Bab. 4

Setelah selesai dengan sarapannya, Vano segera masuk kedalam kamar untuk sedikit bersantai sebelum bersiap kerja. Meski jam kerjanya masih lama tapi Vano ingin bersantai sejenak didalam kamarnya karena tidak mungkin ia berada diruang tamu sedangkan disana ada Papanya yang masih dipenuhi emosi gara-gara adiknya yang baru membuat ulah.

Brraakkk!!! Brraakkk!!!

"Vanooooooooo," teriak Deska saat berhasil masuk kedalam kamar kakaknya lalu segera menutup pintu agar kedua orang tuanya tidak mendengar kegaduhan mereka.

Vano yang sedang rebahan diatas kasur terlonjat kaget melihat kedatangan adiknya yang tiba-tiba. Namun sepersekian detik ia menarik salah satu sudut bibirnya, ia tahu apa yang membuat adik nakalnya itu masuk kedalam kamarnya dan berteriak seperti orang hutan.

Melihat Vano yang sedang menahan tawa, Deska melompat keatas kasur lalu menarik rambut Vano dengan sumpah serapahnya.

"Dasar Kakak setan lo ya! Dasar Kakak nggak ada akhlak."

Vano terbahak melihat wajah sang adik yang dipenuhi emosi, kemudian mengaduh saat kepalanya mulai merasa sakit akibat rambut yang tertarik kencang. "Aduuh duh duh sakit, Ka sakit, aduuhh."

"Sengaja 'kan lo cubit paha gue tadi?" Deska turun dari atas lasur lalu berdiri melipat tangannya didada dengan nafas ngos-ngosan.

"Bicara yang sopan, siapa yang ngajari kamu ngomong lo gue gitu sama Kakak hah!" Vano meletakkan kedua tangannya dipinggang dan balik menantang Adiknya.

"Em, iya sorry." Deska memasang wajah kesalnya. "Kakak ngapain cubit paha aku tadi, Kakak sengaja pasti, kan! Ngaku deh, Kak," tuduhnya lagi.

Vano tidak membalas tuduhan Adiknya. Ia berjalan kedepan cermin, merapikan penampilannya yang sedikit berantakan ulah Deska. Mandi juga belum, sudah pake acara rapi-rapi segala, dasar Vano lebay.

"Kakak, iihh!"

Merasa dicuekin Deska mengikuti kemana kaki Vano melangkah. Dia tidak terima jika jam mainnya harus dibatasi dan uang jajannya juga dipotong 50% oleh papanya. Dan semua itu tak lain karena ulah kakaknya. Jika saja Vano tidak mencubit pahanya, mungkin saja ia tidak akan keceplosan dan mungkin saja bisa memberi alasan yang sedikit lebih baik.

"Pokoknya Kakak harus tanggung jawab. Lima puluh ribu setiap hari buat ganti duit jajan aku yang dipotong Papa." Vano tidak memedulikan ocehan Adiknya itu, dia sibuk dengan kepalanya yang terdapat beberapa helai rambut yang jatuh karena ulah tangan adiknya.

"Iihh, Kakak denger ga sih aku ngomong!" Deska menarik lengan Vano hingga pria itu menghadap adiknya. "Ka—"

"Apa!" Vano melotot memotong Deska yang ingin membuka suara lagi.

"Heh, gadis nakal!" Vano menoyor kepala Deska dengan telunjuknya. "Siapa suruh kamu kelayapan sampai larut? Kakak sudah berapa kali bilang jauhi lingkungan yang membawa pengaruh negatif!" Kini suaranya terdengar serius.

"Kamu itu masih SMP, masih kecil. 17 tahun juga belum, udah berani-beraninya main ketempat begituan, sampai larut malam lagi!"

"Koreksi! Udah masuk SMA bulan depan, jadi bukan anak SMP la—" protes Deska. "Diam! Jangan suka nyela perkataan orang!" potong Vano cepat. "Gara-gara kamu, Kakak juga dimarahin Papa karena tidak bisa menjaga Adik Kakak yang nakal ini!"

Vano duduk disofa kecil kamarnya yang berada didekat jendela. "Sejak kapan kamu berani main ke tempat seperti itu? Siapa yang kasih akses kamu buat masuk kesana? Berani-beraninya kamu ketempat begituan. Kakak saja tidak pernah kesana, kamu yang masih kecil sudah berani-beraninya main kesana. Mau jadi apa kamu hah! Mau masa depan kamu hancur seperti teman kamu itu? Orang kalo nggak bener itu dijauhin, bukan didekatin!" cecar Vano dengan kalimat yang amat mengesalkan.

Deska mendengus. "Aku cuma menghadiri party temenku doang, nggak ngapa-ngapain kok. Kakak nggak usah lebay deh. Lagian ini baru pertama kali dan ... aku juga nggak kenapa-kenapa, kan."

