Pagi - pagi aku datang ke kantor untuk menyempurnakan desain yang harus aku laporkan ke Mas Malik, sebelum di serahkan ke Mas Ricky dan Bang Ben.
Jam sepuluhan ketika semua sudah rapi, aku setor ke Tuan Muda di ruangannya. Senyumnya mengembang bagaikan bunga mawar, begitu melihat hasilnya dari print - print-nan yang aku serahkan. Kami langsung diskusi di depan komputer sambil membuka aplikasi desain yang telah sempurna di mata Mas Malik.
Keluar dari ruang Mas Malik, aku mendapati Indra dan Kak Bertha yang sedang ngobrol di depan kubikel Kak Bertha.
Mas Malik pun ikut keluar. "Saya meeting dulu ya sama Bang Ben," katanya seakan memberikan laporan ke kita semua.
"Mas, nanti sore jadikan?" tanya Mas Kelana dari tempat duduknya, yang dijawab dengan jempol sama si bos.
"Wuiih keren! Elo ketahuan bolos dan jalan di mol?" Kak Bertha tertawa cekikikan sambil telapak tangannya menutup mulutnya. Tapi tetap saja, suara tawanya terdengar juga, ketika aku baru duduk setelah Mas Malik pergi dan enggak kelihatan jejaknya lagi.
Di sebelah ruangan Mas Malik sebenarnya ada ruangan kaca yang dilengkapi dengan karpet dan sofa untuk duduk serta televisi dengan fasilitas home theatre dan PS4 buat kita santai. Ruangan ini juga sebenarnya bisa kita gunakan untuk ngegosip dengan aman.
Nah, kubikel - kubikel kami berada di depan ruangan Mas Malik dan ruang santai itu. Enam kubikel saling berhadapan dengan jarak sekitar satu meter. Kata Mas Ricky waktu kita nanya kenapa enggak nempel saja dengan kubikel depannya, jawabannya biar butuh perjuangan kalau mau lirik - lirikkan. Iseng ya?
Kubikel Kak Bertha sejajar dengan aku. Sedangkan Indra di depanku, sampingnya Mas Kelana.
Sambil menunggu pesanan makan siang yang kami pesan lewat aplikasi online, Indra dan Kak Bertha membicarakan kejadian nahas yang kualami kemarin.
"Gue kalau jadi elo sih bakal langsung operasi plastik." Indra ngomong begitu sambil tertawa. Puas bener dia mentertawakan aku.
"Lah, elo pikir gue enggak stres? Ini aja gue masih bingung, kenapa gue masih bisa berdiri. Gue siap pingsan kemarin." Aku pun ikut tertawa.
OB datang membawakan pesanan makan siang kami dengan piring dan sendok - garpu. Kami pun langsung mengambilnya sesuai pesanan yang tadi sudah dicatat sama Mas Kelana dan duduk di kubikel masing - masing.
"Terus setelah dia ngomong gitu, gimana?" tanya Mas Kelana sambil membuka mika dan memindahkan lauknya di piring.
"Ya gue diam lah, mati kutu gue, nggak berani ngomong apa-apa," kataku.
"Terus dia nggak nyindir - nyindir lagi? Kayaknya enggak mungkin secara dia jago kalau nyinyir ke elo," tanya Kak Bertha dengan nada penasaran.
"Dia nyindir gue terus dong sepanjang perjalanan," kataku kesel.
"Sumpah deh, gue sampai bingung. Tuan Muda Malik masa ngomong, 'Sepi nih, kok kamu diam saja? Apa kamu masih sakit? Mau diantar sekalian nggak nih ke toko sepatu?' Wah, gue sampai lemes seketika!"
"Dan perlu kalian tahu, ini sepatu yang gue beli di PIM kemaren waktu bolos," kataku yang kemudian berdiri dan berjalan menuju perbatasan kubikel di depan mejaku kemudian mengangkat kaki memamerkan sepatu Nike yang aku pakai. Aku beli sepatu ini karena baru lihat iklannya minggu lalu.
Tiga senior itu tertawa terbahak-bahak disela - sela makan siang kami. Kami memang terbiasa saling curhat tentang kegilaan dan keajaiban si Tuan Muda itu.
"Lo jadi cuti panjang Kak?" tanyaku ke Kak Bertha ketika sudah mendaratkan pantat di bangku kerjaku.
Kak Bertha, seorang ibu dengan dua anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Usianya sudah mendekati kepala empat.
"Rencananya bulan depan. Belum ngajuin ke Mas Malik dan HRD," kata Kak Bertha sambil menyendok tongseng.
"Kalau elo Mas?" tanyaku ke Mas Kelana.
" Belum tahu gue. Bini gue belum jelas juga kapan bisa ambil cutinya. Susah nih, mau bulan madu ke seribu kalinya aja ribet banget."
"Halah cuti buat bulan madu. Cowok kayak elo mah, tiap hari bulan madu Mas," sahut Indra.
Mas Kelana ini sama seperti Mas Malik, lulusan desain komunikasi visual di Jerman, dia kenal Mas Malik waktu kuliah disana. Mereka hanya beda dua tahun. Mas Malik seniornya Mas Kelana.
