Visual Revan Aryasatya menurut author.. bisa pakai imajinasi masing-masing kalau kurang berkenan..
**
Hari ini ada pensi di sekolah Naayla dalam rangka ulang tahun yayasan yang ke 20 tahun. Tentu saja di sini sangat ramai dan bising. Hampir semua murid berkumpul di aula untuk menyaksikan acara tersebut. Bintang tamunya cukup keren, ada Raissa, Afgan, Rossa dan juga Tasya Rosmala. Kini giliran Tasya yang menghibur seisi sekolah. Mereka kompak ikut bernyanyi bersama penyanyi mungil dan cantik itu.
Naayla tidak tertarik dengan acara berisik seperti ini. Naayla tidak suka kebisingan. Dia suka suasana yang tenang. Meski sebenarnya dia memiliki suara yang merdu jika bernyanyi tapi dia lebih suka di keheningan.
Seperti rencananya kemarin, Naayla hendak mencari novelnya yang hilang. Dia ingat pesan Revan semalam untuk tidak sendirian. Tapi Naayla bingung harus minta ditemani siapa, Rena sedang asyik dangdutan mana mungkin dia mau ikut? Dan Revan, entah dimana dia sekarang. Naayla sudah mengirimnya chat tapi tidak dibaca juga.
Okelah, aku cari sendiri aja. Pikir Naayla.
Tempat yang pertama Naayla tuju tentunya di depan kelas Kamila. Karena di sana tempat terakhir dia bersama dengan novelnya yang malang itu.
Sesampai di tempat, Naayla celingukan. Dia mencari kira-kira dimana buku cantik itu bersembunyi.
"Kenapa nggak ada ya?" Naayla bertanya pada dirinya sendiri.
Naayla sudah menyisir area ini tapi tidak membuahkan hasil.
"Kemana lagi aku harus nyari novelku?" Naayla berputus asa.
Naayla menengok ke ruang kelas Kamila dan ternyata kosong tak berpenghuni. Dia tetap ingin mencari Kamila seorang diri. Kejadian yang sudah-sudah tidak membuat Naayla menjadi kapok untuk pergi tanpa Revan ataupun Rena. Seolah dia sudah ikhlas kalau harus mati konyol hanya demi sebuah buku.
Naayla menyusuri setiap lorong sekolah. Sepi. Kemudian ia ke kantin. Masih cukup ramai di sana tapi dia tidak menemukan Kamila and the genk di tempat tersebut. Perasaan Naayla mengatakan kalau bukunya itu disembunyikan oleh salah satu di antara mereka.
Atau mungkin mereka bergabung sama yang lainnya ya di aula? Naayla bertanya dalam hati.
Fyi, sekilas tentang Kamila Estherlita.
Dia adalah seorang model. Rambutnya keriting menggantung. Bahkan Naayla sangat ingin memiliki rambut sepertinya. Yang namanya model pasti lah dia cantik, dia juga tinggi, jika dibanding Naayla jelas Naayla kalah. Naayla hanya mampu menyamai pundak Kamila saat mereka berdiri bersebelahan. Naayla dan Kamila, keduanya termasuk siswi yang banyak diidolakan oleh para penghuni laki-laki di sekolah ini, tapi menurut Naayla, hal itu tidak cukup masuk akal untuk membuat Kamila membencinya. Soal akademis, Kamila dan Naayla juga sama-sama berprestasi, hanya saja Kamila lebih gemar ikut lomba mata pelajaran dibandingkan dirinya yang kurang percaya dengan kemampuannya sendiri.
Naayla masih menyusuri setiap sudut sekolah. Dia mempercepat langkahnya dan bahkan nyaris berlari. Suara sepatu vantovelnya yang berbenturan dengan keramik memecah keheningan di lorong yang sepi.
Saat di depan perpustakaan, Naayla mendengar seperti ada langkah kaki orang lain mengikutinya. Kontan, bulu kuduknya berdiri.
Eh, mana ada setan di siang bolong begini sich? Pikir Naayla seraya mengelus-elus tengkuknya.
