MONOPOLY
Aku berlutut di atas tubuh mungilnya dalam kegelapan. Lehernya yang ramping terlihat seperti ranting putih kering di antara jari-jariku. Nafas lemah yang berhembus menghangatkan lenganku dari udara lembab yang menggigit kulit. Dadanya naik turun dalam irama yang stabil, menghirup aroma lapuk dari dinding yang bocor.
10 menit? 5? Mungkin semua yang kubutuhkan malah hanya 10 detik. Hanya 10 detik untuk menghentikan nafas yang sudah berhembus selama 5 tahun.
Gemuruh langit seperti menghardikku. Cahaya kilat menyilaukan ruangan dalam sekejap, seperti ingin menangkap basah diriku. Tapi, tanganku masih terulur, tidak bergeming. Kalau langit benar-benar mengambil foto diriku sekarang sebagai bukti untuk mengadiliku, aku ingin meminta foto itu. Aku ingin tahu, seperti apa ekspresi yang tergambar di wajahku saat ini.
“Kak… Raka?”
Mata mungilnya membuka perlahan, berkedip lemah seperti seekor hewan kecil yang baru keluar dari rahim induknya.
Tanganku terulur menjauh dari lehernya, meraih helai-helai pakaian yang menumpuk di atas kursi di atas kepalanya.
“Ya? Kau mendengar guntur?” aku menarik tubuhku ke sisinya, dan menyusun potongan-potongan pakaian itu menutupi tubuhnya seperti puzzle, “Hujannya deras. Pakai ini supaya tidak kedinginan.”
“U-um…” tangan kecilnya menyusup keluar dari puzzle kain yang kususun dan menangkap lenganku. Baru setelah tubuhnya mengunci lenganku, kelopak matanya kembali menutup, dan helaan nafas hening kembali mengalir teratur dari dadanya.
Aku membaringkan tubuhku di sisinya. Melabuhkan lenganku yang bebas di atas tumpukan kain yang menutupi gadis kecil di hadapanku. Jari-jariku bergerak menepuk-nepuk tubuh itu kembali ke peristirahatannya.
Suara rintik hujan semakin keras membisingkan telinga, menenggelamkan melodi lirih yang ku senandungkan untuk menemani Emilia di alam mimpi. Tapi suara detak jantungku masih dapat ku dengar dengan jelas. Menghentak kesunyian dalam irama yang tak berubah.
“Tidur, matahariku tidur… Hari telah usai, tapi besok kau kan kembali… Tidur, matahariku tidur… Hari telah usai, tapi malam tak boleh tinggal tetap…”
..._____𝓶𝓸𝓷𝓸𝓹𝓸𝓵𝔂_____...
Mungkin naluriah atau sudah terbiasa, kakiku otomatis menyesuaikan panjang langkahnya mengimbangi Emilia yang berjalan di sisiku. Rok hitam selututnya mendayu mengikuti angin yang bertiup. Jari-jari kecilnya memeluk jemariku erat. Bahkan setelah kita mencapai pintu kelasnya, jari-jari itu belum melepaskanku.
“Oh, Mil!”
Sangat mudah untuk menemukan pemilik suara itu, gadis yang selalu berada di antara kerumunan terbesar. Anak-anak mengikutinya seperti semut yang mencari gula. Mungkin karena suara lembutnya. Mungkin karena senyumnya.
Seperti biasa, baru setelah gadis itu mengulurkan tangannya, Emilia melepaskan jemariku dan melangkah pelan menghampiri gadis itu, Mirika. Mirika langsung mengangkat Emilia ke dalam pelukannya, seolah itu sudah menjadi tanggung jawabnya. Tapi, dia memang seperti itu.
Saat itu juga, dia yang terlebih dulu mengulurkan tangannya. Mungkin daya tariknya bukan pada sesuatu yang bisa dinikmati oleh mata, tapi kebaikan yang memancar dari hatinya. Mungkin.
“Apa Emilia memberitahumu?”
“Tentang apa?”
Apakah tentang kelulusan? Apakah sudah waktunya? Aku membiarkan benakku menghitung jejak waktu.
“Ah, itu…” telapak tangannya terlihat seperti awan yang berlabuh di atas punggung Emilia dengan seragam biru langitnya, “hari sabtu ada piknik kelas. Registrasinya sampai hari senin yang akan datang.”
“Begitu, berapa biaya registrasinya?”
Tentu saja. Tidak ada hal yang tidak membutuhkan uang.
Aku menangkap lengan kecil Emilia mengeratkan pelukannya di leher Mirika dengan mataku. Dia sepertinya sengaja tidak memberitahuku. Entah itu adalah hal yang baik atau buruk, tapi gadis kecil itu memiliki pemahaman seperti layaknya seorang dewasa.