"Apa harus sampai kenapa-kenapa dulu baru mau nurut!"

Vano menggelengkan kepala akan prilaku adiknya belakangan ini. Sebelumnya, Deska sangat penurut padanya meski tidak dengan orang tuanya. Tapi semenjak kelas tiga SMA, perintah Vano bagai angin lalu ditelinga Deska.

"Kakak nggak suka kamu berteman sama yang namanya Reski Reski itu. Semenjak kamu bergaul sama dia, kamu itu sering kali buat ulah."

"Kakak! Kakak kok selalu bawa-bawa Reski, sih." Deska mulai terpancing emosi dengan perkataan Vano. "Reski putus sekolah karena tidak ada biaya, Kak. Lagian apa salah kalo aku berteman sama orang yang lebih tua dari aku?"

"Harusnya aku kesini tuh marah sama Kakak, bukan malah Kakak yang marahin aku!" Deska berdecak pinggang lalu keluar dari kamar Vano. "Menyebalkan!"

"Tutup pintu." Vano menghela nafas seraya memejamkan mata.

 

 

 

🌱🌱🌱🌱🌱🌱🌱🌱🌱🌱

 

  

Setelah dua jam dari perdebatan kecil dengan Deska, Vano turun dari kamarnya dengan tubuh yang sudah segar. 

"Pa, Ma, Vano pergi dulu ya," pamitnya ragu melihat wajah papanya yang tidak terlalu emosi lagi seperti tadi.

"Jangan pulang larut. Kalau ada apa-apa kabari," ujarnya Berto datar.

"Iya, Pa."

Berto memang melarang keras anak-anaknya pulang diatas jam sembilan malam. Bukan tanpa alasan Berto membuat peraturan seperti itu dirumahnya. Sebenarnya ia tidak masalah jika Vano mau pulang jam berapapun atau tidak pulang sekalipun, karena Vano laki-laki dan dia percaya dengan anak lelakinya itu.

Tapi Deska? Vano satu-satunya contoh bagi Deska. Bukannya dia dan istrinya tidak mampu mendidik anak, tapi anak bungsunya satu itu sangat berbeda dengan kakaknya. Fikirannya masih terlalu jauh jika harus memilah mana yang baik ataupun yang buruk. Contoh singkatnya seperti semalam, sudah diberi peraturan saja masih berani pulang larut dan dengan alasan yang sangat menguras emosi Berto. Sudah berjuta kata maaf terucap dari mulut manis gadis belia itu, tapi itu tak dapat mengubah apapun.

Dan selain dia perempuan, Deska juga belum cukup umur untuk berkeliaran dimalam hari. Memberi waktu bermain hingga jam sembilan malam saja sudah membuat Berto pusing tujuh keliling.

Mungkin Berto akan memakai peraturan itu hingga Deska bisa bersikap dewasa. Namun entah itu kapan. Untungnya Vano tidak keberatan dengan keputusan yang ia buat dan bisa mengerti kondisi adik kesayangannya itu. Meski usianya baru memasuki 20 tahun tapi Vano bisa berfikir lebih dewasa dari usaianya, dan Vano juga anak yang penurut. Entah karena ia anak pertama atau apa yang pasti Berto kagum dengan anak sulungnya satu itu. Ia harap Vano bisa membuat adiknya itu menjadi dewasa dan tidak terus memanjakannya lagi.

 

....

 

Dipersimpangan menuju jalan raya, Vano melihat segerombolan orang yang sedang berkerumun. Dan tak jauh dari situ Vano melihat dua motor tergeletak sembarang dengan kantong kresek berisi nasi serta teman-temannya berhamburan dijalan. Dipastikan jika terjadi tabrakan diantara dua motor tersebut, dan Vano tak perduli.

Saat Vano melintasi kerumunan, ekor mata Vano tak sengaja melihat seorang wanita yang sedang beradu mulut dengan seorang pria dan wanita itu terlihat sangat tak asing baginya. Sembari meneruskan perjalanannya, fikiran Vano mengingat siapakah wanita itu? Setelah lima belas menit tak dapat mengingat, rasa penasarannya membuat Vano memutar arah untuk melihat wanita yang sedang beradu mulut dengan seorang pria tadi. Tak habis fikir seorang Devano Aditya melakukan hal sia-sia semacam itu hanya untuk memastikan siapakah wanita yang ada difikirannya beberapa menit lalu itu. "Sial!" umpatnya. Ia benar-benar tidak bisa dibuat penasaran.

Ia fikir kerumunan itu telah berakhir, tapi ternyata hanya berkurang beberapa orang saja. Vano turun dari mobilnya dan mendekati kerumunan. Ia mendapat dengar, pria itu meneriaki wanita yang ada didepannya, bahwa wanita itu yang telah menabraknya. Belum sampai tujuan, Vano sudah bisa melihat jelas wajah wanita itu. "Dia kan wanita yang semalam habis kecelakaan. Hmm, belum 24 jam sudah kecelakaan lagi." Vano menggelengkan kepalanya. Ya, wanita itu Tamara.

