"Begini, saya tumbuh dan besar di Amerika, di besarkan dengan sepasang gay, saya sudah terbiasa melihat hal tersebut, hingga akhirnya saya datang ke Indonesia," Brayen segera bercerita kepada Juwita, tentang awal ia mulai melakukan penyimpangan.
Juwita menghela nafas panjang, sepertinya akan sulit melakukan hal tersebut, karena Brayen sudah terbiasa sejak kecil, ini di sebabkan oleh lingkungan, maka akan lebih sulit, karena ini sudah seperti kebiasaan.
"Oh jadi begitu? Baik lah jadi tujuan bapak ke sini untuk berobat?" Juwita memandang wajah lelaki yang sepertinya hanya berbeda beberapa beberapa tahun di atasnya.
"Ah tidak usah pakai bapak," Brayen mulai merasa risih karena di panggil bapak oleh Juwita.
"Oh jadi di panggil apa? Soalnya saya lupa nanya nama anda," Juwita sedikit tidak enak, karena lupa menanyakan nama dari calon pasiennya.
"Ah panggil saja Brayen," Brayen tersenyum ke arah Juwita.
"Ok Brayen."
Setelah sekian lama mereka berbincang, tiba tiba pintu rumah utama terbuka, membuat Juwita segera memandnag ke arah pintu. Siapa lagi kalau bukan Aliya pelakunya, hanya manusia itu yang berani masuk ke dalam rumah Juwita tampa permisi.
"Yu hu, assalamualaikum princess Sofia datang," Aliya datang dengan lantang seolah itu rumah sendiri.
"Eh Al, Chandra kalian di sini," Juwita segera memanggil kedua tamu tak tahu malunya.
Seketika Brayen menegang, Brayen lupa kalau kartu nama Juwita berasal dari Chandra, tapi kenapa harus bersamaan seperti ini?
"Eh iya, ada tamu ya?" Aliya merasa tidak enak.
"Iya, kenalin Brayen," Juwita tampa curiga segera memperkenalkan mereka.
"Eh, loh Brayen," Aliya sedikit salah tingkah melihat mantan pacar calon suaminya.
"Kalian kenal?" Juwita semakin bingung.
"Iya," kata Chandra santai.
"Dia mantan saya," bisik Brayen kepada Juwita.
"Yang mana?" tanya Juwita.
"Chandra," jawab Brayen.
"Hah beneran? Wah takdir nih," Juwita bersorak tak percaya.
"Iya tidak apa apa, dia yang menyarankan saya ke sini," Brayen segera menjelaskan kepada Juwita.
"Oh," Juwita segera ber oh ria karena telah mengerti.
"Hay Brayen, di sini juga ya? Yang sabar ya sama dia, soalnya emang kadang sedikit kejam dianya," Aliya mencoba mencairkan suasana yang tiba-tiba membeku.
"Gue ga kejam ya," Juwita protes dengan ucapan sahabatnya.
"Idih ngelak pula," Aliya menatap sinis ke arah Juwita.
"Brayen tolong jangan di dengarkan ya," Juwita segera meminta Baren untuk tak mendengarkan Aliya.
"Idih bisa gitu ya?" Aliya segera memutar matanya malas.
"Bisa lah," jawab Juwita dengan gaya yang sama pula. Tampa sengaja Aliya melihat Brayen memutar pulpen di tangan sebelah kirinya.
"Eh ngomong ngomong lo kidal ya?" Aliya segera mengalihkan perhatiannya.
"Iya, tapi ga kidal kidal amat, bisa juga kok nulis pakai tangan kana," Jawab Brayen tersenyum ke arah Aliya.
Sejujurnya Brayen masih canggung bertemu dengan Chandra, terlebih rasa cintanya masih tersisah, bahkan masih terlampau banyak untuk di bilang sisah. Namun Brayen tetap memilih untuk berpura pura seolah santai ketika berbincang dan menjawab pertanyaan dari Aliya.
Juwita yang melihat ketegangan dari Brayen segera menggenggam tangan Brayen, memberikan kekuatan. Karena menurut nya, genggaman tangan dari seseorang mampu memberikan sebuah kekuatan, dan ketenangan ketika sedang gelisah maupun tertekan.
Brayen yang merasakan genggaman tangan Juwita, sontak saja merasa hangat, Brayen seolah mendapat kekuatan, untuk menguatkan dirinya.