Naayla mempercepat langkahnya, tapi orang yang di belakang ikut mempercepat langkahnya pula hingga suara hentakan sepatu mereka terdengar bersahut-sahutan. Naayla ketakutan.
Ya Tuhan ada siapa di belakangku? Tanya Naayla dalam hati.
Naayla masih mempercepat jejaknya. Beberapa detik kemudian Naayla merasakan sesuatu menyentuh tangan kanannya. Naayla yakin ini pasti tangan orang misterius yang sedari tadi membuntutinya. Jantung Naayla berdegup kencang, keringat dingin mengucur dengan mulus di sekujur tubuhnya apalagi saat orang itu menarik paksa Naayla masuk ke dalam ruang UKS yang gelap dan kosong tak berpenghuni.
Naayla memejamkan mata karena ketakutan yang teramat.
Oh Ya Allah lindungilah aku! Naayla berdoa di dalam batin.
Orang itu menyenderkan tubuh Naayla ke tembok. Ia bisa merasakan hangat napas seseorang yang ada di hadapannya secara langsung. Dia menghimpit tubuh Naayla. Naayla memberanikan diri membuka mata. Dan betapa kagetnya saat dia melihat seorang lelaki berseragam SMA sedang berdiri di depannya tanpa jarak sedikit pun. Iya, ini menempel namanya. Tubuh Naayla dan lelaki itu menempel.
"Ka~Ka~Kak .... Kak Zidan." Naayla menyebut nama lelaki itu dengan terbata-bata.
Lelaki itu menyunggingkan senyumnya. Naayla menangkap ada niat jahat dalam otaknya saat ini.
"Tolong minggir, Kak!" pinta Naayla dengan derai air mata yang tidak bisa lagi dia bendung.
Naayla berusaha mendorong tubuh Zidan sekuat tenaga tapi Zidan lebih kuat darinya.
"Tenanglah, Naay! Aku cuma pingin sama-sama kamu aja. Mumpung di sini sepi," katanya pelan.
"Aku mohon lepaskan aku!" Naayla meminta belas kasihan dari Zidan.
Tangisan Naayla semakin menjadi-jadi. Naayla benar-benar ketakutan. Tapi Zidan tidak mempedulikan air mata Naayla, dia justru semakin mendekatkan wajahnya.
Zidan, lelaki yang tergila-gila pada Naayla, anak pemilik yayasan yang selalu mengejar-ngejar cinta Naayla.
Zidan semakin kurang ajar, dia hendak mendaratkan sebuah ciuman di bibir Naayla yang dihiasi oleh lipsglosh berwarna pink itu.
"Jangan lakuin ini, Kak! Aku mohon! Pergilah atau aku teriak!" Naayla meminta dan menyelipkan ancaman di akhir kalimatnya.
"Teriak aja! Nggak akan ada yang dengar," tantang Zidan.
Dia terus mencoba melakukan hal menjijikan itu. Naayla terus meronta, menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri agar Zidan kesulitan menyentuh bibirnya.
Ya Allah, siapa aja tolonglah aku!
Dan ternyata Tuhan masih berbaik hati. Rasa lega langsung hinggap memenuhi ruang hati Naayla yang merasa lemah dan tidak kuasa melakukan perlawanan apa pun lagi.
Seseorang datang dan menarik tubuh Zidan dari arah belakang.
"Brengsek!" maki cowok gagah itu.
Tanpa lama-lama dia meninju pipi Zidan hingga Zidan ambruk tertelungkup. Naayla pun lolos dari cengkraman cowok kurang ajar itu. Ini kesempatan Naayla untuk mencari saklar lampu agar dia bisa dengan jelas melihat wajah orang baik hati yang menyelamatkan harga dirinya.
Lampu pun segera menyala saat Naayla mendapatkan tombol saklarnya.
"Ya Allah, Kak Revan," seru Naayla.
Naayla terperangah. Naayla menutup mulutnya yang menganga menggunakan kedua tangan menyaksikan Zidan dihabisi oleh Revan.
Revan meninju pipi Zidan hingga memar-memar. Naayla juga melihat darah keluar dari sudut bibir lelaki itu. Tapi ini tidak akan baik jika terus dibiarkan. Dia langsung berinisiatif untuk menarik tubuh Revan dan mencoba menghentikannya.
