-#-
Naayla PoV*
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 30 menit, akhirnya aku sampai di mall terbesar di kotaku. Seusai kak Revan memarkirkan kendaraannya, kami pun berjalan beriringan menuju ke dalam.
Aku dan Kak Revan kebingungan mencari keberadaan Kak Dido dan juga Rena. Aku sudah menelponnya berkali-kali. Aku mengiriminya chat hingga menumpuk 10 pesan yang tidak juga dibacanya.
"Rena belum menjawab teleponmu?" tanya kak Revan.
Padahal aku tidak memberitahunya siapa yang aku telepon tapi dia bisa menebaknya dengan tepat.
"Belum, Kak!" jawabku singkat dengan pandangan mata yang masih terfokus pada ponselku.
"Kemana perginya anak nakal itu?"
"Mungkin kakak bisa menghubunginya lewat Kak Dido. Aku nggak punya nomer ponsel Kak Dido," aku memberi pendapat. Dia mengangguk.
Kak Revan segera mengambil ponselnya. Aku melihat tangannya menari-nari lincah di layar smartphone miliknya. Beberapa saat kemudian dia meletakkan gadget berwarna silver itu di telinganya.
Dia sedang menghubungi kak Dido.
"Huuuft.. Dido juga tidak mengangkat teleponku," serunya dengan nada kesal.
"Terus sekarang kita mau kemana?" tanyaku putus asa.
Jujur aku bingung mau ngapain aku di sini? Aku hanya menuruti kemauan Rena. Aku juga nggak butuh apapun untuk aku beli. Aku juga lagi nggak pingin jalan-jalan.
"Terserah kamu aja," jawab kak Revan pasrah.
"Kalau begitu kita pulang aja!" aku mengutarakan ide yang ada di kepalaku.
"Udah sampai di sini terus mau pulang?" Kak Revan protes.
"Tadi katanya terserah?" sahutku ketus.
"Apa kamu udah makan?"
Aku hanya menggelengkan kepalaku. Peduli apa dia aku udah makan atau belum?
"Kalau gitu kita makan dulu setelah itu baru pulang!"
"Aku lagi nggak pingin makan, kak!" aku menolak ajakannya. Sebenarnya aku lapar, tapi aku mau sedikit bersikap jual mahal.
"Ini udah jam sepuluh pagi, Naay. Kamu kan terbiasa sarapan. Kalau kamu telat makan nanti maagmu kumat."
Idih sok perhatian. Kemana saja dia selama beberapa hari ini? Apa dia tahu aku jadi malas makan karena mikirin dia?
"Maagku nggak akan kumat karena sehari aja telat makan. Ayo kita pulang!" aku tetap pada pendirianku.
Kak Revan memegang tanganku seolah tidak ingin aku pergi kemana-mana.
"Telat makanmu nggak cuma sehari, tapi udah berhari-hari."
Eh, darimana dia tahu?
"Aku tahu semua yang kamu lakuin beberapa hari ini. Kamu nggak sarapan, kamu nggak makan siang dengan benar dan hanya sedikit makan di saat malam. Ayolah jangan menolakku! Kasihan mama kalau kamu sampai sakit," lanjutnya sambil menarik tanganku paksa. Dia membuatku mengikuti arah langkahnya.
Aku pikir dia memaksaku makan karena dia khawatir tapi ternyata dia hanya memikirkan mama yang akan sedih kalau aku sakit.
Kak Revan mengajakku ke restoran favorit kami. Selama perjalanan aku dan dia hanya diam. Mulut kami serasa digembok rapat dan sulit terbuka.
Dia memilihkan tempat di meja bagian pinggir. Dan dari sini aku bisa melihat pemandangan di luar sana. Restoran ini terletak di lantai 3. View di sekitarnya sangat indah bila dilihat.
Setelah pelayan datang, Kak Revan langsung memesankan makanan dan minuman untuk kami. Dia tahu semua yang aku suka jadi dia nggak perlu repot-repot untuk menanyaiku. Aku pun percaya dia nggak akan salah memilihkanku menu.
Sambil menunggu orderan kami datang, aku memutuskan untuk membaca. Lagian mau ngapain aku di sini? Orang yang duduk di depanku saja sedari tadi sibuk dengan ponselnya.