Mereka berbincang banyak hal, Brayen bersyukur ada Juwita di sampingnya. Dokter itu mengerti keadaan dirinya sehingga memberikan ketenangan yang memang di butuhkan saat ini.
Aliya memang orang yang aktif, namun saat dirinya berlonjak Chandra segera menarik pinggang Aliya, hingga akhirnya Aliya kembali terduduk. Brayen yang melihat hal tersebut hanya tersenyum kecut, ternyata cinta Chandra sudah benar benar untuk gadis ceria yang ada di hadapannya.
Juwita kembali menyadari ekspresi Brayen, segera mengeratkan tautan tangannya, memberi usapan lembut di sana, seketika perasaan Brayen kembali tenang.
Sungguh laki laki itu tak mengerti kenapa dia bisa sepercaya itu kepada dokter yang baru saja di temui nya, bahkan dirinya mungkin baru dua jam saling bertemu muka, dan berbincang. Namun sudah ada ketenangan di sana.
Diam diam laki laki itu melirik wajah Juwita, yang sekali kali menanggapi candaan dari Aliya. Bahkan Juwita kerap kali membuat Aliya cemberut, karena Juwita dengan senang hati membantah kata kata Aliya. Tanpa laki laki itu sadari, kini tangannya juga ikut menggenggam erat tangan dokter cantik tersebut. Ada perasaan hati dan rasa bersandar ketika melihat wajah dokter muda tersebut.
Mungin saja itu karena dokter muda tersebut, adalah dokter yang akan menanganinya. Dan dokter tersebut juga telah mendengar semua cerita tentang masa lalunya. Mungkin hal itu yang membuatnya nyaman. Atau karena dirinya tiba tiba merasa ada tempat untuk menceritakan semua keluh kesahnya?
Brayen tak ingin menambah beban pikirannya, anggap saja salah satu dari itu alasannya. Namun yang jelas dirinya kini merasa punya tempat untuk bercerita, dan mendengarkannya dengan baik. Brayen tiba tiba merasa tidak sendirian lagi.
Setelah puas bercerita banyak hal, Aliya dan Chandra segera pamit kepada Brayen dan juga Juwita. Chandra segera menyalami Brayen. Membuat Juwita dan juga Aliya menegang.
Chandra mendekatkan dirinya kepada Brayen, yang ikut mengantar dirinya keluar. "Semoga cepat sembuh, gue do'a_in supaya lo dapat wanita yang baik, yang akan mendengar semua keluh kesah lo, tanpa membandingkan masa lalu kita."
Brayen hanya mengangguk, entah kenapa saat Chandra mengatakan hal tersebut, ekor mata Brayen secara refleks memandang ke arah dokter cantik, yang tengah tersenyum ke arahnya. Seolah memberi kekuatan, agar Brayen tetap bisa kuat.
All is well, Brayen justru mengartikan tatapan dan senyum Juwita begitu. Entah mengapa dirinya hanya yakin saja.
Setelah mobil yang di tumpangi Chandra dan juga Aliya keluar dari pagar Juwita, mereka segera masuk kembali, melanjutkan perbincangan tadi. Karena tak mungkin Juwita tetap membicarakan tentang masalah pasiennya di hadapan Chandra dan juga Aliya. Itu sama saja mempermalukan pasiennya. Itu melanggar kode etik dirinya sebagai seorang dokter.
"Hm, jadi ini konsultasi pertama sudah di lewati ya," kata Juwita tersenyum ke arah Brayen. "Apa mau di teruskan?"
Juwita mampu melihat keraguan di mata Brayen. Juwita mengerti dan faham betul hal tersebut, pasti tak mudah bagi laki laki itu untuk keluar dari kebiasaannya.
"Hm, tapi saya masih ragu," benar saja dugaan Juwita, Brayen masih ragu dengan hal tersebut.
"Itu wajar, karena anda pasti akan keluar dari kebiasaan lama anda, semua butuh proses dan penyesuaian," Juwita tersenyum memberi semangat ke arah Brayen. Menghadapi Brayen yang datang sendiri ke sini, lebih mudah dari pada menghadapi Chandra yang di paksa oleh orang tuanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments
Conny Radiansyah
semangat Brayen
2021-10-03
0
🌸 andariya❤️💚
next kak🥰💪💪💪💪💪
2021-09-29
2
🌸 andariya❤️💚
semangat Brayen 😂😂
2021-09-29
2