Visual Renata Aryasatya. (Search from google)
-#-
PoV Naayla *
Hari minggu yang cerah. Senyum matahari menyambutku dari balik jendela kamar. Aku berjalan menuju balkon. Aku berdiri menghadap ke depan dengan menopangkan badan di pagar dan meletakkan kedua tanganku bertumpu di atas pagar itu pula. Aku menatap ke seberang sana. Ada balkon juga. Biasanya aku melihat si penghuni kamar selalu melakukan hal yang sama saat pagi seperti yang aku lakukan saat ini. Tapi beberapa hari ini aku tidak pernah melihatnya lagi. Iya, itu kamar Kak Revan. Kamar kami memang berhadap-hadapan. Dan aku kehilangan momen dimana kami selalu saling sapa dan melambaikan tangan saat kita sama-sama sedang di atas seperti ini.
Sejak kejadian saat aku dipermalukan oleh Kamila dan gengnya, aku belum lagi berkomunikasi dengan Kak Revan. Dia mendiamkanku. Tidak berbicara ataupun bertukar chat seperti yang biasa kami lakukan. Aku merasa jarakku semakin jauh dengannya. Terlebih saat dia tahu kalau Kak Zidan semakin sering menghubungiku, aku semakin merasa asing untuknya. Tapi, aku sedikit lega karena Kak Zidan sudah membuktikan ucapannya. Sekarang tidak ada satu pun penghuni sekolah yang berani mengolok-olokku lagi.
Aku terbiasa mengisi hari-hariku bersama kak Revan. Bercanda, tertawa dan menangis pun kita bersama. Sejak kecil kami tidak pernah terpisahkan. Dimana ada aku di situ selalu ada Kak Revan dan juga Rena. Kami tumbuh bersama seperti saudara kandung. Memang terkadang selalu ada selisih paham, apalagi aku dan Rena, kami selalu mendebatkan sesuatu dari yang penting sampai yang tidak penting sekali pun bisa jadi bahan pertengkaran.
Tapi Kak Revan? Aku nggak pernah menyangka gara-gara Kak Zidan dia kini sangat jauh berubah. Dia mulai senang membentakku. Dia sudah tidak percaya lagi denganku, bahkan dia sama seperti yang lainnya, sama-sama menganggapku cewek gampangan yang bisa melakukan hal menjijikkan bersama seorang pria. Mana kak Revanku yang dulu? Yang tutur katanya selalu lembut. Dia memang bukan orang yang banyak bicara, tapi dia selalu bersedia menjadi tempatku berkeluh kesah, menasehatiku saat aku salah dan membelaku saat aku lemah. Sungguh aku sangat merindukanmu, Kak.
"Dooooooor!!" suara cempreng dan kencang mengagetkanku yang sedang melamunkan Kak Revan.
Dia berteriak sambil memukul punggungku hingga aku terperanjat dan spontan membalikkan badanku ke arah makhluk pengganggu itu.
"Rena!! Usil banget kamu ya!!! Kalau aku terjun ke bawah gimana? Dasar bodoh!!" umpatku kesal.
Tapi dia justru tertawa terpingkal-pingkal melihat kekesalanku.
"Salah sendiri pagi-pagi udah melamun," balasnya sambil merangkul pundakku.
"Kamu juga pagi-pagi udah di kamar orang."
"Orang? Bukannya kamu sejenis tumbuh-tumbuhan?" dia mulai meledekku.
"Bukan. Aku bukan tumbuh-tumbuhan. Aku sejenis amoeba yang bisa membelah diri. Puas kan kamu?"
"Hahahaha... Amoeba? Baiklah! Jadi kamu nggak perlu suami untuk berkembangbiak."
"Iya.. iya.. aku akan seumur hidup seorang diri. Itu lebih baik daripada aku harus dibuat pusing dengan makhluk hidup bernama lelaki."
"Jangan bilang begitu bodoh! Bagaimana kalau omonganmu didengar sama Allah?"
"Biarin! Emang gue pikirin!!"
"Naay, kita jalan-jalan ke mall yuk! Aku bosan di rumah."
"Bersama kakakmu juga?"
