Tiba Di Pesantren

"Apa ini pesantrennya? Luas banget ih," gumam Qianzy takjub.

Gerbang memang terbuka, tapi Qianzy tak melihat satupun santri yang berlalu lalang di sana. Qianzy mencoba menghubungi Bik Rahma, menanyakan kenapa kakaknya belum menyambut kedatangannya. Belum juga Qianzy memencet tombol panggil, seorang lelaki bertubuh tinggi, putih dan juga sangat mirip dengannya memanggil namanya. 

"Qianzy …?"  

Wajah mereka memang hampir mirip. Berbalut busana muslim, Abid tersenyum manis kepada Qianzy. Di sampingnya, berdirilah banyak santri putri maupun putra yang ikut andil menyambut kedatangan Qianzy. 

"Qianzy, itukah kamu? Ini Mas-mu, Qian," ucap Abid dengan nada yang membuat hati Qianzy bergetar. 

"Aku memiliki seorang kakak? Aku memiliki seorang kakak yang langsung mengulurkan tangan diwaktu pertama kali pertemuan?" hati Qianzy semakin bergejolak ketika Abid mengulurkan tangannya kepadanya. 

"Kak, em bukan. Mas Abid? Mas Abid, kakak kandungku?" suara Qianzy terdengar gemetar.

Abid mengangguk, Qianzy pun berlari memeluk Abid. Memang sangat aneh jika seusia itu mereka saling berpelukan di depan umum. Apalagi, selaku Kyai dan pemilik pesantren, itu tidak mungkin Abid lakukan. Namun, keduanya memiliki ikatan batin yang kuat, sehingga tidak ada timbulnya hawa ***** diantara mereka.

"Mas--"

"Stt, kita masuk dulu. Kamu juga pasti lelah, bukan? Ayo, kita masuk dan bercerita di dalam rumah," Abid begitu perhatian. 

"Tolong, bawa barang-barang Qianzy ke rumah, ya. Dan yang lainnya, lakukan aktivitas kalian. Assallamu'alaikum warahmatullahi wabbarokatuh," salam Abid. 

"Wa'alaikumsallam warahmatullahi wabbarokatuh."

Pertemuan antara Qianzy dan Abid memang masih baru. Namun, keduanya berusaha bisa menerima keadaan yang sangat tiba-tiba itu. Masih sangat membekas ingatan Abid saat menyambut lahirnya Qianzy 19 tahun lalu. 

Usianya masih 11 tahun, namun tak pernah melupakan bahwa dirinya memiliki seorang adik cantik yang diadopsi oleh sepasang suami istri berdarah Tionghoa. 

"Alhamdulillah, ini rumah Mas. Semoga kamu betah ya tinggal di sini," ucap Mas Abid menunjukkan rumah joglo yang sangat indah di pandangan mata Qianzy. 

"Wah, rumahnya unik banget, Mas. Asri juga suasananya. Bakal betah nih tinggal di sini!" seru Qianzy. 

Abid malah tertawa melihat jilbab Qianzy yang miring. Sangat jelas jika Qianzy belum terbiasa mengenakan jilbab. 

"Hey, kenapa Mas ngetawain aku? Hih, pasti jilbab ini, 'kan? Aaa aku belum terbiasa Mas, jangan ngetawain aku, dong!" kesal Qianzy dengan pipinya yang menggebu. Membuat Abid malah semakin keras menertawakan sang adik.

"Ihh … Mas jahat! Aku ngambek, aku nggak mau makan pokoknya, Mi!" keceplosan Qianzy memanggil sang Mami dalam emosinya. 

Abid langsung mengentikan tawanya. Kemudian meminta maaf karena sudah membuat Qianzy bersedih dan mengingat orang tuanya yang baru saja meninggal.

"Maafin Mas, ya … Mas sudah--" 

"Santai aja kali Mas. Aku baik-baik saja, kok. Tolong ajari aku dalam belajar agama, ya. Sejak kecil, aku belum pernah mengaji soalnya," potong Qianzy sebelum kakaknya merasa semakin bersalah.

Abid telah menyiapkan kamar yang rapi untuk Qianzy tinggali. Membiarkan Qianzy beristirahat dan menikmati suasana di pedesaan yang baru ia tinggali. Sementara Abid meminta izin ke masjid untuk salat jamaah, karena waktu sudah memasuki waktu dzuhur.

Qiazny sendiri sedang sibuk di kamarnya. Ia terlupa saat itu malah membawa dupa dan menyalakannya untuk mendoakan orang tua angkatnya. 

"Astaga, aku ini kenapa? Bisa-bisanya membawa dupa dan persembahan lainnya ke mari. Jika Mas Abid sampai tau--"

"Tapi, memang saat ini … aku belum menjadi seorang muslimah. Tak apa mungkin kali ya kalau aku doakan Mami dan Papi dengan cara seperti ini?" gumamnya.

