BELAS KASIH [REVISI]

Aku mengamati Emilia yang sedang serius mengerjakan tugas sekolahnya di lantai. Lima puluh ribu yang kuterima hari ini menjadi tiga puluh lima ribu. Sepuluh ribu untuk sekilo beras dan dua ribu untuk dua kotak tahu dan seribu untuk sebuah spidol warna dan dua ribu untuk kertas warna-warni yang diperlukan Emilia untuk tugas sekolahnya.

Sejak awal, mengumpulkan tujuh ratus ribu dalam seminggu adalah hal yang sangat sulit. Sekarang, aku juga harus mengumpulkan tujuh ratus lima puluh ribu lainnya sebelum minggu ini berakhir. Bahkan jika aku terus bekerja selama seminggu ini tanpa tidur dan tanpa makan, mengumpulkan keduanya adalah hal yang mustahil.

“Mil…”

Emilia menghentikan pekerjaannya. Kepalanya terangkat, mata cokelatnya menatapku dan menunggu.

“Kalau…” suaraku seperti tertahan di tenggorokanku, “kalau kau tidak bisa mengikuti piknik itu, apa kau akan membenciku?”

Rambut hitamnya berayun ketika ia memiringkan kepalanya yang mungil. Tidak ada jawaban yang terdengar.

Aku tertawa dalam hati. Pertanyaan macam apa yang kutanyakan pada gadis sekecil dirinya?

“Haha, kakak hanya ber-”

Tapi, tubuh mungil itu dengan gerakan cepat menangkapku dalam pelukan kecilnya. Kepalanya menggeleng dalam diam. Aku mengangkat tubuh itu ke dadaku. Tangannya terkunci erat di leherku, sementara kepalanya yang terbenam di pundakku masih menggeleng erat.

Aku menepuk punggungnya, “baiklah. Terimakasih.”

..._____𝓶𝓸𝓷𝓸𝓹𝓸𝓵𝔂_____...

Aku menarik lenganku yang terkunci dalam rangkulan Emilia yang sudah berpetualang di alam mimpi. Mungkin. Aku selalu berharap setiap malamnya dipenuhi mimpi yang penuh dengan kemungkinan, pilihan, yang tidak bisa aku berikan di dunia nyata.

Aku melirik jam tua yang terpasang tepat di atas jendela bertiraikan kain baju yang tidak dapat digunakan lagi. Darimana aku memungutnya? Akupun sudah lupa. Latarnya memiliki robekan di beberapa tempat. Separuh bingkainya sudah hilang. Dan jarum detiknya tidak lurus lagi. Jam yang sangat sepadan dengan dinding rapuh tempatnya tergantung. Tapi dia tetap berdetik tanpa menyerah pada keadaannya, menunjukkan waktu yang lebih dari tiga puluh menit lagi mencapai pukul 9.

Proyek pelebaran pusat perbelanjaan yang bersebelahan dengan pasar mungkin dianggap masalah oleh orang-orang pasar. Mereka yang takut tidak mampu bersaing dengan lawan yang semakin mentereng. Namun, saat ini aku hanya bisa berterimakasih karena proyek itu yang memberiku kesempatan untuk mengumpulkan pundi-pundi uang yang bahkan lebih baik daripada pekerjaanku di pasar.

Seandainya, aku punya banyak uang, aku bisa membawa Emilia mengunjungi tempat itu. Namun, dengan keadaan sekarang, mungkin selamanya aku hanya bisa memasuki gedungnya sebelum gedung itu terbangun.

“Haahh…” tidak ada gunanya mengkhayalkan hal yang hanya membuat pikiran semakin negatif.

Aku merapikan pekerjaan Emilia yang masih berhamburan di lantai. Tanganku bergerak lambat sambil mempelajari gambar dan coretan di lembar-lembar kertas itu. Semuanya ditulis dalam warna kuning, warna favoritnya.

Tapi, alasan sebenarnya semua itu ditulis dalam warna kuning, adalah karena aku hanya bisa memberinya satu pilihan. Dia hanya memiliki satu pilihan, dan dia cukup beruntung dia bisa mengisi pilihan tersebut dengan sesuatu yang dia senangi.

Hidup adalah tentang pilihan, tentang apa yang kita inginkan dan apa yang sebenarnya kita perlukan. Tapi, uang memberikan pilihan untuk mendapatkan keduanya.

Pilihan untuk tidak hanya bertahan hidup, tapi juga menikmatinya. Tanpa uang, aku hanya bisa memilih salah satunya, dan meninggalkan yang lainnya.

Namun, untuk apa bertahan hidup, jika tidak bisa menikmatinya?

Aku melirik tubuh Emilia yang berdenyut di bawah tumpukan kain dan pakaian. Dia terlihat seperti kepompong yang menunggu waktunya untuk keluar dan terlahir kembali sebagai kupu-kupu yang cantik.

Itu benar. Terlahir kembali. Di sarang kupu-kupu yang sebenarnya dan bukan ngengat sepertiku.

Aku berhenti pada salah satu kertas yang dipenuhi coretan. Mataku mengecil mengamati apapun yang ada di balik coretan itu. Dia sepertinya berusaha untuk menghapus atau menyembunyikannya.

Itu adalah gambar kami berdua bersama dengan seorang perempuan lain yang kupikir mungkin Mirika, duduk bersama di atas rumput yang dikelilingi bunga-bunga. Sial. Tentu saja dia menginginkannya. Dan disini aku lagi-lagi merebut mimpinya karena ketidakmampuanku.

Kenapa aku membawanya denganku pada saat itu? Dia mungkin akan jauh lebih baik bersama dengan orang lain yang bukan aku. Kenapa? Kenapa aku melakukannya saat itu? Kebaikan? Kemurahan hati? Tindakan mulia? Aku bahkan tidak mampu untuk mengurus hidupku sendiri, demi kutu air! Aku adalah yang terburuk. Aku benar-benar yang terburuk.

