Aku berhasil menyelesaikan permasalahan sebagai pemenang.
Tentu saja, mereka menangkapku dan membawaku bersama Eman ke tempat yang mereka katakan, kuil. Pada dasarnya itu adalah lapak tak berpenghuni dimana mereka biasa membawa orang-orang seperti aku dan Eman untuk memberi ‘sesajen’ kepada para dewa. Yaitu mereka. Ya, mereka adalah dewa dan manusia biasa seperti kami yang masih ingin hidup harus memberikan semua yang kami miliki sebagai ‘sesajen’.
Sayangnya, aku tidak memiliki apapun yang bisa kuberikan kepada mereka. Aku belum sempat menemukan tasku ketika berhadapan dengan mereka, dan uang jerih payahku? Aku meninggalkannya di tempat tersembunyi, bersama dengan celana jeansku. Bahkan jika mereka menelanjangiku, mereka tidak akan mendapatkan sesuatu yang berharga. Kalau mereka masih ingin mengambil celana pendek lusuh dan kaos usang seribu jendela ini, aku tidak akan punya banyak komplain.
Dan setelah mereka mengetahui sendiri hal tersebut, mereka tidak bisa melakukan apa-apa selain melepaskanku bebas. Mereka hanya keroco-keroco yang akan mendapat masalah jika mereka mengacau di luar perintah ketuanya. Tentu saja, nasib buruk untuk Eman, mereka mengambil semua uangnya yang tersisa hari itu.
Tapi, apa yang bisa kulakukan? Itu adalah ketidak-beruntungannya.
“Aarghh…” Eman menggaruk-garuk kepalanya, “kalau saja mereka bukan bertiga, aku pasti sudah ugh! Dan ugh!” ujarnya memperagakan berbagai macam gerakan yang mungkin ditirunya dari acara TV tetangga.
Aku membiarkannya berimajinasi tanpa komentar. Lagipula, dia tidak memintaku untuk membayar imajinasinya atau sebagainya. Walaupun aku tahu, itu semua hanya sekedar imajinas. Bahkan walaupun preman itu hanya sendiri, itu tetap akan tetap hanya sebatas imajinasinya.
“Tapi, aku tidak menyangka kau mencariku…”
Pundakku berayun menepis pelukannya.
“Kupikir kau sudah kabur…”
Yah, dia memang benar. Kakiku terus berjalan menelusuri rute yang kulalui sebelumnya, menengok ke kiri dan ke kanan mencari lapak yang kusinggahi tadi. Eman yang entah mengapa akhirnya mengekoriku, terus berceloteh dan berceloteh dan berceloteh. Entah apa saja yang sudah keluar dari bibirnya yang berkalang liur.
Ah, itu dia.
Lapak pakaian itu akhirnya memasuki pandanganku. Kemeja biru itu masih bertengger pada boneka tak berwajah itu dan gadis itu, yah masih disitu.
Tas selempang hitam yang mulai berbulu masih duduk tenang di atas bangku itu, tanpa memperdulikan orang-orang di sekitarnya. Kakiku nyaris berlari menuju ke bangku yang kududuki sebelumnya.
“Hey, kau kemana?”
Aku mengacuhkannya. Gerakanku cepat menyambar tas kesepian itu dan segera membuka resletingnya untuk memastikan isinya. Kemeja. Cek. Ponsel. Cek. Amplop. Cek. Itu saja? Itu saja.
Memangnya apa lagi yang dimiliki buruh miskin sepertiku?
Ketika aku mengangkat wajahku, pandanganku bertemu dengan gadis penjaga toko yang tadi. Keningnya berkerut, entah hal buruk apa yang dia pikirkan tentangku? Aku menundukkan kepalaku dengan senyum sopan, tapi gadis itu membuang wajahnya dan meninggalkanku yang termangu.
Aku menghembuskan nafasku.