Ketika Qianzy melakukan doa, ada seorang perempuan yang mencarinya. Dia adalah seorang ustadzah yang dimintai tolong Abid untuk menemani Qianzy sebentar. Namanya adalah Rani Astuti, atau sering dipanggil dengan sebutan Ustadzah Rani. Usianya sudah terbilang dewasa, 26 tahun dan belum menikah karena masih betah berbagi serta mencari ilmu di pesantren itu. 

"Assalamu'alaikum," salamnya. 

Sudah tiga kali ustadzah Rani memberi salam, namun tak kunjung dijawab oleh Qianzy. Akhirnya, ustadzah Rani memberanikan diri masuk dan terkejut melihat Qianzy sedang sembahyang. 

Penghormatan leluhur yang sering disebut dengan sembahyang ternyata memiliki makna tersendiri.

Mengutip buku “Hari-Hari Raya Tionghoa” yang ditulis oleh Marcus AS terbitan Suara Harapan Bangsa, orang Tionghoa memiliki sebuah pepatah yang berbunyi sebagai berikut:

“Jika kita minum air, maka kita harus selalu ingat kepada sumbernya,”

Berdasarkan pepatah tersebut, jika menyukai kehidupan manusia maka kehidupan yang kini dijalani tidak akan ada jika tidak berasal dari leluhur.

Oleh karena itu, manusia harus tetap mengingat dan bersyukur akan kehidupan yang dijalani dengan menghormati leluhur.

Leluhur tidak melulu tentang kakek dan nenek moyang. Leluhur dalam kepercayaan orang Tionghoa mencakup keturunan yang lahir sebelum orang tersebut, termasuk ayah dan ibu. Akan tetapi, sembahyang biasa dilakukan untuk menghormati mereka yang sudah meninggal.

Umat ​​Konghucu dan Buddha tidak percaya bahwa ada kehidupan lain setelah kematian. Inilah yang juga menjadi alasan mengapa adanya sembahyang leluhur. 

Ustadzah Rani tetap menunggu sampai Qianzy selesai melakukan sembahyang. Selesai sembahyang, Qianzy yang sedari tadi sudah tahu keberadaan Ustadzah Rani pun menyapanya. 

"Maaf, kamu siapa, ya?" tanya Qianzy memakai kembali jilbabnya sebagai bentuk penghormatan. 

"MasyaAllah, adiknya Ustadz ternyata sangat mirip dengan beliau. Tapi sayang, mereka memiliki keyakinan yang berbeda," batin Ustadzah Rani. 

"Hey, kakak ini siapa?" tanya Qianzy kembali, karena Ustadzah Rani terlihat tidak fokus. 

Ustadzah Rani memperkenalkan diri. Ia juga mengatakan bahwa dirinya diutus oleh Abid untuk membawanya keliling memperkenalkan diri kepada santriwati lainnya. 

"Um, sebenarnya aku ini kan agnostik. Aku percaya adanya Tuhan, tapi aku tidak menganut kepercayaan manapun," jelas Qianzy, takut Ustadzah Rani akan salah paham. 

"Kepercayaan orang ya hanya orang itu yang memutuskan. Jika tidak lelah, saya ingin mengajak kamu jalan-jalan sebentar di pesantren," tutur Ustadzah Rani. 

"Boleh, Kak. Gue, eh aku tak siap-siap dulu. Kalau boleh tau, kamar mandinya di mana, ya?" 

Ustadzah Rani tertawa dengan bahasa yang digunakan Qianzy. Ia juga belum tahu betul dimana letak kamar mandi di rumah itu, karena tidak pernah masuk lebih dalam. Ustadzah Rani membantu Qianzy menemukan kamar mandi dan menunggunya di ruang tamu. 

Pesantren itu bernama Pondok Pesantren Mamba'ul Hissan. Terpanjang jelas di depan gapura masuk. Memang tak besar, namun cukup banyak yang nyantri di sana.

Terpopuler

Comments

Leli Noer Octavia

Leli Noer Octavia

terima kasih kakak author sudah menjabarkan tentang pemahaman tentang tionghoa.terutama dalam ajaran di dalamnya, nambah ilmu baru 👍🏻❤️

2022-09-08

0

Mia Ijaya

Mia Ijaya

aku suka yg religi

2022-04-06

0

Dyaz StyoktaRatnowati

Dyaz StyoktaRatnowati

masyallah tabakarallah.. makasih ya mba... banyak ilmu yg qu dapat dri novel2 mu.. teruskan nulisnya mba.. srlesaikan novel sebelumnya dlu ya... qu sllu mengikuti novel2mu yg berbau islami2... itung2 cari ilmu... love you 😍😘😘

2021-08-15

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!