Jari-jariku menghitung lembaran uang berbagai warna itu entah sudah ke berapa kali. Antara lembaran dua ribu dan dua puluh ribu, seribu atau sepuluh ribu, rasanya sama saja. Yah, yang lebih tua mungkin terasa kusut dan lepek dibanding lembaran baru yang masih garing dan licin. Tapi, mereka semua kertas yang sama.
Setelah puas memastikan kumpulan uang berjumlah lima puluh ribu itu masih tetap lima puluh ribu, mataku melirik ke kanan dan kiri seperti elang. Aku bisa melihat orang ramai berlalu-lalang di penghujung gang yang satu, dan kendaraan keluar-masuk di penghujung lainnya. Tapi, tidak seorangpun yang memberi perhatian ke celah sempit yang tercipta dari jarak kecil antara lapak di penghujung terdalam pasar dan dinding beton megah yang mengelilingi pusat perbelanjaan mewah di hadapanku. Gang ini bisa dibilang seperti jurang pemisah antara surga dan neraka, dan selama ini menjadi tempat ganti pribadiku.
Aku memasukkan kumpulan uang yang terlipat itu ke dalam saku celana pendekku, yang kini sudah kembali tersembunyi di balik celana jeans biru muda. Aku mungkin harus mengambil lebih dari satu atau dua hari kerjaan malam di proyek konstruksi jika aku ingin memiliki jumlah cukup tujuh ratus lima puluh ribu pada hari senin. Itupun, jika aku sama sekali tidak memakai upah hari ini sampai senin nanti.
Kakiku melangkah keluar ke penghujung gang yang dilewati pejalan kaki. Bahkan meski matahari sudah memudar di langit, aktivitas pasar belum mereda.
Benakku tidak berhenti berputar dan menghitung kemungkinan lain yang harus kupersiapkan untuk mengikuti acara itu. Aku belum pernah melakukannya, jadi aku tidak tahu apa saja yang harus kubawa, atau bahkan apa yang sebenarnya dilakukan dalam acara itu? Aku seharusnya menanyakannya pada Mirika dan bukan sok keren dengan memotong perkataannya. Tapi, itu akan membuatku terlihat bodoh di hadapannya.
Mataku spontan melirik sosok jangkung familiar yang sedang menghamburkan uangnya di lapak pedagang siomay. Aku terlambat menghindari matanya yang cepat menangkap sosokku yang berusaha mempercepat langkahku.
“Yo, bro.”
Kakinya yang lebih panjang sangat cepat mengejarku. Ia menggantungkan tangan kurusnya di bahuku seolah itu adalah hal yang wajar. Aku menyuarakan kekecewaan pada diri sendiri dalam hati karena gagal menghindari bocah bernafas kacang ini.
“Apa itu piknik?”
“Hah?”
Aku tidak perlu melirik untuk menebak ekspresi bodoh yang tercetak di wajah Eman yang menyesuaikan langkahnya mengikutiku. Belum sepuluh menit berlalu, dan bocah ini sudah membuatku melakukan dua hal yang kusesali.
“Piknik itu pesta di padang rumput.”
Kepalaku spontan menoleh ke bocah kurus menjulang yang sedang memamerkan barisan giginya yang tidak beraturan. Singlet putih tergantung di tubuh perseginya yang seperti papan cucian. Aku buru-buru mengejar penjelasan, yang dilayaninya dengan ikhlas. Terlalu ikhlas.
“Aku tidak tahu kalau kau pernah piknik,” aku memotong penjelasannya yang semakin jauh dan jauh tanpa ujung. Dari penjelasannya, aku sudah mengambil kesimpulan beberapa hal penting yang mungkin harus kusiapkan. Sepertinya aku benar-benar harus mencari pekerjaan sampingan untuk seminggu ini.
“Oh, aku tidak pernah pergi piknik. Kenapa? Apa kau akan mengajakku?”
“Hah?! Jadi semua itu?”
“TV bro. TV.”
