Alaram kencang membangunkan Brayen dari tidur nya, seketika Brayen terduduk, dan mendongakkan kepalanya ke sandaran kasur. Kepalanya masih saja berpura akibat dari sisa mabuknya semalam. Brayen segera berdiri, dan berjalan menuju kamar mandi.
Langkahnya terhenti, ketika melihat kartu nama yang di berikan Chandra kemarin, kartu itu terletak di antara botol botol yang ia minum semalam. Brayen segera berjalan ke arah botol tersebut. Kemudian mencomot kartu nama tersebut. Brayen meletakkannya ke atas naklas, dan melanjutkan niat awalnya ke kamar mandi.
Setelah mandi Brayen segera mengenakan stelan formal, dengan jas hitam yang melengkapi penampilannya. Sungguh mampu membuat para kaum hawa jatuh cinta, hanya dalam pandangan pertama. Laki laki bule itu melangkah meninggalkan unit apartemen nya, untuk kembali ke aktifitasnya. Memasang topeng senyum di wajah nya, dengan sebuah lesum pipi di sebelah kanan, semakin menambah kadar ketampanannya.
Brayen terburu buru ke kantornya, karena pagi ini ada rapat di kantornya, bersama kliennya. Namun karena terburu buru, dirinya hampir menabrak sebuah mobil putih, mobil itu cukup mewah untuk seorang dokter.
Ya, Brayen dapat menebak pengemudi itu adalah seorang dokter. Stelan jas putih, dengan lambang salah satu rumah sakit melekat di dada wanita itu. Chandra membunyikan klakson, dan menurunkan sedikit kaca mobilnya. Meminta maaf atas tindakannya.
Wanita itu tampak tak perduli, karena dirinya juga tampak terburu buru. Wanita itu hanya mengangguk, dan membunyikan klakson mobil, sama seperti yang dilakukan oleh Brayen.
"Uh untung tu mister bule ga marah," umpat wanita itu merutuki kebo*dohannya, karena bangun terlambat hari ini. "Agh... Juwita ayo cepat pasien mu sebentar lagi akan berdatangan."
Brayen baru saja melakukan meeting bersama seorang klien, segera kembali ke dalam ruangannya. "Saya tidak ingin di ganggu hari ini, kalau ada klien penting baru temui saya," ucap Brayen kepada sekertarisnya.
"Iya tuan," wanita itu mengangguk mengerti.
Brayen saat ini tengah termenung di kantornya melihat kartu nama Juwita, seseorang yang membuat mantan pacarnya itu berubah. Brayen menghela nafas panjang dan memandang secara seksama. Brayen sedikit penasaran bagaiman dokter itu dapat merubah Chandra secara drastis? Apa dokter itu semacam melakukan terapi atau apalah itu namanya? Brayen segera mengambil telfon di atas mejanya, dan menelfon seseorang.
"Kosongkan jadwalku hari ini," Brayen segera menutup telfonnya tampa menunggu jawaban dari sebrang sana. Brayen sudah tahu orang yang di sebrang sana pasti akan mematuhi keinginannya, karena di jaman sekarang ini pasti sangat sulit untuk menemukan pekerjaan.
"Enaka sekali jadi bos, perintah sana perintah sini. Kita yang hanya sebatas bawahan harus bersabar, mengatur ulang jadwal. Apa dia fikir berbicara sama klien sombong itu enak apa," gerutu asisten Brayen, kesal karena bosnya seenaknya saja mengosongkan jadwal.
Brayen kembali menghela nafasnya, memutuskan untuk mondar mandir di dalam ruangannya. Cukup lama Brayen berfikir, akhirnya Brayen memutuskan sesuatu, Brayen menyambar jasnya, dan kembali menelfon seseorang. Sedikit lama telfon itu berdering barulah di angkat oleh si penerima telfon.
"Halo apa benar ini dengan dokter Juwita?" Brayen segera berbicara setelah telfonnya di pastikan di angkat.
"Iya ada yang bisa saya bantu?" Juwita terdengar menjawabnya dengan santai namun sedikit tegas.
"Ah bisa saya membuat janji dengan anda?" Brayen sedikit harap harap cemas di buatnya.
"Kapan kira kira?" Juwita kembali bertanya di ujung sana, tak ada nada basa basi di ujung sana, tampak nya dokter tersebut tengah sibuk.
"Siang ini bisa?" Brayen sedikit mengusap tengkuk lehernya.
"Baiklah atas dasar permasalah apa?" Brayen sedikit risih saat hendak menjawab pertanyaan ini, rasanya pertanyaan ini masih terlalu frontal untuknya.