Setidaknya dia tidak melaporkanku atau sejenisnya. Kalau mereka menangkap dan menggeledah isi tasku, siapa yang tahu apa yang akan dituduhkan padaku jika mereka menemukan selembar emas (?) dan sebuah ponsel yang masih mulus dan tampak baru? Aku hanya mengambil apa yang menjadi milikku. Bahkan jika itu benar, tidak akan ada yang mempercayai bocah miskin berpakaian compang-camping sepertiku.
“Hey,” Eman kembali menangkapku, kali ini dengan nafas yang tersengal. Sepertinya tekanan mental yang dihadapinya karena preman-preman tersebut cukup membuatnya lelah, “aku baru sadar…”
Ia kembali mengikutiku tanpa bahkan bertanya apapun.
“Kemana celanamu?”
Oh, sekarang dia baru bertanya, “ini celanaku,” tanganku menepuk celana pendek usang yang berwarna debu.
“Bukan… bukan…” dia melambai-lambaikan tangannya di udara, “kau tadi pake celana jeans bukan sih?”
“Hm?” aku mengangkat bahuku dengan santai, “kenapa aku pakai celana jeans untuk mengangkat barang?”
Eman berhenti sebentar. Sepertinya otaknya memerlukan waktu untuk memproses apapun yang diterimanya. Yah, semua orang seperti itu. Harusnya.
“Kau benar,” ia kembali mengikutiku setelah otaknya memutuskan untuk menerima apa yang kuberikan. Namun, ia masih belum berdamai sepenuhnya dengan hal tersebut, “apa aku salah ingat?”
Setidaknya, itu memberiku waktu terhindar dari ocehannya yang tak berujung sampai akhirnya kita tiba di persimpangan jalan yang memisahkan tujuanku dengannya. Dengan lambaian tangan yang berlebihan, dia meninggalkanku.
Aku menunggu sampai sosoknya yang berlari-lari kecil berbelok dan menghilang di sebuah kompleks perumahan yang menjulang di balik pagar besi. Lalu, kakiku berbalik dan melangkah kembali ke pasar. Aku tidak bisa membiarkannya mengikutiku setelah aku berada disana dan tidak bisa melakukan apa-apa saat preman-preman itu mengikutiku.
Mataku melirik ke kiri dan ke kanan, memastikan tidak ada seorangpun yang mengikutiku. Bahkan setelah aku yakin tidak ada yang mengikuti dan bahkan memperhatikanku, aku tetap mengendap-ngendap memasuki gang tempat kelompok Pardu dan laki-laki itu hampir terlibat perkelahian.
Aku berlutut di sebelah tong-tong sampah yang berjejer. Tanganku membongkar tumpukan kardus-kardus bekas yang bersusun, dan mengambil celana jeans yang terlipat rapi di baliknya. Lalu berpindah ke sisi lain tong sampah, dan mengambil lipatan uang yang tersimpan di balik bungkus biskuit bekas. Mataku kembali melirik liar ke kanan dan kekiri sebelum memasukkan amplop itu ke dalam tasku.
Preman-preman itu mungkin memenangkan pertarungan. Tapi, aku memenangkan peperangan.
Atau setidaknya, begitu yang kupikirkan.
Aku langsung bergegas menjemput Emilia setelah kembali mengganti pakaianku. Seperti biasa, dia adalah anak terakhir yang masih berada di sekolah. Aku tidak memiliki jam, tapi melihat warna langit yang dipenuhi tinta oranye, sepertinya aku benar-benar terlambat kali ini.
“Oh, kakakmu sudah datang.”
Pintu gedung sudah tertutup, dan dia satu-satunya yang tersisa menemani Emilia yang duduk di ayunan.
“Terimakasih sudah menjaga Emilia.”
Aku membungkukkan tubuhku ke arahnya dengan penuh ketulusan. Tubuhku cepat melonjak ketika jarinya menyentuh pundakku, mungkin berusaha untuk mencegahku membungkuk. Gerakan spontanku sepertinya membuat Mirika juga tersentak.
“Ah…” Ia menarik tangannya dengan wajah bersedih.