"Kak Revan, aku mohon udah cukup!" teriak Naayla agar Revan mau berhenti.
"Biar aku habisi cowok kurang ajar ini, Naay," sahut Revan yang emosinya masih meledak-ledak.
Revan benar-benar brutal hingga Zidan tidak bisa membalasnya meski hanya satu pukulan saja.
Dengan sisa-sisa tenaga, Naayla menarik tubuh Revan. Hingga akhirnya Zidan pun terlepas dari tangan Revan. Tapi dia masih belum bisa banyak bergerak. Zidan terjatuh meringkuk.
"Aku mohon hentikan!" Naayla mengatupkan kedua tangan dan menatap Revan dengan tetesan air mata yang sedari tadi tidak berhenti mengalir.
Revan mengatur napasnya yang tersengal. Dia terlihat masih emosi. Revan mengepalkan tangannya dan hendak meninju Zidan lagi. Dengan sigap Naayla menghadangnya. Naayla berdiri di depan Zidan yang terkapar dan merentangkan kedua tangannya untuk melindungi tubuh Zidan yang sudah tidak berdaya.
"Aku mohon hentikan!" pinta Naayla sekali lagi dengan terisak-isak.
Mau tidak mau Revan mengurungkan niatnya atau kalau tidak giliran Naayla yang akan kena bogem mentahnya.
Revan menatap mata Naayla dengan tajam. Tubuhnya kini sudah penuh dengan keringat. Bajunya berantakan. Begitu pun juga Zidan. Dia berusaha bangkit dan sekarang berdiri di belakang Naayla sambil mengelap sudut bibirnya yang berdarah.
"Kenapa kamu lindungi dia, Naay?" tanya Revan dengan bentakan yang terdengar menakutkan di telinga Naayla.
Revan menunjukkan jari telunjuknya ke arah Zidan dengan tatapan elangnya yang tajam.
Naayla menggelengkan kepala.
"Aku nggak lindungi dia, Kak! Aku cuma _"
"Cuma apa Naay? Jawab! Kenapa kamu belain dia?" Revan memotong perkataan Naayla yang belum selesai. Sumpah demi apa pun ini pertama kalinya Revan membentak Naayla dengan sangat kasar.
"Aku cuma nggak mau Kakak kena masalah," jawab Naayla ketakutan. Naayla bahkan tidak berani menatap mata Revan.
"Kayaknya aku yang salah paham," seru Revan sambil mengusap keringat yang mengucur di keningnya.
"Maksud kakak apa?" Naayla mendongakkan wajahnya yang tertunduk.
"Iya aku salah paham. Sepemikiranku, aku lihat cowok kurang ajar ini berusaha lecehin kamu, tapi ternyata kamu dan dia memang sama-sama mau kan, Naay? Iya kan?"
Mata Naayla terbelalak mendengar kata-kata Revan. Dia menggelengkan kepala berusaha menolak tuduhan Revan yang menyakitkan. Dia tidak menyangka bahwa pikiran Revan bisa se-negatif ini tentangnya. Naayla seperti tidak mengenal laki-laki ini lagi. Naayla pikir Revan satu-satunya orang yang akan membelanya di saat dia salah sekali pun.
"Kakak salah paham. Tolong dengerin aku dulu! Ini nggak seperti yang Kakak pikirin."
Naayla mencoba memegang tangan Revan tapi Revan menepisnya.
"Kak Zidan, coba tolong jelasin sama Kak Revan yang sebenarnya! Aku mohon!"
Zidan menyunggingkan senyumnya.
"Apalagi yang perlu dijelasin, Naay? Revan udah pintar untuk nilai yang sebenarnya kok, mungkin dia iri pingin kamu cium juga," sahut Zidan dengan santai dan tanpa beban. Sepertinya pukulan Revan tidak membuatnya menjadi tumbang, dia masih bisa setenang itu, entah dari mana dia mendapatkan kekuatan setelah tadi ambruk tanpa tenaga.
Revan melirik ke arah Zidan seperti hendak menerkam laki-laki itu lagi.