"Iyalah! Bersama Kak Dido juga. Kita double date. Pasti bakalan seru."
"Double date?"
Rena mengangguk.
"Aku dengan Dido dan kamu dengan Revan. Kita naik motor aja biar seru."
Apa-apaan anak ini? Bukannya dia tahu hubunganku dengan kakaknya lagi bentrok? Bahkan sudah hampir satu minggu kita tidak berkomunikasi. Lalu bagaimana bisa aku berboncengan dengan kakaknya?
"Aku nggak mau ikut! Kakakmu itu masih nggak mau ngomong sama aku," tolakku tegas sambil berjalan masuk ke dalam kamar.
Rena membuntutiku.
"Maka dari itu aku mengajakmu. Biar hubungan kalian membaik lagi. Udah lama kan kita nggak jalan bareng?"
Aku hanya menggeleng-gelengkan kepalaku sembari melipat kedua tanganku di depan dada.
"Ayolah!! Please!!" Rena memohon seperti anak kecil yang meminta dibelikan es krim pada ibunya.
"Kalaupun aku mau kakakmu pasti menolak."
"Nggak akan! Aku jamin," sautnya kegirangan.
"Oke. Aku mandi dulu ya."
**
Rena PoV*
Selama menunggu Naayla mandi, aku iseng-iseng melihat koleksi novel yang tertata rapi di rak bukunya. Sudah lumayan banyak juga. Dan salah satu orang yang kerap membelikan Naayla buku adalah kakakku. Entah berapa biji novel yang Revan berikan untuk Naayla. Aku saja hanya memintanya membelikan buku tulis yang harganya jauh lebih murah dia tidak mau. Bukannya aku iri, hanya saja aku merasa Revan berlebihan memperhatikan sahabatku ini. Oke aku tahu kami sudah dekat sejak balita, tapi apa benar dia tidak memiliki rasa apa pun untuk Naayla? Meski dia menganggap Naayla adik tapi pada kenyataannya mereka bukan kakak adik. Dan bukan hal yang mustahil kalau tanpa Revan sadari dia sudah mencintai Naayla melebihi cintanya padaku.
Aku masih menyisir novel-novel milik Naayla. Tapi aku tertarik pada satu buku bercover warna pink berjudul "Hati Yang Patah". Inikan novel yang beberapa hari lalu hilang. Yang kata Shelin novel ini pemberian dari kak Zidan. Seingatku Naayla juga tidak menyangkal kata-kata Shelin, berarti benar dong ini novel pemberian kak Zidan. Kenapa Naayla selalu merahasiakan hal-hal yang berhubungan dengan kak Zidan padaku dan juga kakakku? Apa diam-diam dia sudah punya rasa juga pada kak Zidan? Sejak kejadian itu aku memang belum bertanya lagi padanya tentang hal ini. Aku ingin dia bercerita sendiri karena keinginannya. Tapi setelah kutunggu-tunggu dia tidak cerita juga.
Aku mengambil novel tersebut, kebetulan Naayla juga sudah selesai mandinya.
"Naay, apa benar ini novel yang hilang saat kamu jatuh di depan kelas Kamila?" tanyaku sedikit berbasa-basi sambil menunjukkan novel itu pada Naayla.
Naayla yang sedang mengeringkan rambutnya dengan hairdriyer hanya menganggukan kepala.
"Banyak sekali yang kamu rahasiain dari aku dan juga Revan sekarang," kataku lagi dengan intonasi suara yang menunjukkan bahwa aku sedikit kecewa dengan sikapnya.
"Maksudmu?" tanya Naayla singkat sambil mematikan hairdriyer-nya.
"Saat Kak Zidan mengantarmu pulang kamu nggak cerita. Dan tentang novel ini kamu juga nggak cerita."
"Hanya dua hal lalu kamu bilang banyak?"
"Itu banyak Naay. Dulu malah nggak ada satu pun rahasia di antara kita."
"Bukan begitu, Ren. Kamu salah paham. Aku cuma berfikir kalau itu bukan hal yang penting untuk aku ceritain."