Aku merebutnya dari mimpi-mimpi yang bisa diraihnya. Dari pilihan yang bisa dia miliki. Dari kehidupan yang mungkin jauh lebih baik. Mungkin lebih baik aku mati saja. Kehidupan seperti ini, bukankah mati jauh lebih baik? Tidak perlu memikirkan apa yang akan terjadi besok. Atau besoknya lagi dan atau besoknya lagi.

Ah, mungkin itulah sebabnya ayah melakukan apa yang dia lakukan? Aku mungkin hanya ingin meludahi kuburnya. Tapi semakin hari aku justru semakin memahami keputusannya. Bersimpati malah. Hidup sepertinya sudah sangat baik padaku.

Apa tidak ada yang bisa kulakukan? Apa tidak ada setan atau jin yang berniat memberiku kesepakatan? Sesuatu… Apa saja…

Tunggu… Aku hampir lupa.

Bukannya aku punya itu? Mataku menyapu seisi ruangan dengan liar dan tanganku cepat menarik tas selempang hitam milikku yang tergeletak di sudut ruangan. Aku cepat mengaduk dan membongkar isi tas itu. Sejatinya, tas ini hanya kugunakan untuk menampung kemeja dan celana jeansku, jadi tidak perlu waktu lama untuk menemukan apa yang kubutuhkan dengan mudah. Sebuah ponsel putih. Ponsel yang diberikan pria itu tadi kepadaku.

Bisa-bisanya aku melupakan ini! Aku membolak-balik ponsel itu. Tapi, apa ini ponsel asli? Maksudku, laki-laki itu memberikan ini seperti barang buangan, bukankah itu cukup mencurigakan?

Mungkin ini hanya lelucon? Permainan usil untuk mengerjai bocah miskin sepertiku? Tapi, untuk apa? Dia bahkan tidak berada disini untuk menertawaiku. Atau mungkin dia berencana untuk memergokiku saat aku menjual ponsel ini?

Aku mengetuk kotak logam tipis itu dengan kukuku.

...Tuk. Tuk....

Tapi, ini terdengar seperti logam asli. Aku membawanya ke tempat yang berada langsung di bawah cahaya lampu. Permukaannya terlihat seperti kaca yang mahal. Ini bahkan berkilau seperti perhiasan. Aku lalu menempelkannya ke pipiku. Ini tidak terasa seperti plastik sama sekali.

Dan, apa ini? Pada salah satu permukaannya yang ditutupi warna putih, tiga bulatan kecil berkumpul dalam satu bingkai persegi di sudutnya. Apa ini… bukannya ini… ini kamera kan? Aku tidak begitu tahu soal ponsel tapi, demi bintang gemintang, kalau ini benar kamera, bukankah itu berarti ponsel ini sangat mahal??? Berapa yang bisa kudapatkan dari menjualnya? Mu-mungkin aku harus bertanya pada Eman. Dia sepertinya tahu lebih banyak tentang ponsel. Dia kan punya satu, kalau tidak salah ingat… Itu kan alasannya bekerja sambilan di pasar, si lintah itu? Ponsel miliknya hanya memiliki satu kamera, tapi dia harus berhutang untuk membayarnya. Kalau begitu, bagaimana dengan ponsel ini yang memiliki tiga kamera? Gila… ini gila!

Tunggu. Aku harus memastikan dulu ponsel ini benar-benar asli. Mataku jeli memperhatikan setiap detil ponsel itu. Bagaimana cara menyalakannya? Sepertinya ini yang disebut-sebut ponsel layar sentuh itu bukan? Tapi, tida perduli berapa kali aku menyentuh permukaan kacanya, baik yang putih maupun yang hitam, tidak ada yang terjadi.

Ah, apa ini benar-benar palsu? Tidak. Tidak. Tidak. Kumohon jangan menghancurkan harapan yang sudah terbangun!

Setelah beberapa menit lagi mengamati kotak tipis itu, hal lain yang kutemukan adalah dua buah tonjolan nyaris tak terlihat di rangka sampingnya. Sepertinya… Mungkin ini…

Tidak mungkin! Dia menyala! Dia menyala!

Sebuah gambar apel putih muncul di layar yang sebelumnya hitam pekat, sebelum layar itu berisi gambar seorang pria yang memakai topi tinggi hitam dengan latar belakang hijau keabu-abuan. Di bawah gambar itu ada kotak-kotak kecil berisi gambar-gambar sederhana, seperti telpon dan kompas. Sementara di tengah layar, satu-satunya kotak lain di layar tersebut terletak disitu, tepat di antara kedua telapak tangan pria berkumis itu. Tulisan kecil di bawahnya terbaca Monopoly.

Apa ini? Kenapa kotak ini sendiri disini?

Ah, terserahlah. Aku tadi mengira kotak tipis ini akan memainkan lagu anak-anak atau semacamnya, tapi, demi bintang kejora, aku tidak menyangka ini ponsel asli yang benar-benar berfungsi.

Laki-laki itu ternyata bukan penipu.

Tunggu. Tunggu. Bukan penipu?

Terpopuler

Comments

ZERO

ZERO

Huhu emilia dan mimpi kecilnya di taman

2021-10-17

0

akany

akany

aku ketawa sendiri ngebayangin raka pertama kali lihat handphone🥲 disangka aku gila lagi

2021-10-03

0

Nothing

Nothing

Gaya kepenulisannya sangat bagus kak, mau sepanjang apa pun, nggak bikin jenuh.

Up nya sering-sering, ya?

2021-08-21

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!