Naayla marah. Jelas dia kecewa. Zidan menfitnahnya dengan tuduhan yang menjijikkan.
"Omong kosong apa ini, Kak? Cepat tarik omonganmu tadi! Kamu yang maksa mau cium aku. Aku nggak mungkin lakuin hal seburuk itu. Ayo jelasin sama Kak Revan!" Naayla meneriaki Zidan dengan histeris. Dia memukuli dada Zidan berkali-kali. Tapi Zidan tidak bergeming.
Revan menatap Naayla dengan penuh kekecewaan.
"Kamu keterlaluan, Naay," maki Revan.
"Aku mohon percaya sama aku, Kak!" Naayla memegang tangan Revan tapi Revan menepisnya lagi dan melenggang pergi meninggalkan Naayla.
"Kamu benar-benar jahat, Kak. Apa salahku sama kamu?" Naayla.
"Salahmu karena kamu nggak pernah nanggapi perasaan aku, Naay. Aku sayang sama kamu."
"Sudah berkali-kali aku bilang aku nggak mau dan nggak ingin pacaran dulu. Nyesel aku udah nyegah Kak Revan, seharusnya aku biarin kamu mati dihajar sama dia."
Zidan menarik tangan Naayla saat gadis itu hendak pergi meninggalkannya, "Apa pentingnya Revan buat kamu? Dia terlalu membatasi setiap lelaki yang mencoba mendekatimu termasuk aku. Dia itu orang lain, tapi bertingkah seperti dia itu kekasihmu."
"Dia kakakku. Kedua orang tuaku memasrahkan keselamatanku sama dia. Dia hanya ingin menjagaku dari laki-laki mesum sepertimu."
"Ingat aku baik-baik, Naay! Aku nggak akan nyerah sampai aku dapetin kamu."
"Terserah."
Naayla menarik tangannya dengan paksa kemudian berlalu pergi meninggalkan Zidan.
PoV Naayla*
Aku menangis sendirian di dalam kelas. Perasaanku benar-benar campur aduk. Marah, sedih, takut dan kecewa semua membaur menjadi satu. Kenapa aku tidak bisa sehari saja hidup tenang di sekolah ini? Kalau bukan Kak Kamila gantian Kak Zidan yang menggangguku. Tapi ini sangat parah dan lebih sakit dari luka yang kemarin. Kak Revan menuduhku yang tidak-tidak. Kak Zidan membuatku seperti cewek nakal di depan Kak Revan. Aku tahu dia menyukaiku sejak pertama kali aku masuk ke sekolah ini tapi dia tahu aku tidak mau punya pacar. Aku tidak menyangka dia akan tega melakukan hal sebejat ini sama aku. Seandainya kak Revan tidak datang tepat waktu entah apa jadinya aku sekarang? Dan bukannya aku tidak tahu terima kasih, aku cuma tidak ingin Kak Revan terkena masalah.
"Naay, apa kamu di sini?" Suara seseorang membuyarkan lamunanku.
Itu suara Rena.
"Hei, Sahabatku Sayang," sapanya sumringah saat berada di ambang pintu lalu kemudian berjalan menghampiriku.
Aku mengusap air mataku sesegera mungkin.
"Kamu nangis? Apa Kamila gangguin kamu lagi?" tanya Rena serius. Dia berdiri di sebelahku sekarang.
Aku memeluk pinggang Rena kemudian menangis lagi.
Rena mengusap-usap kepalaku.
"Hei ceritain sama aku! Apa yang terjadi?" Rena mengkhawatirkan keadaanku.
Aku masih belum bisa bercerita banyak. Aku masih ingin menangis saja sampai aku lega. Lalu Rena memintaku untuk minum air mineral yang tadi dibawanya agar aku sedikit tenang. Aku menurut dan kuhabiskan separuh botol air itu dengan sangat cepat.
"Sudah lebih tenangkan? Sekarang cerita! Siapa yang bikin kamu nangis kayak gini?"
Setelah Rena duduk di kursi yang ada di sebelahku, dengan masih terisak aku menceritakan semua yang terjadi mulai dari awal hingga akhir.