Aku membaca novel pemberian Kak Zidan. Sejak Shelin mengembalikannya, sejak itu aku belum sempat membacanya lagi. Aku terlalu sibuk memikirkan manusia di hadapanku ini hingga aku lupa dengan novelku.
"Jadi itu novel pemberian pacarmu?"
Sedari tadi dia hanya diam dan sibuk dengan ponselnya, tapi kemudian dia bereaksi setelah melihatku membaca novel ini? Sungguh keterlaluan!
Aku menghentikan aktivas membacaku.
"Ini pemberian Kak Zidan," jawabku jutek.
"Sama aja kan?" sautnya singkat dan dingin.
Sebenarnya aku udah lelah harus membahas ini terus. Karena menurutku akan sangat percuma meskipun aku menjelaskannya sampai mulutku berbusa sekali pun dia nggak akan mungkin mau percaya.
"Terserah kakak aja!" jawabku pasrah.
"Berarti benar kan kalian pacaran? Kenapa harus pakai sembunyi dari orang-orang?"
Aku menutup novel itu. Minat bacaku seketika hilang mendengarnya terus menanyakan hal yang sudah aku jelaskan.
"Kakak ini membingungkan ya jadi orang? Aku bilang kak Zidan bukan pacarku kakak nggak percaya, aku jawab terserah kakak menuduhku lagi. Lalu jawaban apa yang kakak mau?" aku meninggikan suaraku. Dia malah tersenyum melihatku begini.
"Kenapa malah tersenyum? Kakak pikir aku nggak bisa marah? Kakak pikir aku nggak bisa hilang kesabaran? Kalau aku mau sama dia udah sejak dulu aku pacarin. Bilang aja kalau cemburu. Kakak suka denganku ya? Ayo ngaku!" pertama-tama aku mengomelinya lalu kemudian aku beralih menggodanya.
Kak Revan menyunggingkan senyumnya, "Iya, aku suka sama kamu. Kamu kan adikku," jawabnya.
"Ah iya aku adikmu. Aku sampai lupa kalau kamu kakakku. Kakak macam apa yang cuekin adiknya berhari-hari? Ketemu aku aja nggak mau. Huufft.."
"Aku memang nggak nemuin kamu tapi bukan berarti aku nggak ngawasi kamu ya!"
"Oya? Manis banget kakakku ini!" kataku sambil melempar senyum kecut ke arahnya.
"Pacaran sana sama Zidan! Aku merestuimu."
"Aku nggak butuh restu darimu, Kak! Sudah lebih baik kakak diam daripada terus menyudutkanku!"
Kemudian pelayan datang membawa pesanan kami. Kami pun menyudahi perdebatan sengit yang sejak tadi tidak kunjung usai.
"Silahkan dinikmati!" kata pelayan itu dengan ramah kemudian pergi meninggalkan kami.
Saat kak Revan hendak mengambil sendok dan akan menyantap makananya tiba-tiba ponselnya berdering. Dia mengurungkan niat awalnya dan beralih pada gadgetnya.
"Rena," kak Revan membaca nama si penelpon.
"Yang telpon Rena kak? Ayo buruan diangkat! Cepetan marahin tuch si Rena!!" seruku bersemangat.
"Hallo!" kak Revan menjawab panggilan dari adiknya.
Aku mengamati kak Revan yang tak kunjung mengomeli adiknya. Dia malah diam saja mendengarkan ocehan adiknya dengan seksama. Sesekali aku melihat keningnya berkerut seperti ada yang serius dari pembicaraan mereka.
"Oke aku ke sana sekarang!" begitu kata Kak Revan kemudian mematikan ponselnya dan memasukkan benda itu ke dalam saku celana.
Kak Revan beranjak dari tempat duduk.
"Kakak mau ke mana?" tanyaku bingung sambil ikut-ikutan berdiri.
"Kamu tunggu di sini aja! Jangan ke mana-mana sebelum kakak kembali!" perintahnya. Dia sangat terburu-buru dan langsung meninggalkanku.
"Ada apa ya? Apa terjadi sesuatu sama Rena? Ya Allah, kenapa aku jadi khawatir begini ya?"
Aku kembali duduk. Aku meremas-remas kedua tanganku yang sudah mulai berkeringat. Aku tidak bisa melanjutkan makanku sebelum Kak Revan kembali dan menjelaskan apa yang terjadi.
