Tak Ada Kecanggungan

Selesai siap-siap, Ustadzah Rani terpukai melihat Qianzy memakai gamis biru muda yang cantik dan juga jilbab yang rapi. "MasyaAllah, kamu cantik sekali, Qianzy." puji Ustadzah Rani. 

"Nggak aneh, 'kan? Ini baru untukku, jadi akhirnya harus banyak belajar, Kak," ucap Qianzy. 

"Kamu cantik, hatimu juga baik sekali. Kamu menghormati orang di sini dengan memakai jilbab yang tertutup semua seperti ini. Padahal, ini juga hal baru untuk kamu, kamu hebat!" sanjung Ustadzah Rani. 

Dengan menatap Ustadzah Rani, membuat Qianzy teringat akan Mbak Lia. Keduanya sangat mirip ketika bicara, selalu memuji dirinya meski itu adalah hal kecil yang dilakukannya. 

"Mari, saya antar kamu keliling. Semoga kamu betah ya tinggal di sini." ajak Ustadzah Rani dengan ramah. 

Pesantren itu mungkin tidak sebesar pesantren yang sudah terkenal dimana-mana. Namun, jumlah para santri yang mondok di sana lumayan cukup banyak. Bangunan pesantren itu juga sudah banyak yang baru, karena perkembangan zaman. Abid sendiri mengelola pesantren itu dengan baik, sehingga membuat para santri nyaman tinggal dan menganyam ilmu di sana. 

"Assalamu'alaikum, Ustadzah," salam beberapa santri jika bertemu dengan Ustadzah Rani. 

"Set dah! Ternyata dia adalah Ustadzah?" batin Qianzy.

"Ampun dah, mana dari tadi gue manggilnya Kakak mulu pula. Jadi nggak enak kan gua kalau begini. Kenapa sih dia nggak bilang aja kalau dia itu Ustadzah!" umpatnya. 

Sampai pada akhirnya, langkah kaki mereka terhenti di sebuah kebun sayuran di samping pesantren kawasan santri putri. Mereka duduk manis dan Ustadzah Rani mulai bercerita tentang pesantren. 

Qianzy takjub dengan Kakaknya yang mampu mengelola pesantren dengan santri sebanyak itu sampai dirinya belum menikah sampai saat ini. Ustadzah Rani juga mengatakan bahwa Abid belum akan menikah jika dirinya belum bertemu dengan adik kandungnya. 

"Jadi selama ini Mas Abid tahu, kalau dia punya adik?" tanya Qianzy. 

"Kok, masih dipertanyakan, sih? Kan memang seharusnya tau, waktu kamu lahir beliau saja usianya sudah 11 tahun," jawab Ustadzah Rani.

"Tapi kenapa mas Abid nggak pernah mencariku?" lanjut Qianzy mulai pertanyaan yang sudah ia simpan sejak pertemuan pertama dengan kakaknya.

"Kamu salah jika beranggapan Mas kamu enggak pernah mencari kamu. Saya pernah kok mendengar beliau sakit karena gagal menemui adiknya karena orang tua kamu selalu berpindah-pindah tempat tinggal," ungkap Ustadzah Rani. 

"Terakhir, beliau mendapat kabar kalau kamu dan orang tua kamu tinggal di kawasan perumahan orang keturunan Tionghoa. Ketika hendak berangkat, beliau malah kecelakaan. Akhirnya nggak jadi,"

Sampai pada akhirnya, Abid mendapat kabar kalau orang tua angkat adiknya meninggal dunia dalam kecelakaan. Dengan susah payah Abid mengirim salah satu orang kepercayaannya untuk mengungkapkan segalanya saat itu.

Mendengar Qianzy pingsan, membuat Abid begitu terluka. Sehingga, Abid tidak lagi menginginkan Qianzy tahu semuanya lebih dalam, atau pun mengharapkan Qianzy pulang kalau bukan dia sendiri yang akan pulang meski dirinya ingin sekali adiknya pulang.

"Tak ada salahnya jika aku membuka hati untuk Mas Abid. Sebagai seorang kakak, dia sangat menakjubkan sekali. Aku harus membalas kasih sayangnya, harus!" batin Qianzy. 

Hanya saja, Qianzy masih sulit untuk menerima Abis sebagai kakaknya. Selama ini, yang ia tahu dirinya adalah anak tunggal dan tidak memiliki keluarga lain lagi. Namun, Qianzy mampu menyingkirkan egonya itu dan ingin mencoba yang terbaik ketika tinggal di pesantren. 