Rena menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Ya Allah, jijik banget. Kak Zidan benar-benar udah dibuat gila sampai dia nekad ngelakuin apa pun untuk dapatin kamu," komentar Rena setelah aku menyelesaikan ceritaku.
"Percaya sama aku, Ren! Aku korban di sini. Mana mungkin aku ngelakuin hal segila itu?"
"Iya-iya aku percaya. Kamu kan cewek abnormal jadi mana mungkin kamu mau diajak ciuman sama cowok."
Aku mengerutkan keningku mendengar statement Rena yang selalu diselipi dengan ledekan.
"Maksudmu apa bilang aku abnormal? Aku masih lurus, Ren. Aku masih suka cowok. Gila lu ya!" aku memaki Rena dengan kesal. Dia memang susah sekali diajak ngomong serius.
"Sekarang coba dipikir baik-baik! Cowok sekelas kak Zidan yang ganteng, baik dan kaya kamu enggak mau. Bukannya itu termasuk gejala abnormal?"
"Bukan aku yang abnormal tapi Zidanlah yang abnormal, di sini kan banyak cewek cantik selain aku, bisa aja kan dia gantian ngejar-ngejar Kak Kamila, dari pada itu cewek uring-uringan terus sama aku.,"
"Tapi sepertinya Kak Zidan nggak tertarik sama cewek garang kayak Kamila, dia suka yang kalem-kalem blo*n kayak kamu, Naay. Hahaha." Rena terkekeh.
Tanpa lama-lama aku menimpuk kepala Rena dengan botol kosong, "Enak aja ngatain aku bl*on."
Rena mengelus-elus kepalanya, "Sakit ini coey," keluhnya.
"Bukan hal ini yang mau aku bahas sama kamu ya. Aku mikirin Kak Revan. Bagaimana caranya biar dia mau ngerti dan percaya sama aku?"
"Tenang-tenang! Nanti aku bantuin kamu buat ngomong sama dia. Don't worry!" Rena berusaha melegakan hatiku.
"Gimana aku nggak khawatir? Ini masalah harga diriku sebagai cewek. Pacaran aja aku nggak mau apalagi ngelakuin hal mesum kayak gitu?"
"Iya-iya aku ngerti kok. Aku pasti bantuin kamu baikkan lagi sama Revan. Tenanglah! Selama ada aku semua aman."
Sok banget Si Rena. Bukannya kalau ada dia urusan akan semakin kacau? Tapi biarlah, aku mau lihat seberapa bisa dia mengatasi masalahku ini.
PoV Naayla Off*
**
Rena mengetuk kamar kakaknya.
"Van, kamu di dalam kan?" tanya Rena sedikit berteriak.
"Masuk!" perintah Revan.
Saat Rena membuka pintu, dia melihat Revan sedang berbaring di atas tempat tidur sambil memijit keningnya dengan satu tangan. Rena tidak pernah melihat kakaknya seperti ini sebelumnya.
Dia pasti sedang memikirkan sesuatu. Pikir Rena.
"Kamu kenapa?" tanya Rena penasaran.
Revan beranjak dan duduk di sebelah adiknya.
"Aku nggak kenapa-kenapa," jawabnya dengan nada tidak bersemangat.
Revan bohong. Aku tahu dia sedang memikirkan sesuatu. Pikir Rena lagi.
Rena mengamati wajah kakaknya, tidak ada luka. Wajah tampan kakaknya masih mulus tanpa lecet seditkit pun.
"Kenapa lihatin aku?" tanya Revan tidak nyaman. Dia memalingkan wajahnya.
"Sungguh hebat kakakku ini! Kenapa kamu nggak ikut kejuaraan MMA aja?"
Revan mengerutkan kening mendengar pertanyaan adiknya. Dia menyipitkan mata dan mulai balik bertanya.
"Maksudnya apa? Pasti Naayla yang cerita. Mereka pacaran di lingkungan sekolah. Malu-maluin," gerutu Revan. Amarahnya masih belum padam.