Aku terus menengok jam tanganku. Sudah hampir 30 menit dan Kak Revan belum juga kembali. Beberapa kali aku menelpon ponselnya tapi tidak ada jawaban. Aku terus berdoa semoga tidak terjadi apa-apa dengan mereka.
Aku terus memandang ke arah pintu restoran. Dan aku menjadi lega setelah melihat dari kejauhan Kak Revan berjalan ke arahku disusul oleh Rena dan juga kak Dido.
Syukurlah mereka baik-baik saja.
Aku beranjak dari tempat duduk saat jarak mereka sudah dekat denganku. Dengan rasa penasaran yang mencapai level akut, aku langsung memberondong mereka dengan beberapa pertanyaan.
"Apa kalian baik-baik saja? Kenapa lama sekali? Apa yang terjadi sebenarnya?" tanyaku panik hingga bertanya tanpa spasi.
Mereka kompak menatapku. Lalu kemudian aku melihat Dido dan Rena senyum-senyum melihat kepanikanku. Dan kak Revan? Dia melihatku dengan mata berkaca-kaca. Ya Allah, aku melihat ada darah di sudut bibirnya dengan warna biru lebam di sekitarnya. Apa dia berkelahi dengan seseorang?
Aku langsung memegang bagian wajahnya yang luka.
"Kenapa ada darah di sini? Siapa yang melukaimu? Apa kakak ribut lagi dengan seseorang?" lagi-lagi aku bertanya dengan panik. Aku sangat sedih melihatnya terluka.
Dia tidak menjawab satu pun dari ketiga pertanyaan yang aku lontarkan padanya. Dia malah memelukku. Pelukan yang sangat erat. Aku terdiam terpaku dan tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi padanya. Sementara Rena dan Dido hanya diam melihat kami tanpa berniat memberi penjelasan apa pun padaku.
Kak Revan melepas pelukannya. Dan aku lihat wajahnya basah. Dengan gerakan terburu-buru dia berusaha menyeka air yang keluar dari sudut mata elangnya.
"Kakak nangis?" tanyaku keheranan.
"Kakak benar-benar mintamaaf sama kamu! Kakak nuduh kamu yang bukan-bukan," jawabnya dengan sedikit senyuman. Aku melihat ada kelegaan yang terpancar dari kedua sorot matanya.
"Jadi sekarang kakak percaya sama aku kan? Kakak udah nggak marah lagi kan sama aku?" tanyaku lagi dengan kelegaan yang sama seperti yang Kak Revan rasa.
Kak Revan mengangguk dan kembali memelukku. Akhirnya aku mendapatkan Kak Revanku kembali. Kami pun berdamai sekarang. Kesalahpahaman di antara kami sudah berakhir.
"Ehem.. ehem...pekukkan mulu!" ledek Rena usil.
"Ya udah yuk kita makan aja! Aku lapar banget!" kata Kak Dido sambil mengelus-elus perutnya.
"Aku pesenin makanan dulu ya, Beb!" saut Rena sok mesra.
Sementara Rena memesan makanan, aku kembali mengintrogasi kak revan.
"Kakak, tadi kakak belum jawab pertanyaan aku. Kenapa kakak bisa luka?"
"Oh ini?" kak Revan memegang sudut bibirnya, "Ini hanya masalah sepele. Kamu nggak perlu khawatir. Sudah ya jangan tanya-tanya lagi. Kita kan baru aja damai."
Kak Revan tetap tidak mau memberitahuku siapa orang yang sudah melukainya. Tapi mau bagaimana lagi kalau aku paksa nanti hubungan kami bisa memanas lagi. Baiklah! Yang penting Kak Revan baik-baik saja dan tidak ada luka yang serius.
"Nanti aku obati luka kakak ya di rumah!"
"Iya.. siap bos! Tapi kenapa makananmu masih banyak?"
"Gimana aku bisa makan sedangkan kalian aku tunggu nggak datang-datang juga? Aku khawatir kalian kenapa-kenapa."
"Tenang aja, Naay! Kami baik-baik aja kok!" sambung Rena sambil mengelus-elus punggungku.
"Terus kamu dari mana saja tadi? Kamu yang ngajakin jalan kenapa malah ngilang?"