Beberapa detik kemudian, entah dorongan dari mana Vano berlari dan menangkis tangan pria yang akan menampar pipi wanita itu. Semua mata tertuju pada Vano, tak terkecuali wanita itu.

"Berapa biaya ganti ruginya?" Tak mau ambil pusing Vano mengeluarkan tiga lembar uang berwarna biru dari dalam dompetnya. "Tidak! Jangan!" cegah Tara.

"Simpan aja uang lo. Ini bukan salah gue, dia yang salah. Dia ngebut-ngebutan dijalan sampai nggak lihat ada motor yang mau nyebrang. Lagi juga aku sudah pasang sen, dasar nih orang saja yang nggak tau diri," jelas Tara.

"Heh!" Pria itu mendorong bahu Tara. "Lo yang nabrak gue, lo lihat makanan buat paman gue hancur gara-gara lo!" teriaknya.

"Gue ga peduli, karena memang lo yang salah." Balik Tara berteriak. "Stop! Udah nih ambil, pergi dari sini." Vano melempar uang yang masih berada ditangannya kepada pria itu.

Tak mau melihat perdebatan yang membuat kepalanya pusing, Vano menarik tangan Tara menjauhi orang yang masih berkerumun. Sedangkan pria tadi pergi setelah mendapat apa yang ia inginkan. Dan para kerumunan mulai membubarkan diri.

Heran! Untuk apa berkerumun jika tidak mau membantu. Dikira ini pertunjukan? Kalo memang tidak mau membantu ya tinggalin aja, fikirnya.

Wait? Membantu? Sejak kapan Vano mulai membantu orang? Sepertinya ada yang tidak beres!

" Eh eh, tunggu. Itu motor gue," protes Tara. Ia menunjuk kondisi motornya yang masih dipinggir jalan. Masih berfikir dengan tingkahnya yang aneh, Vano terus membawa Tara mendekati mobilnya.

Sedangkan Tara yang merasa pergelangan tangannya sedikit sakit, menepis kasar tangan Vano. "Lepas!"

Sadar apa yang ia lakukan, Vano melepaskan tangannya dari pergelangan tangan Tara. "Astaga apa yang gue lakuin!" rutuknya dalam hati.

"Sakit tangan gue." Vano menggaruk kepalanya salah tingkah.

Tara melirik pria didepannya itu dengan kesal, sesaat ia mengamati wajah pria itu. Seperti tak asing namun entahla ia tidak perduli.

Tara mengeluarkan ponsel dari ransel yang ada dibelakang punggungnya. Ia memberikan ponsel itu kepada Vano, sedangkan Vano menaikkan salah satu alisnya tak mengerti apa maksud wanita itu.

"Nomor ponsel lo, nanti gue transfer uang yang lo kasih ke tuh orang tadi," tuturnya yang mengerti akan ketidakfahaman Vano.

"Mbak ini motornya." Salah satu paruh baya membawa motor Tara yang sempat terbengkalai dipinggir jalan.

Vano yang akan berlalu dari sana terhentikan oleh cekalan tangan Tara dilengannya. "Eh, tunggu."

"Em, makasih ya, Pak." Tara menerima kunci motor dari pria paruh baya itu.

Fokus Tara kembali pada pria dihadapannya untuk meminta nomor ponsel dengan menyodorkan ponselnya kehadapannya lagi.

"Mana nomor lo?"

"Cepetan dong. Udah telat banget nih gue, haduh," desaknya panik.

Vano mengibaskan tangannya. "Nggak perlu." Vano berlalu dari sana. "Sial, duit gue! Mana gajian masih seminggu lagi," gerutunya pelan lalu masuk kedalam mobilnya untuk segera pergi ke cafe tempatnya bekerja.

*****

.

.

Terimakasih yang sudah mampir, love you all.

Btw, cerita tabrakan itu adalah kisah nyata Nai sendiri tapi yang membedakannya itu, Nai sampai dibawa ke kantor polisi dan ga ada sosok Vano disana 😅

Terpopuler

Comments

Sulaiman Efendy

Sulaiman Efendy

APA AMIR DGN TAMARA BRPACARAN...

2023-03-15

0

Sulaiman Efendy

Sulaiman Efendy

NON MUSLIM AZA KASI PERATURAN BAGUS KE ANAK2NYA, YG MUSLIM TERKADANG BERGAJUL PERGAULANNYA...

2023-03-15

0

Sulaiman Efendy

Sulaiman Efendy

VANO NASEHATKN LO KRN VANO SAYANG MA LO, UDH TAU CLUB ITU T4 MAKSIAT, T4 SETAN, KLO MINUMAN LO DI KASI OBAT PRANGSANG, HABIS LO...

2023-03-15

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!