Tepukan telapak tangan yang seperti tulang berbalut kain tipis itu cukup terasa di punggungku. Dia terlihat sangat bangga karena bisa memberiku informasi yang dia ketahui dari TV milik tetangganya. Yah, setidaknya dia bisa menikmati kotak bergambar itu, sementara aku nyaris kesulitan untuk menikmati cahaya lampu di malam hari.
“Oh, tunggu sebentar.”
Kepala si jangkung itu menoleh ke cabang gang di sebelah kanan kami, pada seorang wanita renta berpakaian lusuh yang duduk di atas tanah dengan kaleng di hadapannya. Tangan keriputnya menadah udara di hadapannya, kepada orang-orang yang bahkan tidak berniat untuk meliriknya.
Eman melepaskan tangannya dari pundakku dan melangkah santai ke gang itu, berusaha untuk bersikap biasa saja. Aku bisa saja meninggalkannya, namun tubuhku memilih untuk mematung seperti anak ayam yang kehilangan induknya, sampai sambaran bahu dari orang-orang yang lewat menyadarkanku.
Aku memutuskan untuk singgah dan menunggunya di lapak seberang jalan. Untuk apa aku menunggunya? Aku pun tidak mengerti. Mungkin karena sudah menjadi kebiasaan selama ini bagi aku dan dia untuk pulang bersama. Arah pulang kami tidak berpisah arah sampai cukup jauh dari pasar. Keluarganya tinggal di kompleks rumah susun sederhana tidak jauh dari jalan besar, sementara aku menyewa kos-kosan tua yang tersembunyi jauh dari pusat kota.
Mungkin itu salah satu alasan kami sering terlihat bersama. Aku tak yakin sejak kapan. Tapi, yang jelas aku bukan yang pertama mendekatinya.
Tanpa pikir panjang, aku segera melemparkan pantatku ke bangku panjang yang terparkir di depan lapak penjual pakaian. Aku menyisihkan tas selempangku di ruang bangku yang kosong. Tanganku lalu bergerak otomatis menjamah kemeja biru tua yang terpasang di boneka putih di sebelahku. Bahkan boneka tak hidup ini berpakaian lebih baik dariku.
“Cari apa kak?”
Seorang gadis muda menghampiriku membuatku spontan menarik tanganku dari boneka itu.
“Oh- itu- ini berapa?”
Mata gadis itu bergerak naik turun, tidak berusaha menyembunyikan niatnya untuk menghakimi penampilanku sama sekali.
“25 ribu kak.”
Mulutnya melengkung membentuk senyuman, tapi matanya kaku seperti balok es. Dia tidak menunggu waktu lama untuk pergi melayani calon pembeli sebenarnya dan meninggalkanku setelah aku menyampaikan terimakasihku atas informasi yang dia berikan.
Bahkan di kelompok bawah pun, orang-orang masih terbagi lagi dalam kelompok yang berbeda. Gadis itu, Eman, aku dan wanita renta itu. Mereka yang masih bisa membuat pilihan, dan orang-orang sepertiku yang tidak mempunyai pilihan sama sekali.
Aku memiliki uang yang cukup, tapi aku tidak memiliki pilihan untuk menggunakan uang itu pada kemeja ini. Aku memiliki uang, tapi aku tidak memiliki pilihan untuk membantu wanita renta tadi. Sama seperti wanita renta itu yang tidak punya pilihan selain meninggalkan martabatnya demi menadahkan tangannya pada belas kasihan orang lain.
Sebenarnya, orang-orang sepertiku pun masih memiliki pilihan. Tapi, pilihan itu terbatas pada dua jawaban, diri sendiri atau pilihan lainnya, apapun itu. Orang sepertiku tidak mempunyai hal yang bisa disisihkan untuk menutupi pilihan lain tanpa mengorbankan diri sendiri. Apa yang kami miliki adalah semua yang kami miliki. Tentu saja, dalam situasi seperti itu, aku akan terus memilih diriku sendiri untuk bertahan hidup.