"Kita selalu cerita dari hal yang nggak penting sampai hal yang penting sekali pun. Apa karena ini tentang Zidan?" aku terus menyangkal pembelaan yang Naayla lontarkan.
Naayla sedang memakai lipglosh sekarang. Dan karena mendengar pertanyaanku dia lantas menghentikan aktivitasnya. Dia merubah posisinya yang tadinya menghadap ke kaca rias sekarang beralih menghadapku.
"Kenapa kamu tanya begitu? Aku cuma nggak antusias ngomongin tentang kak Zidan sama siapa pun. Kamu tahu kan banyak cewek-cewek di luaran sana memusuhiku karena kak Zidan, itulah sebabnya aku selalu memilih diam."
"Termasuk sama aku dan Revan?"
Naayla melanjutkan lagi aktivitasnya yang sempat terganggu. Dia sedang menyisir rambut panjang lurusnya. Dia kembali menghadap ke cermin dan memunggungiku yang berdiri di belakangnya.
"Aku tahu mulutmu itu ember. Nanti kamu pasti akan berkoar-koar ke sana kemari kalau aku beritahu. Dan kakakmu kan sejak dulu nggak pernah suka sama Kak Zidan, dia pasti akan bereaksi yang berlebihan kalau aku cerita sama dia," Naayla menjelaskan.
"Dan kata Revan dia lihat Zidan kemari beberapa hari yang lalu apa itu benar?"
"Hmm..." Naayla mengangguk, "Setelah accident foto yang kamu sobek-sobek, sorenya dia kemari untuk minta maaf dan dia minta aku untuk memberi dia kesempatan sekali lagi."
"Kesempatan apa maksudnya?"
"Kesempatan untuk mendekatiku lagi."
"Naay, apa kamu udah gila? Jelas-jelas dia hampir nglecehin kamu lho tapi kamu masih mau ngasih dia kesempatan lagi?"
"Aku udah nolak berkali-kali, aku juga udah minta dia untuk nggak nemuin aku lagi tapi dia keras kepala. Terus aku harus gimana?"
"Kalau gitu kamu harus adil!"
Aku melihat Naayla mengerutkan dahinya dari pantulan cermin di depannya.
"Adil kenapa lagi sich, Ren?"
"Beri Revan kesempatan juga!"
Jawabanku membuat Naayla harus kembali menghentikan aktivitasnya. Dia beralih padaku lagi.
"Apa badanmu demam, Ren?" tanya Naayla sambil memegang dahiku dengan punggung tangannya.
"Aku nggak bercanda, Naay," kataku serius kemudian menurunkan tangannya dari keningku.
"Beri Revan kesempatan yang sama kayak Zidan!" pintaku.
Naayla memandangku dengan tajam. Mungkin dia sedang mencerna permintaanku.
"Kurang dekat apalagi aku sama kakakmu? Kenapa kamu ngomongnya seolah-olah aku akan jauhi dia karena Kak Zidan? Bukannya ini terbalik? Justru kakakmu yang ngejauhi aku."
"Naay, sebutlah namanya! Daritadi aku dengar kamu terus-terus memanggil Revan kakakmu, kakakmu."
"Harusnya kamu tahu perasaanku! Aku kecewa banget sama sikapnya. Aku nggak ngelakuin apapun. Aku cuma korban, Ren. Saat ini aku sangat butuh dia tapi dia malah kayak gitu."
Aku melihat gurat kesedihan di wajah Naayla. Iya aku tahu Revan keterlaluan. Tapi aku paham kenapa dia begitu. Dia hanya tidak rela saja kalau Naayla dekat dengan cowok lain selain dirinya. Hanya Naayla saja yang tidak peka.
"Aku juga sedih melihat kalian seperti ini. Tapi dia begini karena dia cemburu."
"Aku tahu kak Revan menyayangiku. Dia hanya terlalu mengkhawatirkan aku sama seperti dia mengkhawatirkanmu. Itu beda dari cemburu."
"Sejak kapan Revan mengkhawatirkanku? Apa kamu pernah lihat dia marah saat aku punya pacar baru? Tapi dia selalu marah kan saat kamu bersama Zidan atau cowok lainnya?"