"Hush.. Jangan marah-marah begitu! Yang penting sekarang kamu udah baik kan sama kakakku. Coba kalau bukan aku? Mana mungkin bisa kalian sama-sama lagi kayak gini," Rena mulai membanggakan dirinya sendiri. Tapi memang benar karena dia aku dan kak Revan jadi berdamai sekarang.
"Oke.. oke .. terimakasih banyak, Nyonya Dido," kataku semangat sambil tersenyum pada Rena.
"Sama-sama, Nyonya Revan," sautnya asal-asalan.
"Kamu panggil aku apa barusan?" tanyaku memastikan kalau aku tidak salah dengar.
"Nyonya RE-VAN," jawabnya dengan memberi penekanan saat menyebutkan nama kakaknya.
"Kemarin Nyonya Zidan. Sekarang Nyonya Revan. Apa wajahku kayak ibu-ibu?"
"Nggak akan ada Nyonya Zidan! Karena kamu cuma akan menikah dengan kakakku," celoteh Rena semakin asal.
Kak Revan yang sedang makan menjadi tersedak mendengar bualan adiknya. Dia sampai terbatuk-batuk karena ada makanan yang nyangkut di tenggorokkannya.
"Kakak, hati-hati donk makannya!" kataku seraya beranjak dari kursi kemudian menghampiri kak Revan yang duduk di depanku.
Aku mengusap-usap punggung kak Revan pelan.
"Apa kakak mau minum?" tanyaku. Kak Revan hanya mengangguk.
Aku menyodorkan air mineral yang tadi kak Revan pesan. Dia menghabiskan setengah botol untuk melancarkan tenggorokannya.
"Terimakasih, Naay!" kata kak Revan setelah kerongkongannya lega.
Selama aku membantu Kak Revan, Rena dan Kak Dido justru sibuk memperhatikan kami.
"Kenapa kamu dan Kak Dido melihatku seperti itu?" tanyaku menyelidik sambil memelototi mereka secara bergantian.
"Sejak kapan senyum itu dilarang?" Rena bertanya balik.
"Nggak ada yang melarang juga! Tapi lihatlah! Kakakmu ini tersedak, bukannya bantuin malah senyum-senyum. Seharusnya kamu yang menolong karena dudukmu lebih dekat sama Kak Revan, kenapa cuma aku yang khawatir?" aku menyerang Rena.
Entah kenapa sekarang Kak Revan malah ikut-ikutan senyum seperti yang kedua manusia ini lakukan.
"Kakak! Kenapa jadi ketularan mereka??" aku menegurnya.
"Revan tersenyum karena bahagia calon istrinya sangat perhatian," Rena menyaut tanpa permisi.
Aku mengernyitkan keningku.
"Jangan bilang gitu, Ren! Nanti kalau ada cewek yang mau dekati kakakmu jadi takut karena denger omongan kamu!" aku memprotes omongan Rena yang seenaknya.
"Udah kita makan aja! Aku udah kelaparan," kata Kak Dido setelah melihat pesanannya datang.
Suasana berubah hening saat kami makan. Dan seperti biasa aku selalu menjadi orang pertama yang menghabiskan makananku di antara mereka.
"Nah kan kelaparan! Pakai acara nolak diajak makan segala," Kak Revan mengomentari cara makanku.
"Bukan nolak, cuma ingin dirayu aja," sautku santai.
"Hmm.. Naay, boleh kakak minta sesuatu sama kamu?" tanya Kak Revan serius.
"Iya.. kakak mau minta apa memangnya?" aku bertanya balik.
Aku melihat kedua matanya melirik ke arah Kak Dido dan Rena secara bergantian.
"Nanti saja ya, Naay! Di sini banyak pengganggu," jawab Kak Revan dengan masih melirik ke arah Rena dan juga Kak Dido.
"Pengganggu? Maksudmu kami?" merasa sedari tadi Kak Revan meliriknya Kak Dido pun merasa tersindir.
"Baguslah kalau kamu sadar diri! Kamu dan kekasihmu itu adalah pengganggu," kata Kak Revan ketus.
"Bilang aja kalau mau berduaan. Pakai kebanyakan alasan. Baiklah ayo kita pergi, Sayang! Kamu udah kenyang kan?" Rena yang juga ikutan tersindir mengambil ancang-ancang untuk pergi. Dia menggandeng tangan Kak Dido dan mengajaknya ikut bersamanya.
