Rencanaku untuk malam ini gagal total. Sudah jauh - jauh hari aku bersama sahabat - sahabat SMA ku mau jalan bareng belanja belinji ke Grand Indonesia dan di tutup dengan nonton film di CGV.
Sampai setengah jam yang lalu, grup whatsapp Tim Nyengir yang isinya tujuh manusia rempong dari jaman SMA masih ribut. Saat ini grup whatsapp kami sudah sepi karena filmnya mungkin sudah mulai dan aku masih tertahan di kantor.
Sekarang saja sudah pukul 8.00 dan semua teman sedivisiku sudah pulang. Ketiganya tidak mau berlama - lama, begitu disuruh Mas Malik untuk pulang, mereka lantas buru - buru kabur. Takut Mas Malik berubah fikiran atau ada tugas tambahan kalau masih terlihat Tuan Muda itu.
Telepon yang ada di mejaku berbunyi. Siapa lagi coba yang menelepon kalau bukan Mas Malik? Pasti dia mau memerintah lagi.
"Rachel, kamu keruangan saya sekarang." Tuh.. kan, bener.. kan?
Aku pun keruangannya dengan tampang kurang bersemangat. Mana enak lembur cuma berdua dengan si bos, ye kan?
"Tunggu sebentar ya," kata Mas Malik, ketika aku sudah ada di depan mejanya. Tuan Muda Malik kembali menatap mesra ponselnya sambil mengetikkan sesuatu. Awas aja kalau dia malah masih kirim pesan ke wanita idamannya. Aku pun berdehem, untuk membuat kode kalau aku enggak suka lama - lama tanpa kejelasan diruangannya.
"Tolong kamu cek di file atas nama PT Dami Resto. Kamu lihat permainan warnanya dari tahun awal sampai yang tahun lalu. Pastikan ada perwakilan warna yang berbeda dari tiap tahunnya," perintah Mas Malik. Aku kembali berdehem dengan suara yang terdengar nyebelin. Eits.. Mas Malik langsung menatap aku dengan wajah keselnya.
"Tapi Mas, saya tidak bisa membuka file itu kan? Harus melalui IT. Mereka semua sudah pulang," ujarku seakan menolak secara halus kalau tugas itu harus dikerjakan saat ini juga. Sudah tiga hari aku pulang larut malam karena ngerjain tugas dari Mas Malik, dan rencana refreshing hari ini berantakan.
"Kamu yakin, tim IT sudah tidak ada di ruangannya semua? Kamu sudah cek?" Okay, aku salah, karena sok tahu. Dari kalimatnya Mas Malik memang tidak mau dibantah.
"Sudah Mas, itu saja ada lagi yang lain nggak?" tanyaku nantangin. Mas Malik memang bos yang menyebalkan!
"Apa lagi ya?" tanyanya balas nantangin aku. "Itu saja dulu deh. Kamu pastikan file yang saya minta ada ya. Kamu sudah mengganti jenis hurufnya kan? Sama warna yang beda tipis itu?"
"Sudah Mas."
"Ya sudah kalau gitu. Kita lanjutkan besok pagi saja." Mas Malik bicara dengan wajah datarnya.
Rasanya aku langsung mendapatkan ekstra oksigen. Ini sesuatu yang melegakan, seakan aku sedang ngemut permen mint. Kebayang sudah suasana mol, yang meskipun sudah malam masih bisa aku kunjungi.
Tanpa babibu fasfisfus, aku langsung pamit dan keluar ruangan Mas Malik, menuju kibikelku. Aku segera nge-save semua yang sudah aku kerjakan dan mematikan komputer, sambil membereskan semua yang ada di meja.
Dengan kecepatan super aku langsung melesat ke tangga turun, dan duduk diteras kantor sambil booking taksi. Dalam bayanganku aku masih bisa main ke Grand Indonesia. Lumayan lah, meskipun cuma ngopi.
Saat aku sedang sibuk dengan ponsel, Mas Malik pun duduk di bangku teras, tidak jauh dari tempatku duduk.
"Pulang juga Mas?" tanyaku membuka percakapan setelah angin bahagia dia berikan dengan mengizinkan pulang cepat walaupun lembur.
"Kamu kalau enggak mau ngobrol, lebih baik diam saja. Saya enggak masalah kok. Lagian sejak kapan saya suka nginap di kantor?"
Dih! Sakit jiwa kan? Sudah bagus aku berusaha ramah, malah nyinyir jawabnya. Aku lantas kembali sibuk dengan ponselku. Bookingan taksi dari tadi belum ada yang nyangkut.
"Kamu mau pulang?"
"Mungkin," jawabku dengan tetap memandang ponsel. Mohon maaf nih, boleh lah bales kelakuannya yang ngeselin walaupun dikit.
"Dijemput?"
"Nggak, naik taksi."
"Jam segini naik taksi?" Mas Malik terdengar kaget.
"Sudah biasa kok Mas, kalau lembur saya naik taksi. Dua hari lalu malah dinihari pesan taksinya," kataku sengaja menyindir, siapa tahu Mas Malik lupa kalau aku sering pulang dinihari.
Mas Malik menatap aku dengan ekspresi datar yang tidak bisa dibaca. Kami pun kembali diam dan sama - sama sibuk dengan ponsel masing - masing sambil mendengarkan gemericik air dari air mancur.
Tidak lama aku pun berdiri, karena kesal tidak ada satupun taksi yang nyangkut. Tumben! Aku langsung berjalan menuju pos satpam kantor. Siapa tahu bisa minta bantuan dicarikan taksi.
"Hei Rachel, mau kemana? Kamu saya antar saja, jangan naik taksi," kata Mas Malik yang langsung menyusulku.
"Enggak usah Mas. Saya sudah biasa kok."