----~~~

Malam hari, Qianzy begitu kesepian di rumah. Abid selalu menghabiskan waktu di masjid setiap harinya. Abid hanya akan pulang ketika akan mandi dan makan saja. Setelah itu, kegiatannya hanya akan dilakukan di pesantren. 

"Haih, sumpah aku bosan sekali. Ponselku juga sepi banget. Dasar nasib nggak punya temen!" keluh Qianzy terus mondar-mandir di ruang tamu. 

"Mas Abid ini, udah tau adiknya baru saja pulang. Kenapa pula masih harus sibuk di masjid, sih?" lanjutnya dengan hati yang semakin kesal. 

Menurutnya, ia akan menggunakan kesempatan itu dengan memakai celana pendek dan juga kaos lengan buntung saja. Seorang Qianzy memang belum bias terbiasa memakai pakaian panjang apalagi harus dipakai dalam waktu 24 jam selama ia tinggal di pesantren. 

"Haih, gini kan lebih enak. Nggak gerah-gerah amat. Cus maskeran biar wajah tetap glowing!" seru Qianzy duduk santai di ruang tamu dengan sibuk mengaduk masker organiknya. 

Tak selang berapa lama Qianzy selesai memakai masker organiknya, Abid pulang dan melihat tingkah adiknya itu. Betapa kagetnya Abid melihat Qianzy memakai pakaian seksi dan juga memakai masker berwarna cokelat tanah. 

"*** … Astaghfirullah hal'adzim. Apa yang kamu lakukan ini, Qian?" tanya Abid menutup matanya seraya berputar membelakangi adiknya. 

"Astaga Mas, biasa aja kali. Aku ini kan adikmu, tak mungkin kau akan ***** melihatku dengan pakaian seksi ini, bukan?" keluarlah sifat asli Qianzy yang super pecicilan. 

"Benar kau adikku. Tapi ini sangat canggung sekali, Qianzy. Kita juga tidak tumbuh bersama dan ini sangat membuatku tak nyaman," tegur Abid. 

"Aku gerah, Mas. Aku juga belum terbiasa memakai gamis, rok ataupun jilbab." rengek Qianzy seperti anak kecil. 

Abid menghela nafas panjang seraya beristighfar. Lalu memberi saran kepada adiknya itu untuk memulai semuanya melalui proses sederhana. Abid mengizinkan Qianzy memakai celana panjang untuk keseharian di rumah. Abid juga mengizinkan Adiknya itu untuk tidak memakai jilbab di rumah. Namun, Abid meminta Qianzy memakai celana longgar ketika keluar rumah, atau memasuki pesantren. 

"Yah, kalau celana longgar aku hanya punya 2 biji saja. Masa iya cuci, jemur, kering, lalu dipakai lagi, begitu?" protes Qianzy.

"Besok Mas akan mengantarmu ke pasar atau tempat lainnya untuk kamu membeli celana longgar itu. Tapi malam ini, pakailah celana panjangmu dulu, Qianzy," tutur Abid. 

"Oho, aku adikmu loh. Tak mungkin aku membuatmu bergairah, Mas Abid!" seru Qianzy masuk ke kamarnya. 

Abid hanya tertawa menanggapi Qianzy. Ia juga masih memaklumi jika adiknya belum terbiasa memakai pakaian muslimah. Terlebih lagi, Qianzy memang bukan orang muslim saat ini. Abid menelpon santri lain untuk mengantarkan makanan yang porsinya lebih banyak dari sebelumnya malam itu. Mengingat sang adik juga suka sekali dengan gorengan, Abid juga meminta pihak dapur untuk membuatkan berbagai jenis gorengan untuk dikirim ke rumahnya. 

"Banyakin mendoannya, ya. Qianzy sangat suka mendoan soalnya. Jangan lupa buatkan sambal terasi juga, ya."

"Njeh, Ustadz. Mboten dangu maleh sampun siap." (Ya, Ustadz. Tidak lama lagi sudah siap)

Sambil menunggu santri itu membawakan makanan, Abid sibuk dengan urusan pesantren karena seseorang yang sangat dipercayainya belum pulang dari luar kota. Sementara itu, Qianzy keluar dengan wajah yang masih penuh dengan masker warna cokelat tanahnya, sehingga membuat Abid kembali tertawa dibuatnya.

Terpopuler

Comments

Leli Noer Octavia

Leli Noer Octavia

ya ampun ngakak karena tingkah qias, apalagi ustadz abid 😆😂👍🏻

2022-09-08

0

Umi Fuadah

Umi Fuadah

ya ampun kasian tahu adiknya di ketawain mulu 😁🤣🤣

2022-03-01

1

AdeOpie

AdeOpie

kaka' nya ngetawain adek'nya mulu 🤣🤣

2021-11-23

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!