"Jangan buat aku menjadi salah paham dan mengartikan kasih sayang kakakmu buat aku melebihi rasa sayangnya buatmu! Aku dan kamu berada di tempat dan posisi yang sama di hatinya. Kamu adiknya dan aku pun juga adiknya."
"Tapi, Naay..."
"Sudah cukup! Tidak perlu membahas soal ini lagi!"
"Iya-iya! Aku akan mengunci mulutku!!"
Drrrt.. drrt.. ponselku bergetar. Pesan dari Dido ternyata.
My Luph : Sayang ak sdh drmhmu. cptlah kluar!
Aku : Wait! Ak sdng menjmpt Naayla, yang.
"Naay, Dido sudah menungguku. Ayo kira turun!"
Aku turun duluan. Kemudian Naayla menyusul di belakangku. Setelah berpamitan dengan Mama dan Papa kami pun berjalan beriringan keluar rumah.
Sesampainya di rumah, aku melihat Dido dan juga Revan sedang asyik ngobrol berdua di teras rumah. Naayla kelihatan salah tingkah dan tidak nyaman bertemu dengan kakakku. Aku juga melihat Revan mencuri pandang ke arah Naayla. Naayla sangat cantik dengan rambut hitam panjangnya yang terurai, bedaknya juga natural dan lipglosh berwarna pink muda yang sangat cocok menghiasi bibir tipisnya. Kecantikan sahabatku ini masih alami layaknya remaja seusia kami.
"Aku ambil tas dulu ya!" pamitku.
5 Menit kemudian.
"Let's go!" ajakku girang dan memecahkan keheningan yang tercipta.
"Mana kunci mobilnya? Kenapa tidak kamu ambil sekalian?" Revan bertanya padaku.
"Bukannya ban mobil kita bocor? Kita naik motor aja! Aku sudah menelpon bengkel untuk mengganti bannya dengan yang baru."
"Bocor darimananya? Semalam masih baik-baik saja."
"Pagi-pagi sudah mengajakku berdebat??" Aku meneriaki kakakku, "Lihat sendiri sana kalau nggak percaya! Ayo sayang kita berangkat duluan saja!"
Aku menggandeng Dido dan hendak berjalan ke arah motor pacarku yang terparkir di depan rumah.
"Ren.. Ren.. tunggu dulu! Terus aku gimana?" tanya Naayla sambil menarik lenganku.
"Pergilah sama Revan! Jangan ganggu kami! Daaah sayangku Naayla yang cantiik," jawabku santai kemudian melenggang pergi meninggalkannya bersama Revan.
-#-
Naayla PoV*
Rena benar-benar keterlaluan. Aku pikir dia hanya bercanda. Ternyata dia memang sudah mengatur rencana supaya aku bisa pergi berdua dengan kakaknya. Terus aku harus bagaimana sekarang? Kak Revan berdiri di depanku dengan pandangan mata tertuju pada adiknya yang berlalu pergi meninggalkan kami di sini. Apa aku batalkan saja ya perginya? Daripada aku harus pergi sama patung manequin yang sejak tadi hanya diam seperti ini.
"A-aku nggak jadi pergi saja."
Terpaksa aku duluan yang buka suara meskipun sebenarnya gengsi juga.
"Tunggulah sebentar! Aku akan mengambil jaket dan kunci motorku dulu," saut kak Revan.
Kak Revan menarik tanganku saat aku hendak pergi meninggalkannya. Seketika mataku terfokus pada tangannya yang masih mencengkeram lenganku kuat-kuat. Merasa aku perhatikan dia pun melepaskannya.
Sambil menunggu kak Revan, aku berjalan ke arah garasi rumahnya. Di sana motor sport kak Revan terparkir di sebelah mobil hitam yang tadi kata Rena bannya kempes. Iseng-iseng aku memeriksanya. Ternyata beneran kempes. Tapi semalam aku lihat Rena dan Dido berada di sekitaran mobil ini. Mereka celingak celinguk lalu berjongkok, entah apa yang mereka lakukan aku hanya melihat dari balkon kamarku. Tingkah mereka benar-benar mencurigakan saat itu. Nggak salah lagi Ini pasti ulah Rena dan pacarnya.