“Err… 350 ribu per orang,” Mirika tersenyum canggung, “tapi, aku bisa—”
“Baiklah, aku akan mengusahakannya.”
Aku menarik sudut bibirku membentuk senyum yang membatasi jarak antara aku dan gadis muda itu.
Senyum canggungnya digantikan oleh senyum simpul yang berteteskan perasaan bersalah atau mungkin rasa khawatir, “baiklah kalau begitu.”
Entahlah. Aku tidak begitu memahami cara membaca pikiran seseorang. Yang aku tahu, cahaya mata Mirika jauh lebih baik daripada anak-anak di belakangnya yang seperti menungguku mengembalikan guru favorit mereka. Mungkin, bukan Emilia yang dewsa terlalu cepat.
Aku meninggalkan tempat itu dengan kemelut memenuhi pikiranku.
Tiga ratus lima puluh ribu perorang. Sepertinya, itu maksudnya, aku juga dapat mengikuti kegiatan itu dengan membayar biaya tersebut. Jika demikian, artinya tujuh ratus ribu untuk dua orang. Darimana aku akan mendapatkan uang itu dalam enam hari?
Jariku membuka dan menutup, menghitung kemungkinan pundi-pundi uangku. Aku mungkin bisa mendapatkannya jika aku menyimpan semua upah harianku minggu ini. Atau aku cukup membayar untuk Emilia saja?
Aku kembali teringat perkataan Mirika yang kupotong tadi. Berkat dia, Emilia tidak perlu membayar administrasi bahkan biaya bulanan untuk bersekolah di TK itu. Aku tidak tahu bagaimana dia melakukannya, tapi bagaimanapun aku berterimakasih untuk itu.
Karena itu aku menghentikannya. Aku tahu, kebaikan Mirika mungkin bukan sesuatu yang palsu. Tapi cahaya yang terlalu menyilaukan, bisa membakar rayap sepertiku.
..._____𝓶𝓸𝓷𝓸𝓹𝓸𝓵𝔂_____...
Kaos oblong dan celana pendek lusuh yang sebelumnya tersembunyi, sekarang terpampang di tubuhku seperti seragam orang-orangan sawah. Aku melipat dengan berhati-hati kemeja dan celana kain yang kukenakan sebelumnya dan menyimpannya dalam tas selempangku sambil berjalan menuju ke pasar. Namun, perhatianku teralihkan oleh sekumpulan orang di penghujung gang yang aku lewati yang tertangkap oleh sudut mataku.
Kakiku terhenti dalam posisi yang janggal. Kaki kiriku tertahan dengan pasti enggan untuk bergerak, sementara kaki kananku sudah siap untuk melangkah di depannya. Benakku berbantahan dengan dirinya sendiri. Pasar yang sudah ramai hanya tinggal beberapa langkah lagi. Aku tidak ingin mencari masalah dengan terlibat dalam sesuatu yang bukan urusanku. Aku tidak boleh kehilangan sepeserpun dari pendapatanku hari ini dengan terlambat menampakkan diri.
Tapi, kalau masalah ini kubiarkan dan akhirnya menjadi besar dan memakan korban - yang aku yakin pasti terjadi-, bisa-bisa tempat ini menarik perhatian yang tidak mengenakkan. Dan mungkin saja pasar jadi terganggu operasinya.
Ah, sial. Sial. Kenapa mencari masalah dekat sini sih?
Aku menundukkan tubuhku di sisi bangunan di tepi gang. Dengan sebisa mungkin tidak menarik perhatian aku mengintip kumpulan orang itu. Seperti yang kuduga, mereka anak-anak bawahan si Pardu.
Lima orang pemuda dengan pakaian warna-warni berkumpul mengerumuni seorang lelaki tegap yang berpakaian rapi. Dia dengan santai mengepulkan asap dari lintingan tebal berkulit cokelat. Rambut hitam abu-abunya tersisir rapi ke belakang kepalanya. Jas hitamnya tetap licin tanpa kerutan, meskipun preman-preman itu terus menarik-narik jasnya. Jelas penampilannya sangat kontras dengan preman-preman kelas teri itu. Bahkan dasi coklatnya yang berkilau saja sepertinya jauh lebih mahal dibanding pakaian kumpulan preman itu jika digabungkan.
Apa yang dilakukan orang seperti itu di tempat ini?
Dari atas ke bawah, sangat jelas keberadaan laki-laki itu tidak sesuai dengan tempat ini. Bukan hanya penampilannya yang kontras dengan preman-preman yang mengerubunginya seperti lalat di atas daging sapi terbaik, tapi aura yang dipancarkannya juga sangat tidak sepadan dengan situasinya sekarang.