"Ren, gitu aja ngambek!" tegurku.
"Biarin aja mereka pergi! Mereka pergi bukan karena marah tapi karena mereka nggak mau bayar makanan mereka sendiri," celetuk Kak Revan.
Rena memamerkan senyuman mautnya. Itu artinya omongan Kak Revan benar.
"Kamu selalu tahu apa yang ada dipikiranku," kata Rena kemudian senyuman itu berubah menjadi seringai tawa yang cukup lebar.
"Tentu saja aku tahu. Aku udah 17 tahun hidup sama kamu. Cepat pergi! Akan kubayar semua makanan kalian."
"Jangan-jangan! Biar aku aja! Aku ini kan pacarmu kenapa kamu minta cowok lain untuk membayarimu makan?" Kak Dido protes. Posesif juga dia ya.
"Cowok lain bagaimana? Dia kakakku sendiri!" Rena membantah. Aku dan kak Revan gantian menjadi penonton selama pasangan aneh ini berdebat.
"Tetap aja dia berkelamin pria kan?"
"Tapi dia kakak kandungku, Beb!"
"Tapi dia tetap aja cowok lain, Beb!"
"Woey!! Kenapa kalian mendebatkan aku sich? Pakai bawa-bawa kelamin pula. Sana-sana pergi!"
"Biar aku aja yang bayar makanan kita, Beb!"
Bagus! Salut buat kak Dido! Dia cowok yang punya harga diri dan nggak mau direndahkan. Ini baru namanya pria sejati, meski pun sedikit berlebihan juga sich sampai dia bisa cemburu sama kakak kandung pacarnya sendiri.
"Beb, ini kan tanggal tua. Anak kos sepertimu bisa makan mie instan di tanggal seperti ini aja udah untung lho pakai mau bayarin makan di restoran. Jangan ngeyel dech! Ikuti aja mauku! Kakakku ini uangnya banyak."
Aku melihat ekspresi Kak Dido yang tadi menggebu-gebu menjadi berubah setelah mendengar omongan Rena. Dia menggaruk-garuk kepala. Aku melihatnya sedang berfikir. Jangan sampai dia menuruti permintaan Rena, kalau iya maka lunturlah semua ke-salut-anku.
"Benar juga kamu, Beb! Terimakasih ya Revan. Hehehe.." ujar Kak Dido. Dia kemudian menjabat tangan kak Revan secara paksa. Kak Revan hanya berdehem sambil melirik ke teman satu kelasnya itu dengan geli. Pakai sok-sokan nggak mau dibayari padahal sebenernya butuh juga. Nyesel sudah muji dia.
"Kalau gitu kita duluan ya. Aku udah kenyang sekarang. Silahkan bicara berdua!" Rena berpamitan.
"Makasih traktirannya ya, Sob!" sahut Kak Dido lalu melenggang pergi bersama kekasihnya. Benar-benar pasangan yang lucu.
Aku terdiam melihat Rena dan Kak Dido yang berjalan beriringan meninggalkan kami sampai punggung mereka hilang dari pandangan. Sementara itu aku tidak sadar bahwa ada sepasang mata yang sejak tadi memperhatikanku. Aku pun menatap ke arah dua mata elang itu. Entah apa yang terjadi? Aku menjadi hilang kata-kata. Ada perasaan yang berbeda yang aku rasakan. Entah sudah berapa kali jantungku berdetak tak terkontrol seperti ini?
Drrrt... drrtt.. ponselku bergetar. Aku pun mengakhiri adegan saling pandang ini secepatnya.
"Kak Zidan," aku membaca nama si penelpon. Aku kembali melihat Kak Revan yang kini beralih memperhatikan ponselku.
"Boleh aku menerima telpon dari kak Zidan?" aku meminta ijin pada Kak Revan. Dia hanya mengangguk tanpa sepatah kata pun.
Tapi bukannya ini hakku untuk menerima telepon dari siapa pun? Kenapa aku pakai acara meminta ijin Kak Revan? Aku jadi nggak ngerti sama sikapku hari ini.
Aku menjauh dari Kak Revan saat aku menjawab panggilan dari Kak Zidan. Sesekali aku menengok ke belakang untuk melihat apa yang dia lakukan selama aku bertukar suara dengan kak Zidan. Ternyata dia hanya diam dan sesekali melihat ke arahku. Entah kenapa dengan ekspresi kak Revan yang seperti itu aku merasa bersalah menerima telepon dari cowok lain. Seolah aku sedang mengkhianatinya.
