Gideon memiliki mata cokelat paling jernih. Warnanya begitu muda hingga membuat orang yang melihatnya terpana.
Mata Gideon mengamati Liana yang masih terduduk di aspal. Entah bagaimana, saat melihatnya hatinya merasakan sedikit sentuhan.
Ia merasa seperti tidak asing, seperti mereka pernah bertemu sebelumnya.
Gideon mendekat dan berjongkok di depan Liana. Ia melirik lutut Liana. Ia menemukan sedikit noda merah pada kaki putih rampingnya.
Gideon mengeluarkan dompetnya dan mengeluarkan beberapa lembar uang dengan nominal yang tak sedikit.
Gideon menyerahkannya tanpa emosi sama sekali. Gideon memang sering memecahkan masalah dengan menggunakan uangnya.
Liana mendongak dan menatap mata pria di depannya. Ia terus memandang Gideon.
“Apakah ini tidak cukup?” tanya Gideon.
Liana ingin mengatakan sesuatu namun bibirnya hanya terbuka sedikit tanpa adanya suara.
Reaksi yang diperlihatkan Liana membuat cetak senyum sarkasme di wajah Gideon. Ia lalu mengeluarkan semua uang tunai yang ada di dompetnya.
“Jika ini masih tidak cukup. Kamu bisa menghubungi nomor yang tertera di kartu namaku ini.”
Liana mengerjap. Pada saat itu hatinya merasakan ketidakadilan dan kemarahan.
“Apa maksudmu? Kamu ingin menunjukkan padaku seberapa kayanya dirimu?”
Liana menatap Gideon tajam.
“Aku terluka karena dirimu. Bukannya kamu meminta maaf tapi merendahkanku dengan semua uangmu.”
Liana menatap uang yang ada di tangannya uang lalu memberikannya kembali pada Gideon. Tangannya menarik tangan Gideon dan meletakkan uang itu dengan paksa di telapak tangan Gideon.
Liana berdiri tegak, memasang tembok pertahanan tak kasatmata dengan sikap anggun.
“Ini juga salahku karena aku tidak melihat saat menyeberang. Kamu tidak harus bertanggung jawab dan juga aku tidak butuh uangmu.”
Liana lalu berbalik dan pergi.
Gideon pulih dari keterkejutannya. Ia menatap punggung yang mulai menjauh lalu matanya menyipit.
Dengan samar-samar, Gideon seakan berjalan kembali dari ribuan mil jauhnya. Ia masih ingat, kenangan itu.
Dengan semar bibir Gideon terangkat ke atas.
“Jadi dia...”
Mata Gideon berkilat tatkala melihat kartu nama yang terjatuh. Ia memungutnya dan melihat kartu tersebut.
“Liana.”
.........
Liana berjalan tanpa arah dan tujuan hingga kakinya berhenti di depan sekolah Damian. Liana menunggu Damian selesai belajar di depan gerbang sekolah.
“Damian.”
Liana langsung menarik Damian ke dalam pelukannya.
Damian mendongak dan senyum cerah terbit di sana.
“Ibu, aku sangat lapar. Ibu berjanji padaku hari ini kita akan makan makanan kesukaanku.”
Ketika Liana mendengar ini, wajahnya langsung berubah. Hatinya merasa malu. Ia sudah dipecat dari tempatnya bekerja. Ia hanya mempunyai sedikit uang yang tersisa.
Damian sangat menyukai makanan laut terutama lobster dan itu harganya sangat mahal.
Liana melepas pelukannya dan menyentuh pipi Damian dengan lembut. Liana tersenyum untuk membujuk Damian.
“Damian, hari ini bisakah kita makan makanan rumah saja?”
Damian menunduk sedih. Suara sedikit bergetar karena menahan tangisannya. “Ibu sudah berjanji padaku.”
Liana melihat si kecil dan merasa bersalah. Tanpa sadar air matanya mengalir karena merasa menjadi ibu yang tidak bisa memberikan yang terbaik untuk anaknya.
Liana langsung menyeka air matanya begitu jatuh dan mengenai pipinya.
“Baiklah, jangan bersedih. Kita akan makan makanan kesukaan Damian.”
Damian dengan lembut mendongak dan kekecewaannya mulai berkurang.
Liana sedikit ragu dalam waktu yang lama.
“Sebenarnya, hari ini ibu dipecat dari pekerjaan.” Liana mengatakannya sedikit malu.
Damian yang mendengarnya sedikit terkejut. “Apakah ibu melakukan kesalahan sehingga ibu dipecat?”
Liana menggeleng, “Tidak. Besok ibu akan mencari pekerjaan dengan gaji yang cukup tinggi sehingga kita bisa makan makanan kesukaan Damian setiap hari. Kita akan sering makan di luar.”
Damian mengalihkan pandangannya sebentar lalu menatap kembali Liana.
“Ibu, ayo kita pulang.”
“Bukankah kita akan makan di luar. Tenang, ibu cukup punya uang.”
“Tidak ibu. Aku ingin makan masakan ibu. Masakan ibu jauh lebih enak daripada makanan yang ada di luar.”
“Kalau begitu, ibu akan membeli lobster segar dan ibu akan memasakannya.”
“Tidak!”
Liana sedikit terkejut atas penolakan Damian.
“Maksudku, makanan kesukaan Damian tidak hanya Lobster saja. Damian juga suka tahu. Ibu bisakah, ibu memasakanku sup tahu saja?”
Liana tidak memperhatikan trik kecil Damian jadi ia tidak tahu maksud Damian.
“Baiklah ibu akan memasak sup tahu.”
Di tempat lain, Gideon sedang berada di kursi kebesarannya. Matanya sedikit melirik dokumen berisi tentang biodata seorang perempuan.