"Pacar? Siapa yang pacaran sama Zidan? Kamu salah sangka, Van. Naayla cuma takut kamu kena masalah. Terus kalau Zidan mati gimana sama nasib kamu? Mau membusuk di penjara?"
"Bodo!"
"Terus kalau dia luka parah dan orang tuanya enggak terima, kamu bisa kena masalah juga kan? Apalagi dia anak pemilik yayasan, bisa jadi kamu dikeluarin dari sekolah!"
"Terus maksudnya kamu mau belain Naayla?"
"Karena memang dia enggak salah. Dia itu tadi mau nyari novelnya yang hilang. Katanya dia udah chat kamu tapi enggak kamu baca."
Revan langsung berdiri dan mengambil tas sekolahnya. Dia aduk-aduk isinya.
"Nyari apaan sich?" tanya Rena.
Beberapa detik kemudian Revan menemukan barang yang dia cari yaitu ponselnya.
Matanya fokus pada layar ponsel dan tangannya terus menari di atas touchscreen bak mencari suatu informasi yang penting.
"Iya, Naayla ngirim sepuluh chat ke aku tadi pagi," kata Revan sambil berjalan perlahan dan duduk di samping adiknya.
"Nah kan benar. Berarti sekarang kamu percaya kan kalau dia nggak salah?"
Revan terdiam kemudian meletakkan ponselnya.
"Nggak. Perasaanku bilang kalau ada hubungan di antara mereka," sahut Revan memecah kebisuannya.
Rena melihat raut wajah kakaknya berubah menjadi sedih.
"Kalau pun benar mereka pacaran, lalu apa masalahnya?" tanya Rena dengan santai sambil merebahkan tubuhnya di kasur empuk yang dia duduki saat ini.
"Naayla itu masih kekanak-kanakan. Dia masih belum pantas pacaran," Revan menjawab pertanyaan Rena dengan nada yang meninggi dan terkesan ada amarah di dalamnya.
"Kenapa memangnya? Kamu juga sering bilang aku kekanak-kanakan tapi kamu enggak pernah sedikit pun melarangku untuk punya pacar," bantah Rena.
"Karena kamu beda sama dia. Dia belum bisa jaga diri."
"Tapi kamu juga enggak bisa larang dong, Van. Itu kan hak Naayla. Kalau memang benar Naayla sama Kak Zidan pacaran, ya udah kamu nggak perlu marah juga kali." Rena masih membantah. Dia merasa Revan terlalu mengada-ada.
Revan memilih untuk kembali diam. Pandangan matanya menerawang ke sembarang arah. Melamun. Terjebak dengan pikiran dan perasaannya sendiri.
Rena menyadari ada yang berbeda dengan kakaknya. Dia menangkap sebuah rasa yang hadir dalam diri Revan. Iya, Rasa cemburu! Rena yakin benar, kakaknya ini sedang jatuh cinta dan itu pada Naayla.
Rena memandangi wajah Revan yang memang terkesan tanpa ekspresi, tapi buatnya bukan hal sulit untuk mengartikan setiap pikiran kakaknya.
"Kenapa?" tanya Revan dengan dingin sambil mengalihkan wajahnya dari tatapan Rena.
"Kamu cemburu kan?" Rena balik bertanya.
Revan tidak langsung menjawab pertanyaan Rena. Selang beberapa detik dia baru menjawab.
"Konyol! Aku cuma khawatir. Dia udah kayak adikku sendiri," ujar Revan.
Rena terdiam menatap kakaknya yang berlalu pergi menjauhinya. Lelaki itu mengambil jaket yang tergantung di hanger dan memakainya. Revan pergi tanpa sepatah kata pun. Tapi Rena membiarkannya, dia tidak mau banyak bertanya lagi. Mungkin Revan sedang butuh sendiri untuk berpikir.
Kemudian ponsel Rena berdering.
"Naayla," Rena membaca nama penelpon yang tertera di layar ponselnya.
"Hallo, Naay!" sapa Rena mengawali pembicaraan.
"Gimana? Apa Kak Revan udah maafin aku?" tanya Naayla dari ujung telepon.
Udah kuduga dia pasti mau nanyain tentang hal ini. Batin Rena.
"Belum," jawab Rena singkat dan tidak bersemangat.