Karena itu, ketika aku melihat dari jauh, di antara orang-orang yang berlalu lalang, Eman sekarang diapit oleh beberapa orang preman pasar, apa yang aku lakukan selanjutnya sangat jelas.
Kabur.
Kakiku tidak menunggu lama untuk menarik tubuhku menjauh dari tempat itu. Menyelinap di antara kerumunan orang agar tidak menangkap perhatian mereka sama sekali. Aku tidak ingin terlibat masalah. Aku sama sekali tidak bisa terlibat masalah. Mataku melirik liar berusaha untuk mendeteksi pergerakan dan sosok lain yang harus diwaspadai di sekitarku. Kakiku berusaha mempercepat jalanku tanpa berlari, karena itu justru akan menarik perhatian. Langkahku baru melambat setelah aku memastikan aku sudah berada cukup jauh dari pasar.
Tanganku segera meraba celanaku, memastikan gepok uang yang kudapatkan sebagai upah kerja hari ini masih berada di tempatnya. Nafas lega yang mengalir keluar dari mulutku tertarik kembali saat aku menyadari, aku tidak kehilangan uangku tapi aku kehilangan yang lainnya.
“Argh.”
Kemejaku.
Mataku kembali bergerak liar mempelajari sekitarku.
..._____𝓶𝓸𝓷𝓸𝓹𝓸𝓵𝔂_____...
Aku tidak punya pilihan lain selain berlari kembali ke tempat yang kutinggalkan. Dalam tas itu juga ada barang-barang yang mungkin bernilai lebih dari lima puluh ribu yang kuperoleh hari ini. Ponsel yang kuperoleh dari laki-laki itu - jika ponsel itu benar dan masih berfungsi; amplop aneh itu, jika kata-kata laki-laki itu bisa dipercaya, aku mungkin bisa mendapatkan lebih banyak uang dengan menjualnya; tapi, yang paling membuatku khawatir adalah kemejaku. Satu-satunya kemeja yang aku miliki.
Ah, sial. Semoga tidak ada yang mengambil tasku, terutama kemejaku.
Hanya itu yang kumiliki untuk mengantar dan menjemput Emilia ke sekolahnya. Tentu saja, mengenakan pakaian yang sama setiap hari juga terlihat memalukan, tapi itu lebih baik dari kaos usang yang berhias lubang di sana-sini. Kakiku sekarang tidak lagi hanya berjalan cepat, namun sudah berlari sambil hatiku terus meneriakkan permohonan yang sama, agar aku dapat menemukan tasku dan agar aku tidak berpas-pasan dengan para preman itu.
Tidak membutuhkan waktu lama untuk permohonan keduaku dijawab dengan gambar X besar dari tinta merah menyala.
Aku berpas-pasan dengan para preman yang baru saja kuharapkan untuk tidak berpas-pasan.
Mereka berusaha menyembunyikan niat mereka dengan membawa Eman dalam rangkulan mereka bertiga yang santai dan penuh tawa. Namun, laki-laki jangkung yang mereka rangkul itu sangat jelas sekali tidak santai, atau pun tertawa. Sisi baiknya mereka sedang tidak melihatku, saat aku berancang-ancang untuk berputar meninggalkan tempat itu-
“Raka… Kau tidak meninggalkanku?”
Suara haru bocah kacang itu membuat semua preman itu sekarang melihatku dengan mata mereka yang liar seperti hewan karnivora yang sedang melihat mangsanya. Sudut bibir mereka terangkat naik seperti bilah besi terasah yang siap menyembelih ternaknya.
Dasar kumis Kuda.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments
ZERO
mantap, 2 chapter menunjukkan masalah kehidupan MC dan usahanya untuk bangkit juga lebih bnayak dibubuhi permasalahan cerita sehingga seru untuk menanti chapter berikutnya
2021-10-16
0
R.F
2 like hadir, like balik iya
2021-08-28
1
ImamAja
Wihh, keren thor novelnya, desainnya itu lho, wah sampe gak bisa berkata - kata. Semangat thor up-nya!
2021-08-17
3