnya dengan sekenanya, agar ibunya segera memberitahu, keinginan yang di ingin kan ibunya.
"Oh, ganggu ya ibu sayang?"
'Banget' Ingin sekali Juwita meluncurkan kata kata itu. "Hm..."
"Kamu besok malam ini ada acara ga?"
"Ada janji dengan pasien," ucap Juwita mencoba menghindar dari pertemuan keluarga tersebut. Bukan Juwita tak menyayangi ibunya, namun hatinya terlampau sakit, jika saja bukan karena rangkulan keluarga kakek Rio, yang semua orang menganggapnya keluarga, mungkin saja dirinya sekarang yang menjadi pasien di rumah sakit ini, bukan sebagai dokter.
"Kalau malam?"
"Hm, tidak ada," jawab Juwita.
"Ya udah kita makan malam ya nak, di restoran biasanya, Mama kangen."
Hampir saja tawa Juwita pecah ketika mendengar kata kangen dari mulut ibu yang telah melahirkannya itu.
"Hm, iya bu," jawab Juwita tak ingin memanggil ibunya dengan sebutan mama. Panggilan itu bukan panggilannya, itu adalah panggilan dari adik tirinya yang sombong tak ketulungan itu.
"Jam tujuh malam, ingat dandan yang cantik."
Juwita segera mengakhiri sambungan telfon tersebut, tanpa salam, atau embel embel lainnya. Bahkan sakitnya kembali timbul kala ibunya menelfon. Kenapa tidak dari dulu? Kenapa baru sekarang? Ketika dirinya tak lagi membutuhkan dukungan dari sosok ibu, ketika dirinya tak lagi punya rasa sayang sebesar dulu.
Bohong jika dirinya mengatakan tak menyayangi ibunya. Namun rasa sakit yang di tinggalkan oleh sosok yang harusnya menjadi pelindung, tempatnya bercerita, berbagi kisah sedih itu amatlah perih. Bak belati yang tertancap di relung hatinya yang paling dalam.
Cintanya tertutupi dengan rasa benci, hanya saja rasa hormat kepada orang yang lebih tua, dan melahirkan dirinya yang kini ia pegang. Kakek Rio yang terus menasehatinya, bersamaan dengan kedua orang tua Aliya. Yang juga menyayanginya bak anak sendiri.
Dirinya berada di ambang beruntung dan tidak beruntung. Tidak beruntung, karena ibunya meninggalakan dirinya dan ayah nya di saat susah. Namu juga beruntung, bahkan sangat beruntung. Dirinya bertemu dengan keluarga kakek Rio, yang menganggap dirinya keluarga, bahkan apa yang dikenakan Aliya juga akan ia kenakan. Sehingga orang orang mengira mereka adalah saudara.
Karena kakek Rio yang terus melindunginya, sehingga orang orang tak ada yang berani membicarakan secara terang terangan, meski sebenarnya dirinya juga tahu, bahwa banyak yang tidak menyukainya, bahkan menggosipinya di belakang.
Bahkan mereka terus mengejek Juwita sebagai simpanan kakek Rio, membuat Aliya sempat naik pitam, dan memarahi orang tersebut, hingga anak itu mengalami kesialan buatan Aliya.
Juwita kembali menghela nafas kasar, dirinya segera memesan makan siang untuknya. Tiba tiba Juwita tak berselera, meski hanya berjalan menuju kantin. Demi mengisi perut lebih baik dirinya segera memesan makanan, dan menghabisinya dengan kesendirian lagi.
"Yah Juwita kangen," Juwita menghapus tetesan air matanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments
Conny Radiansyah
Juwita menolong orang yang bermasalah, sementara masalahnya sendiri harus dihadapi sendiri...yang kuat dan sabar Juwita 💪😉
2021-10-04
0
🌸 andariya❤️💚
lanjutkan thor 🥰🥰🥰🥰
2021-09-29
2
🌸 andariya❤️💚
Juwita...pekerjaanmu sungguh mulia👍😍😍😍😍😍
2021-09-29
1