Preman-preman itu benar-benar tidak tahu membaca situasi dan tempat. Jika aku berusaha menghentikan mereka, aku yang akan menjadi target selanjutnya. Dan bukan hanya hari ini. Aku juga bisa menarik perhatian Pardu, ketua gank preman yang mengatur pasar ini.
Seperti yang kuduga, mungkin aku memang tidak sebaiknya terlibat. Tapi lagi-lagi tingkah mereka menghentikanku. Siapa itu? Bedi? Dengan lagaknya yang ingin menunjukkan diri di depan teman ganknya, ia menarik lintingan cerutu dari bibir pria itu, dan memindahkannya ke mulutnya.
“Ck.”
Aku mengeluarkan sepasang sepatu yang tersembunyi di bagian bawah tas selempangku. Gerakan yang terburu membuat kemejaku terlempar ke tanah. Aku memasangkan sepatu itu ke telapak tanganku dan menepuk-nepukkannya ke dinding, sambil mengiringinya dengan hentakan kakiku.
“Pak! Pak Polisi! Disini Pak!”
Aku meninggikan suaraku berharap mereka tidak akan mengenaliku. Gerakan tangan dan kakiku menjadi semakin cepat mengepulkan debu ke udara di sekelilingku. Telinga kutajamkan untuk mendengar suara tapak kaki yang ramai menjauh. Aku mengintip ke balik dinding. Mereka benar-benar sudah pergi meninggalkan laki-laki itu yang memungut cerutu yang masih membara.
“Fiuh…”
Aku beruntung, -atau tidak beruntung-, itu hanyalah kelompok si Bedi. Mereka arogan dan sangat tidak pandai membaca situasi, tapi itulah sebabnya mereka mudah dibodohi dengan trik murahan.
“Ah, sial.”
Aku kembali berjongkok memungut kemejaku yang kini bertabur debu. Sial. Sial. Sial. Aku masih harus menjemput Emilia sebentar. Tanganku sibuk mengebas-ngebaskan debu dari kemeja hitam itu. Aku membeli warna hitam agar tidak mudah kotor, tapi debu malah sangat nampak di permukaannya.
“Ah, sial. Sial. Si-”
Tanganku terhenti, mataku melihat ke atas pada pria yang sudah berdiri di sampingku. Pupil matanya melebar menutupi warna cokelat yang berkilat dengan kegelapan. Cerutu yang membara nangkring di telinganya.
Apa yang dia inginkan dariku?
“Kau yang menolongku?”
“Ya…” kalau dilihat dari situasinya, mungkin orang akan menganggap begitu.
Tangannya merogoh ke balik jas hitamnya. Kakiku segera menegakkan posisinya secara naluriah, mengamankan ruang untuk berlari. Mungkin dia akan memberiku upah? Tapi instingku tetap meningkatkan kewaspadaannya secara otomatis.
Apa yang dikeluarkannya adalah sebuah ponsel dan amplop kecil yang berkilau seperti emas asli. Tangannya lalu terulur, menyodorkan kedua benda itu kepadaku.
“Hah?”
Tangannya berayun seperti memintaku mengambil kedua benda itu. Baru setelah benda itu berpindah ke tanganku, ia memasukkan tangannya ke dalam saku celananya.
“Kalau kau tidak bergabung, kau bisa menjualnya. Itu…” dia menunjuk pada kedua benda itu dengan dagunya, “emas asli.”
Dia lalu langsung berlalu begitu saja tanpa menunggu aku mengatakan apapun.
“Ah.”
Dia berhenti lagi. Tubuhku masih mempertahankan mode siaga.
“Terimakasih.”
“Huh? Oh, tidak masalah.”
Kakiku berbalik melangkah jauh ke arah yang berlawanan darinya. Walaupun sebenarnya aku bukan berniat menolongnya sama sekali.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments
ZERO
chapter awal yang lebih seru tapi juga tak lupa menjelaskan tiap karakternya, mantap, semangat sensei
2021-10-16
0
Zahroni Nur Hafid
datang menjawab rekomendasimu!
buset g ad celah jdi pemeran haters disini gw wkwkwk, plesetannya bikin senyum2 ketawa sendiri takut dikira lgi pacaran gw baca novelmu thor.
salfok sma barcode mangatoon gw kira dari authornya di isi amplop ad barcode, hehe....
salam dari novel [Dendam dibawah Rembulan]
2021-09-02
0
Anonymous
salfok sama barcode manggatoon nya
2021-08-26
1