"Hm, saya ingin berobat," dengan sudah payah Brayen menjawabnya, sejujurnya ada sedikit rasa malu saat mengatakan hal tersebut.
"Baik lah, langsung saja saya kirimkan alamat saya nanti, anda bisa langsung ke rumah saya," Juwita sepertinya tahu sesuatu dari nada bicara Brayen, sehingga menawarkan untuk bertemu saja di rumahnya. Hal tersebut membuat Brayen bernafas lega, karena ia tak perlu pusing pusing dalam hal sesi berbicara dan curhat kepada Juwita.
"Baiklah terimakasih, maaf mengganggu waktu anda," Brayen sedikit tersenyum ketika mengatakan hal tersebut.
"Baiklah sampai jumpa," Juwita segera menutup panggilan telfonnya di ujung sana, membuat Brayen menghembuskan nafas kasarnya.
"Terdengar tegas dan cuek juga tu dokter, to the point," gumam Brayen sedikit memijat kepalanya. "Aku penasaran bagaiman penjelasan dokter itu tentang diriku."
Sementara Juwita yang baru saja menutup telfonnya tersenyum, tampaknya dirinya tahun ini akan benar benar mengambil cutinya, karena tampaknya uang untuk berlibur di tempat impian dengan almarhum ayah nya hampir terkumpul. Dengan adanya pasien pribadi, akan menambah pemasukan lebih banyak, karena itu Juwita lebih suka membuka praktek pribadi, dengan menghadapi secara langsung tanpa perantara pihak rumah sakit.
Juwita segera meminta suster untuk memanggil pasien selanjutnya, kali ini Juwita sangat bersemangat. "Ayah Juwita akan ke tempat impian kita, tak lama lagi yah."
Kebetulan sekali hari ini Juwita hanya sampai siang hari, karena sore harinya Juwita memang akan menemui kakek Rio, untuk bertegur sapa. Sudah lama dirinya tidak menemui kakek kesayangannya itu. Namun tampaknya ia harus menunda dahulu, karena ada pasien yang ingin bertemu dengannya.
......................
Brayen saat ini telah datang ke tempat alamat yang telah di kirim oleh Juwita, Brayen segera memarkirkan kendaraannya, di dalam pagar Juwita. Di sambut oleh asisten rumah tangga Juwita.
"Selamat siang pak, silahkan duduk, apa yang di keluhkan?" Juwita segera mempersilahkan Brayen untuk duduk di sofa ruang tamu miliknya.
"Saya sebenarnya ingin bertanya, apakah penyimpangan seksual itu termasuk penyakit?" Brayen segera bertanya, tak ingin omongan mereka belok ke sana ke mari, karena terlalu banyak barbasa basi.
"Benar pak, karena pada nalurinya seseorang akan tertarik kepada lawan jenisnya," Juwita sedikit tersenyum, dari gelagatnya tampaknya laki laki ini penyandang penyimpanan seksual.
"Jadi?" Brayen ingin di perjelas lagi penjelasan dari Juwita. Menurutnya itu tidak mungkin, sejak kecil ia sudah terbiasa melihat hal seperti ini.
"Jadi itu termasuk penyakit yang bisa di sembuhkan jika pasiennya bersedia, sementara penyebabnya itu banyak, seperti pergaulan, lingkungan, trauma dan banyak lagi. Jadi bapak kenapa? Apa yang menyebabkan bapak seperti ini?" Juwita segera bertanya, meski Brayen tak memberitahunya secara gamblang, namun Juwita sudah cukup mengerti dengan hal tersebut, Juwita dapat melihatnya dari gerak gerik Brayen.
Brayen mengerutkan keningnya, dirinya kagum bahwa dokter di hadapannya ini dapat menebak keadaannya. Padahal sejak tadi dialah yang membentuk pembicaraan ke arah tersebut. Dan Juwita tentu saja dapat mengerti arah pembicaraan mereka, terlebih mereka baru kenal, dan tentu saja mereka tidak datang untuk bergosip.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments
Conny Radiansyah
sangat tegas Juwita
2021-10-03
0
🌸 andariya❤️💚
Brayen semoga kamu cepat sembuh ya...dgn berobat k dokter Juwita ☺️😍😍😍😍😍❤️❤️❤️❤️💚💚💚💚
2021-09-28
2
🌸 andariya❤️💚
keren kak....👍👍👍👍👍🥰🥰🥰🥰🥰
2021-09-28
2