"Nggak aman buat perempuan naik taksi malam - malam begini."
"Santai saja Mas. Ini Jakarta, jam segini masih ramai kok jalanan di ibukota."
"Saya nggak mau berdebat, kamu pulang sama saya." Rahang Mas Malik terlihat mengeras. Lah kenapa jadi dia yang marah?
"Nggak perlu, Mas. Serius deh. Saya bisa kok sendiri. Lagi pula saya sudah pesan taksi," kataku sambil menunjukkan aplikasi taksi di ponselku yang baru saja dapat taksinya. Pas banget kan?
Wajah Mas Malik mendekat ke layar ponselku, lalu dia mengambilnya. Tidak lama kemudian dia mengembalikan ponsel yang dia ambil secara paksa dariku dan bilang, "sudah saya batalkan. Sekarang kamu ikut saya."
Aku kaget, campur marah, dan kesal. "Mas meng-cancel pesanan saya?"
"Mas, Mas Malik itu seperti sepatu kets yang tidak berhak! Iya enggak berhak meng-cancel taksi saya!" Emosiku semakin memuncak lama - lama deket sama si bos ini.
Seperti biasa, tampangnya pun datar tanpa ekspresi. Sudah hilang sejak lama kegantengannya dimataku. Dia pun menggandeng tanganku untuk mengikutinya.
Tak mau menambah masalah dan membuang waktu, aku pun nurut mengikutinya sambil berusaha melepas genggaman tangannya. Tapi gagal. Gandengan terlepas saat dia yang melepaskannya di depan pintu mobil penumpang.
"Mas, nanti saya turun di Grand Indonesia saja," kataku setelah duduk dengan canggung disampingnya.
"Lho, kenapa enggak pulang?" tanya Mas Malik curiga.
"Ada janji." Iya kan, tadi aku janjian sama sahabat - sahabat SMA-ku.
"Mau ke Paulaner Brauhaus ya? Kamu mau ke sana?" tanya Mas Malik menyelidik sambil matanya sesekali melirikku.
"Enggak kok. Kan saya sudah kenyang, tadi ada yang beliin steak pas lagi fokus di depan komputer."
"Ooh, siapa yang kasih? Baik sekali. Sudah bilang terima kasih belum sama yang ngasih?" Lagi - lagi Mas Malik nyindir.
"Oh sudah dong. Tadi kan yang ngasih saya Mang Ibnu, saya langsung ngucapin makasih ke dia," kataku pura - pura enggak ngerti maksud omongannya. Padahal yang beliin steak Mas Malik. Bodo amatlah, dia nanya yang ngasih kan? Bukan yang beliin. Punya bos mancing kemarahan mulu.
"Lalu mau ngapain ke Grand Indonesia?" Pertanyaannya yang tadi dia ulangi.
"Penasaran ni yeee. Kepo aja sama urusan anak buah. Saya mau belanja," kataku, malas memperpanjang omongan.
"Kenapa harus disana? Ditempat lain kan bisa?" tanya Mas Malik.
"Ya suka - suka saya sih Mas." Masa aku harus cerita mau nyusul teman - temanku sih?
"Kamu janjian sama orang ya?" tanyanya lagi dengan nada menyelidik.
"Mas, sebenarnya saya tuh tadi janjian untuk jalan - jalan dan nonton malam ini dengan teman - teman saya. Tapi karena harus lembur mendadak, saya batal nonton. Rencananya sekarang saya mau nyusul mereka. Puas Mas dengan jawaban saya?" Aku bicara dengan nada emosi. Sebel aku tuh!
"Oh," katanya. Cuma 'oh' doang? Dia enggak minta maaf euy!
"Ya sudah, saya temani kamu berbelanja." Dari nada suaranya aku tahu bahwa si bos sudah mengambil keputusan bulat tanpa mau diganggu gugat. Aku cuma bisa pasrah. Sudah lelah hati ini menghadapi cowok satu ini.
"Kenapa kamu enggak jalan saat weekend saja sih?"
"Weekend saya harus nge-charge tubuh saya di kasur Mas," sahutku ketus. Ya lagi, ngurusin orang saja iih. Dan Mas Malik malah tertawa lepas.
"Chel, kita parkir di basement saja ya. Kamu mau belanja apa?"
"Mas, saya sendiri saja gapapa kok. Mas bisa langsung pulang." Bingung aku nolaknya.
"Saya juga mau belanja kok," jawabnya tanpa dosa.
"Wah jangan dong Mas," kataku agak panik. Serius ternyata nih si bos mau ke GI juga.
"Memangnya kenapa? Saya juga perlu belanja loh."
Bukan apa - apa, yang ada di otakku adalah kalau ada orang kantor yang melihat bisa timbul gosip. Aku enggak mau digosipin sama Tuan Muda Malik ini.
Emang sih, kemungkinan ngegosip sangat sedikit, karena kerjaan kita padat dan merayap. Lembur saja sudah menjadi rutinitas. Tapi tetap saja, kemungkinan bergosip tetap ada kan? Lah aku sama tim ku saja rajin bergosip, apalagi kalau topik pembahasannya para bos. Klop deh.
"Ya sudah yuk kita turun." Saat aku masih terpaku di bangku penumpang, Mas Malik membukakan pintu mobil dan mengulurkan tangannya mau menggandeng aku.
Kalau begini, aku jadi kepikiran nyari lokasi buat madu deh. Eeh.
***
.
.
.
.
.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
Al Salma
kaya sepatu kets yg tak berhak,..ada ya kepikiran ke gitu kk yg satu ini
2021-10-07
0
Tini Laesabtini
Cie cie... Awal mula menuju bucin nih kayanya....
2021-09-27
1
Zidan Abzar
suka..
2021-09-24
4