"Belum? Ya Allah. Aku udah tahu, nyerahin masalah ini sama kamu nggak akan bisa memperbaiki keadaan," omel Naayla.
"Revan cemburu kalau kamu dekat-dekat sama Kak Zidan." Rena mengutarakan hasil penyelidikannya.
"Aku sama sekali nggak dekat sama Kak Zidan. Ada-ada aja kamu ini."
"Tapi Revan berpikir kayak gitu. Udahlah ngaku aja kalau memang kalian pacaran!"
"Ya Allah, apa kakak beradik ini udah kehilangan akal sehatnya? Oke, biar aku ke rumahmu sekarang, aku mau ketemu kak Revan."
"Revan nggak ada di rumah."
"Yang benar kamu?"
"Ngapain aku bohong sich? Ngeselin banget ini orang." Rena meneriaki Naaayla sekencang-kencangnya.
"Hei, jangan teriak kayak gitu ya! Kamu pikir aku nenek-nenek tuli apa? Oke, aku mau nyusul kak Revan sekarang!"
"Memang kamu tahu dia dimana?"
"Kalau aku nggak tahu gimana aku bisa nyusul? Ya jelas aku tahu lah."
"Ya udah cepat pergilah! Good luck."
"Tut ... tut ... tut .... "
Telepon pun terputus.
**
PoV Naayla*
Setelah menelpon Rena, aku bergegas menuju ke tempat yang aku maksud. Aku yakin kak Revan pasti ada di sana. Aku harus menemuinya karena aku tidak akan bisa tidur dengan nyenyak sebelum bicara dengannya. Setelah kejadian, itu kami memang belum sempat bertemu lagi. Sempat terpikir untuk menjelaskannya lewat chat tapi aku rasa cara ini kurang sopan.
"Naay, kamu beneran mau nyusul Revan?" Rena bertanya saat ia melihatku keluar dari rumah. Iya, posisi rumah kami memang berhadap-hadapan.
"Iya bener," jawabku singkat sambil membuka pagar rumah kemudian menutupnya lagi.
"Mau aku temani?" tanya Rena menawarkan.
"Nggak usah. Biar kami bicara berdua," jawabku.
"Hmm.. Oke. Hati-hati ya!"
Aku melangkahkan kakiku dengan speed yang lumayan cepat. Aku nggak mau berlama-lama. Aku ingin segera bertemu dengan kak Revan. Tapi, angin di malam ini sangat kencang hingga membuat sekujur tubuhku merinding dibuatnya. Aku mendekap tubuhku dengan kedua tangan. Saking terburu-burunya aku sampai lupa mengenakan jaket.
Benarkan dia di sana. Di sebuah taman kecil yang tak jauh dari rumah kami. Dia sedang duduk diam sambil memandang ke atas langit. Dia sama sepertiku, aku juga selalu kemari saat aku sedih. Saat malam hari keadaan di sini memang sangat sepi. Akan terasa nyaman merenungkan segalanya di tempat ini.
Perlahan aku mendekati Kak Revan. Nampaknya dia belum menyadari kedatanganku. Dia masih sibuk dengan lamunannya. Aku meletakkan tanganku di pundaknya. Aku pikir dia akan kaget dan terperanjat tapi ternyata dia masih tetap dengan gayanya yang cool.
Aku mendudukkan pantatku di sebelah kak Revan. Dia mulai menatapku.
"Ngapain ke sini?" tanya Kak Revan. Dari suaranya aku menilai dia masih marah sekali denganku.
"Nyariin kakak. Kata Rena kakak lagi keluar."
"Tapi aku nggak bilang mau pergi kemana, kenapa kamu bisa tahu?" tanyanya heran.
"Aku tahu semua tentangmu, Kak," jawabku so sweet sekali.
"Terus mau ngapain nyariin kakak?"
"Mau ngomongin soal yang tadi siang. A _"
"Udahlah! Enggak perlu dibahas lagi!" potong Kak Revan dengan cepat.
"Gimana bisa kita enggak perlu bahas ini? Kakak aja masih marah. Ayolah, aku nggak suka kakak kayak gini sama aku."