"Naay, pakai dulu helmnya!" seru kak Revan mengagetkanku.
Aku mengambil helm itu dari tangannya. Aku mencoba memasangnya. Tapi belum juga kepalaku masuk ke pelindung kepala tersebut, tiba-tiba angin kencang datang berhembus menerbangkan rambutku hingga menutupi wajahku seluruhnya. Aku tetap berusaha memakai helm itu sambil menyibakkan rambutku berulang-ulang. Ternyata susah sekali melakukan 2 pekerjaan bersamaan dalam satu waktu.
Kak Revan menyadari aku kesulitan memakai helmnya. Dia yang berdiri di depanku berusaha menyibakkan rambut yang menutupi wajahku, kemudian dia kumpulkan semua rambutku ke belakang dan dia genggam dengan kuat hingga tidak ada satu pun helai yang bisa terbang tertiup angin. Aku melihat ke arahnya begitupun juga dia. "Deg.." Ada sesuatu yang bedesir di jantungku. Biasanya jantungku berdebar kala aku bertemu Kamila, karena pasti akan ada kekacauan yang terjadi bila ada dia di dekatku. Tapi yang di depanku sekarang itu kak Revan, kenapa jantungku ikut berirama cepat seperti ini?
"Sekarang pakailah helmu!" perintah kak Revan sambil mengalihkan pandangannya dari mataku.
"Terimakasih," kataku singkat.
Dan kak Revan melepaskan tangannya dari rambutku saat aku sudah berhasil memakai helmnya.
Kak Revan menunggangi motornya. Dia kelihatan ganteng sekali memakai jaket hitam sport seperti itu.
"Naiklah!" perintahnya.
Dengan takut-takut aku memegang kedua pundak kak Revan untuk membantuku naik ke motor besar ini. Aku sudah duduk di belakangnya sekarang. Cepat-cepat aku mengalihkan tanganku dari pundaknya dan meletakkannya di atas pahaku.
Kak Revan memblayer motornya. Aku pun nyaris terjungkal ke belakang karena posisiku yang belum siap. Untung saja Kak Revan lekas menangkap tanganku. Aku merasa dag dig dug di jantungku karena ketakutan dan rasa kaget yang luar biasa.
"Apa kamu lupa cara membonceng motor itu seperti apa? Peluk aku!" seru Kak Revan dengan galak membuat aku menjadi takut.
"Ti-tidak mau," sahutku dengan gugup.
"Kenapa? Kamu udah nggak mau memelukku lagi? Oke terserah kalau kamu jatuh ke belakang."
"Ba-baiklah. A-aku akan me-melukmu," ujarku dengan terbata-bata. Meski begitu aku tak juga meletakan tanganku menyentuh tubuhnya.
Kak Revan menoleh ke belakang hingga membuat jarak wajah kami begitu dekat, "*D*eg" jantungku kembali berdesir.
Kak Revan meraih kedua tanganku lalu melingkarkannya di pinggangnya. Aku terpaku dan tak kuasa menolaknya. Tidak bisa aku pungkiri, aku selalu merasa nyaman saat memeluknya. Apalagi saat mencium aroma parfumnya, aku merasakan damai dan aman di sampingnya. Tapi kali ini benar-benar beda. Bukannya aku udah biasa memboncengnya? Bukannya aku udah terbiasa dekat dengannya? Lalu kenapa jantungku berdebar-debar seperti ini?
"Stay cool, Naay!" pintaku lirih pada diriku sendiri.
*Love Behind Secrets*
*Tiyan Wijayanti*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 406 Episodes
Comments
ayyona
nyimak lg 😍
2020-08-07
0
RA💜<big><_
kak q mampir bawa boomlike buat kakak
mampir yuk ke novelku yang berjudul
"siculun dan pangeran tampan"
"pergi ke masa lalu"
minta dukungannya yah
salam kenal dariku Rija annisa
2020-08-05
0
iim moet ☺
Aku baca pelan2 ya beb. 🙈
2020-07-17
1