Ya, tadi pagi Gideon memerintahkan sekretarisnya untuk menyelidiki Liana.
“Apa ada sesuatu yang aneh?” tanya Gideon pada sekretarisnya.
“Tidak ada, Presdir.”
Gideon mengangguk dan berkata, “Kamu boleh pergi.”
Gideon tidak terlalu memusingkan masalah ini dan ia mengesampingkannya dan melanjutkan pekerjaannya.
Keesokan harinya, Liana dan Damian pergi ke bandara untuk menjemput Suah. Suah adalah sahabat Liana.
Dulu saat dibangku kuliah saat Liana hamil dan melahirkan, berita itu bertebaran di sekitar kampus. Rumor tentang Liana yang menjadi ayam kampus menjadi santapan hangat para penggosip.
Hanya Suah yang tidak mempercayai rumor tersebut dan menjadi sahabat penyemangat Liana.
Awalnya mereka berjanji untuk kuliah bersama di luar negeri namun karena keadaan keluarga Sanjaya, Liana menolak untuk melanjutkan ke luar negeri.
“Suah!” panggil Liana.
“Liana.” Teriaknya heboh, sambil menarik Liana ke dalam pelukannya.
Suah melepas pelukannya dan menarik seberkas rambut Liana “Rambutmu pendek,” katanya. “Aku suka.”
Liana mengangkat tangan dan menjentik rambut yang menjuntai di dahi Suah. “Rambutmu lebih panjang,” balasku. “Dan aku tidak suka. Hei, aku hanya bercanda.”
Liana menyukai penampilan Suah yang berantakan. Warna kulit Suah jauh lebih gelap daripada kulit Liana, dan sejak dulu itu membuat Liana iri.
Sudah dua tahun tak bertemu. Kadang-kadang, mudah untuk melupakan betapa kita merindukan seseorang sampai kita bertemu orang itu lagi. Tetapi, bukan itu yang dirasakan Liana dengan Suah. Liana selalu merindukannya. Meskipun sesekali sikap protektifnya bisa mengesalkan, itu juga menjadi bukti kedekatannya.
Suah mengeluh karena Liana mengingkari janjinya tapi kemudian matanya menyelinap dan menemukan bocah kecil yang tampan. Bahkan Suah tidak berkedip dalam waktu yang lama.
“Oh My God, oh my eyes. Pria kecil ini benar-benar tampan.”
Suah langsung berjongkok dan menarik pelan Damian agar mendekat. Suah begitu mengagumi Damian.
“Liana, apakah ini adikmu?”
Liana tersenyum. “ Bukan, dia adalah putraku. Namanya Damian.” Liana mengusap kepala Damian dan berucap, “Damian, dia adalah sahabat ibu, namanya tante Suah.”
“Apa? Apa yang kamu katakan?” tanya Suah terkejut dan hampir terjungkal.
Damian dengan lucu berkata, “Halo tante Suah. Namaku Damian. Ibuku bernama Liana.”
Suah langsung tercengang. Matanya bolak-balik melihat Liana dan Damian. Bibirnya terbuka.
“Apakah ini benar? Aku kira rumor itu...”
Liana berdeham. “Ceritanya panjang. Akan kuceritakan sambil makan. Kamu pasti lapar karena perjalanan jauh.”
Suah mengangguk dan mereka menuju ke restoran tempat mereka makan dulu.
Setelah makan, Suah menyeret Liana ke kamar mandi untuk menanyakan apa yang terjadi. Pada akhirnya Liana menjelaskan apa yang terjadi hanya saja garis besarnya saja. Liana tidak ingin sampai semua rangkaian peristiwa harus diceritakan.
Suah merasa tertekan saat mendengarnya. Suah menatap Liana seolah merasa iba.
“Aku tahu saat kamu menyebutkan kenapa kamu tidak meneruskan pendidikan di luar negeri karena alasan perusahaan ayahmu bangkrut. Tapi aku tidak pernah berpikir kamu akan membayarnya dengan...”
“Apa pun akan kulakukan demi membantu ayah. Dia telah merawatku dengan baik.”
“Lalu apakah kamu tidak takut jika ayah biologis Damian membawanya pergi?”
Siapa ayah Damian? Aku bahkan tidak tahu
Mata Liana kabur sesaat dan mencoba mengingat pria itu.
“Aku akan terus merahasiakan keberadaan Damian. Tidak ada yang bisa mengambilnya dariku.”
“Baiklah. Aku akan selalu berada di sisimu. Sebaiknya kita kembali sekarang.”
Mereka pun kembali ke meja. Begitu melihat Damian, Suah langsung mencubit sayang pipi Damian.
“Kamu begitu lucu dan tampan di waktu yang bersamaan.”
“Kamu sudah memberitahu bibi kamu tiba dengan selamat?” tanya Liana
“Yeah, aku mengabari melalui pesan tadi.”
Di malam hari, Damian sudah berada di ranjangnya sementara Liana duduk di ruang tamu dan sibuk mencari lowongan pekerjaan melalui ponselnya.
Tanpa sadar, Liana mengeklik situs resmi pencarian bintang. Menjadi seorang bintang harus memiliki kemampuan dan juga penampilan yang menarik.
Liana tidak tertarik namun ia mencoba mengscroll sampai bawah hingga matanya menangkap lowongan pekerjaan yang menurutnya menarik yaitu menjadi asisten artis.
“Haruskah aku mencobanya?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
Anis Swari
dan semua rangkaian peristiwa menarik akan terjadi
2023-06-07
0
Anis Swari
Wah2 jadi dia....??? wanita masa lalunya???
2023-06-07
0
Terra Chi
itu ayah biologisnya damian kan?
2021-08-21
0