"Baiklah aku tutup teleponnya ya, kak!" kataku mengakhiri obrolan.
Aku kembali ke tempat duduk. Aku tersenyum tapi Kak Revan mengabaikan senyumku dan memasang wajah tidak suka.
"Maaf aku sedikit lama ngobrolnya."
"Naay, inilah yang mau kakak minta dari kamu. Tolong jauhi dia! Dia bukan cowok yang baik."
Jadi ini yang mau Kak Revan minta dariku? Aku pikir apaan.
"Bagaimana bisa aku jauhi dia kalau dia sendiri masih ngeyel, Kak? Malahan dia minta kesempatan sekali lagi."
"Bilang aja kalau kamu nggak mau pacaran dalam waktu dekat ini!"
"Sudah kak. Tapi dia mau nunggu aku sampai aku siap punya pacar."
"Gigih sekali orang itu. Naay, tolong kamu jangan salah paham ya! Kakak cuma khawatir. Kakak takut dia macam-macam lagi sama kamu. Kamu ngerti kan maksud kakak?"
Kak Revan menatap mataku dengan sendu. Kedua sorot matanya benar-benar menyentuh hatiku. Ketulusannya ini yang membuatku sangat menyayanginya. Dia selalu berusaha menjagaku.
"Naay, sebisa mungkin jauhi dia! Kakak benar-benar mengkhawatirkanmu," lanjutnya lagi.
"Iya, Kak Revan."
"Apa kamu bisa menjamin kalau kamu nggak akan jatuh cinta sama dia suatu saat nanti?"
"Nggak akan. Aku jamin itu,"
Tapi sebenarnya aku sendiri nggak yakin dengan apa yang aku janjikan. Memangnya aku Tuhan yang akan tahu bagaimana perasaanku nanti? Semua masih mungkin terjadi. Tapi apa aku bisa menolak takdir kalau memang Tuhan menggariskanku bersama Kak Zidan? Aku berbicara seperti itu hanya untuk meredam kekhawatiran kak Revan saja. Agar hubunganku dengannya menjadi nyaman lagi seperti dulu.
"Kakak lega dengar jawabanmu. Kamu enggak perlu khawatir kakak pasti akan selalu jagain kamu!"
"Iya aku tahu. Tapi kakak jangan terus kayak gini! Kakak juga harus mikirin diri kakak sendiri! Memangnya kakak nggak ingin punya pasangan? Jangan sampai Rena yang menikah duluan daripada kakak."
Aku menggoda kak Revan. Tapi benarkan apa yang aku bilang? Jangan sampai karena sibuk mengurusku dia jadi lupa dengan hidupnya sendiri. Kak Revan juga berhak bahagia dengan pendamping hidupnya kelak.
"Biarkan saja kalau Rena mau menikah duluan. Apa ruginya?"
"Memang kakak nggak takut kalau nggak ada cewek yang mau mendekati kakak karena kakak terus-terusan sama aku?"
"Kenapa mesti takut? Memangnya kamu macan betina sampai cewek-cewek takut mendekatiku karena ada kamu?"
"Bukannya gitu. Bisa aja kan mereka ngira aku ini pacarmu. Nanti nggak akan ada wanita yang mau nikah sama kakak."
"Kalau gitu, aku nikah sama kamu aja."
"Benarkah? Kakak udah pintar gombal ya sekarang! Dasar nakal!" aku jadi gemas dengan cowok di depanku saat ini. Aku menarik hidung mancungnya karena saking gemasnya. "Oke! Aku akan menikah denganmu nanti," aku balas menggodanya. Kami pun tertawa bersama.
*Love Behind Secrets*
*Tiyan Wijayanti*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 406 Episodes
Comments
IntanhayadiPutri
Aku mampir nih kak, udah 5 like dan 5 rate juga.. jangan lupa mampir ya ke ceritaku
TERJEBAK PERNIKAHAN SMA
makasih 🙏🙏
2021-01-13
0
Eka Bundanedinar
Padahal beneran itu si Revan
2020-09-04
0
ayyona
kereen ini 😍😎
2020-08-07
0