"Aku nggak marah. Siapa bilang aku marah? Apa hakku marah? Kamu bebas pacaran sama siapa pun."
Aku geleng-geleng kepala.
"Siapa yang pacaran? Ya ampun, kalau aku mau pacaran mungkin udah dari dulu. Aku cantik, banyak yang mau sama aku."
"O ... gitu? Ngerasa cantik terus mau diobral? Selamat dech udah jadian sama Zidan."
"Astagfirullah. Bukan gitu maksud aku, Kak. Aduh ... aku nggak pacaran sama Zidan juga. Gimana jelasinnya sich?"
"Nggak perlu dijelasin!" sentak Kak Revan.
"Kakak, jangan kayak gitu dong! Aku beneran nggak ada apa-apa sama Zidan. Aku cuma khawatir kamu kena masalah udah itu doang."
"Terus?"
"Kak."
"Hmm .... "
Kak Revan memalingkan wajahnya tidak mau menatapku sedikit pun.
Aku terus membujuknya tidak peduli dengan sikap acuhnya itu. Aku melingkarkan tanganku di lengan Kak Revan dengan kepala yang aku sandarkan di bahunya. Dia melirikku. Aku tersenyum.
Sampai akhirnya aku merasa hidungku kegelian, seperti ada yang menggelitik di dalamnya.
"Hatchiiing ... haatchiing." Aku bersin beberapa kali.
Dingin sekali memang. Aku mendekap tubuhku dengan kedua tangan. Lama-lama mungkin aku bisa kena hipotermia.
Aku melihat kak Revan melepaskan jaket hitam yang dia kenakan. Mau apa dia? Aku saja kedinginan kenapa dia malah melepas jaketnya?
"Pakailah! Kamu bisa sakit," katanya kemudian meletakkan jaketnya membalut tubuhku. Aku terpaku menatap Kak Revan. Ini seperti kisah romantis yang sering aku baca di novel-novel koleksiku. Tapi romantis apanya? Aku dan cowok di hadapanku saat ini hanya berteman saja. Kasih sayang yang tumbuh di antara kami tidak lebih dari sekedar kakak ke adiknya.
"Terima kasih. Tapi kakak udah nggak salah paham lagi sama aku kan?" tanyaku sambil merapatkan jaket Kak Revan ke tubuhku.
"Nggak perlu dibahas lagi! Sekarang pulang sana! Di sini dingin banget."
"Aku nggak mau pulang kalau kakak belum maafin aku."
"Astagfirullah. Keras kepala banget. Sana pulang!"
"Pokoknya nggak mau ya nggak mau." Aku masih tetap pada pendirianku.
Kak Revan menarik napas dalam-dalam.
"Kakak mohon pergilah dari sini!" perintahnya.
Aku menggelengkan kepalaku dengan tegas.
"PERGILAH, NAAYLA! BIARIN AKU DI SINI SENDIRI!" Kak Revan meneriakiku. Betapa kagetnya aku. Mataku mulai berkaca-kaca. Kenapa sekarang dia hobi sekali membentakku? Dan dia pasti paham kalau sikapnya ini telah menyakitiku.
"Maafin kakak! Tapi tolong pergilah!" Kak Revan menurunkan nada suaranya.
Akhirnya aku menurut dari pada aku harus mendengarnya membentakku lagi. Sepanjang perjalanan aku menangis sambil mendekap tubuhku dengan jaket kak Revan yang masih terbalut rapi. Aku sangat kecewa tidak bisa menyelesaikan masalah Ini malam ini juga. Ini pertama kalinya kami bertengkar sepanjang sejarah persahabatan kami.
Silahkan tinggalkan jejak ya readers kesayangan! Jangan lupa like, vote dan love ya! Terimakasih sudah membaca.. 🙏
.
.
.
.
*Love Behind Secrets Jilid 1*
*Tiy Wijaya*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 406 Episodes
Comments
Fatma ismail
revan cembokur
2020-11-08
0
BlackShadow
thor aq baca ya
2020-09-04
1
Angela Jasmine
Hai mark prin 😂😂😂
2020-07-30
0