Mas Kelana tuh kayak anak kesayangan Mas Malik. Idenya kebanyakan selalu di setujui. Beda banget sama aku. Kayak anak tiri.
Tapi tetep sih, Mas Kelana kadang suka gemes sama kemauan Mas Malik. Enggak jarang, Mas Kelana yang sudah lihai dalam membuat konsep desain web harus lembur untuk menyempurnakan karyanya. Yaaah, gitu deh. Manusia enggak ada yang pernah puas kan?
"Yaah Mas, enggak usah cuti kalau cuma buat bulan madu ke seribu kalinya. Kayak dikamar rumah enggak pernah ada kejadiannya aja," ucapku menimpali perkataan Indra.
"Ini nih junior kurang ajar!" kata Mas Kelana sambil menunjukkan telunjuk ke arahku.
"Chel, elo jangan kebanyakan lembur juga kali. Tadi malem pulang jam berapa lo?" tanya Indra.
"Gue pulang jam sepuluh teng. Selesai gak selesai gue pulang. Makanya tadi pagi gue lanjutin lagi revisiannya."
"Kalau terus - terusan kayak gitu, kapan elo punya pacar Chel?" tanya Mas Kelana. "Padahal bulan madu tuh enak banget loh!" katanya menyambung kalimatnya tadi. Dan langsung disambut dengan sambitan pulpen dari Kak Bertha.
"Yaelah Mas Kel, harus banget ya gue selalu diingatkan betapa naasnya nasib gue saat ini karena belum bisa menikmati rasanya bulan madu?"jawabku kesal.
"Iya. Jangan sampai elo mencontoh Indra yang akhirnya untuk dapat pasangan harus dicomblangin orang tuanya. Itu enggak asyik. Kurang deg - degannya," kata Kak Bertha. Kami pun tertawa, kecuali Indra si korban bully kali ini.
"Dih, biarpun di jodohin, gue dapetin Yaya dengan kecantikan yang maha dahsyat," balas Indra dengan tampang sombongnya.
"Ooh nama panggilannya Yaya? Terus nama sebenarnya Raisa Andriana ya? Emang elo Hamish Daud ya? Berasa dapetin penyanyi deh," timpal Mas Kelana. Lagi - lagi kami mentertawakan Indra.
"Yaelah, gini banget sih nasib gue punya temen kayak elo - elo semua ini? Resek!" kata Indra manyun, menunjukkan kekalahan dalam beragumentasi.
"Terus kapan rencana pernikahannya Ndra?" tanyaku.
"Hehehe tiga bulan lagi. Nanti kalian minimal kasih angpaunya gopek ya!" Indra tersenyum penuh harap.
"Enak aja! Buat apaan elo dapet angpau banyak - banyak dari kita - kita?" tanyaku dengan intonasi suara yang meninggi.
"Astaga Rachel, ini temen elo yang tiap hari ketemu elo, yang mau nikah. Jangan tega gitu dong. Sekali seumur hidup bo!" kata Indra enggak mau kalah.
"Lagian nih ya, kalau Yaya tahu pas buka amplop - amplop, kan gue bisa dengan bangga bilang kalau itu dari sahabat - sahabat gue di kantor. Harga diri kalian tuh dah kayak dilangit ketujuh di mata Yaya," sambung Indra.
"Yaa Ndra, gue gak janji ya. Perlengkapan make up gue kalau pas tiga bulan lagi gak ada yang perlu gue beli lagi mungkin bisa. Tapi kalau pas lipstik atau eyeliner gue dah sekarat, mau enggak mau, suka enggak suka ya gue harus mengutamakan itu dulu dibandingin angpau buat elo," kataku yang disambut tertawa ngakak Mas Kelana dan Kak Bertha.
"Kalau enggak, di cicil aja kali Chel, angpau elo buat Indra tiap bulan," usul Kak Bertha.
"Wah benar itu Chel," sahut Mas Kelana sambil tangannya berjibaku dengan bebek goreng pesanannya.
"Mimpi apa sih gue, punya temen hobinya pada suka bully gue. Sampai mau nikah pun gue masih di bully, padahal dalam khayalan gue, bakalan di manja gitu sama elo - elo semua," kata Indra sambil bersungut - sungut.
"Hahaha segitu tragisnya ya nasib elo Ndra," kata Mas Kelana. Kami bertiga pun kembali tertawa terbahak - bahak.
Suara sepatu terdengar samar - samar mendekat. Siapa lagi kalau bukan Mas Malik.
"Cepet kok Mas?" tanya Mas Kelana. Hanya dia seorang yang bisa bertanya dengan kata - kata yang enggak sopan ke si bos.
"Eh, lagi pada makan siang di sini?" tanyanya sambil bersandar di dinding kubikelku. "Iya. Cuma diskusi sedikit. Bang Ben juga pas harus keluar," kata Tuan Muda Malik lagi menjawab pertanyaan dari Mas Kelana.
***
.
.
.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
Putri Minwa
ceritanya menarik thor
2023-03-21
0
chocochino
mulai suka nih ,lumayan cara penulisannya juga
lanjut marathonnya
2021-11-27
0
Al Salma
lanjut baca....aga maraton nich
2021-10-07
0