Yang membuatku tahu, kalau aku sudah melakukan kesalahan besar, “Ma-maaf ini… Debu dan keringat dan kotor… ya ini kotor… bajuku… bajuku masih kotor…” sekarang aku yang bertingkah seperti Eman yang mengayun-ngayunkan tangan di udara dengan panik sambil mengeluarkan celoteh tak jelas seperti burung kenari. Setidaknya, celoteh burung bisa terdengar merdu.
“Pffft…”
Dia… tertawa…
“Ah, maaf, maaf…” ia menyibak rambut hitamnya yang sekarang terurai ke balik telinganya. Mengungkap tahi lalat kecil di sisi dahinya, “aku tidak bermaksud menertawakanmu.
Aku tidak masalah bahkan jika dia tertawa karena mengejekku. Tentu saja, aku tidak bisa membiarkan isi pikiranku ini keluar dari mulutku. Atau dunia akan berakhir untukku.
“Kupikir kau tidak nyaman denganku.”
“Ma-mana mungkin,” mataku berkeliaran menghindari wajahnya, “kau sudah membantu Mil dan sebagainya, mana mungkin-”
...Clasp-...
“Syukurlah,” hangat kulitnya menyesap ke telapak tanganku yang ditangkapnya, “syukurlah,” dan senyumnya menangkap pikiranku.
“Y-ya hahahaha,” aku tidak tahu mana yang lebih buruk, gagap kataku atau tawa canggungku. Aku ingin mengubur diriku di suatu tempat sekarang juga.
“Kalau begitu, sampai bertemu sabtu depan?”
“Sa-sabtu depan?”
“Piknik,” rambutnya mengayun mengikuti gerak kepala yang dimiringkannya, “kalian ikut kan?”
“Ah,” aku menggaruk kepalaku, aku hampir melupakan hal itu, “tentu saja.”
“Oke~” Mirika meninggalkan kami dengan lambaian tangannya.
Tentu saja. Kataku. Tentu saja. Padahal aku bahkan belum yakin jika aku bisa mengumpulkan cukup untuk Emilia seorang.
Seperti belum cukup apa yang kupikirkan, hidup mengirimkanku hal lainnya. Sesosok wanita paruh baya yang sangat familiar menyambut aku dan Emilia di depan pintu kamar kos kami.
“Raka, akhirnya kau pulang juga,” wanita tambun itu membuka kipasnya dan langsung mengayun-ngayunkan kipas merah tersebut mendinginkan wajahnya, meskipun angin malam sudah mulai berhembus, “dan Emilia.”
Emilia langsung menyembunyikan dirinya di belakangku.
“Selamat sore bu,” aku menundukkan kepalaku.
“Kamu emang belum punya HP sampai sekarang ya?” kipas merahnya berayun cepat mengibas rambut hitamnya yang keriting, “masa saya harus datang-datang kesini terus?”
“Ah, iya bu. Maaf.”
“Ya sudah,” dia menepuk kipasnya menutup di telapak tangannya yang lain, “jadi, kapan kamu mau bayar uang kosmu yang bulan ini?”
“Apa bisa sedikit terlambat bu?”
“Kamu emang sudah terlambat,” kipasnya diayun-ayunkan ke arahku dan Emilia di udara, “yasudah, sabtu ini saya tunggu. Setor langsung ke rumah saya ya? Kamu tahu kan?”
“Baik bu,” bahkan meskipun itu adalah permintaan yang hampir mustahil, tapi aku tidak punya pilihan selain menundukkan kepalaku dengan rasa terimakasih. Mereka hanya meminta haknya, sementara akulah yang salah karena aku yang tidak bisa memenuhi kewajibanku. Aku tidak bisa mengangkat kepalaku sampai ibu kos benar-benar pergi.
Aku sudah terlalu angkuh.
Memang, preman-preman itu memenangkan pertarungan, aku memenangkan peperangan, tapi hidup yang selalu tertawa pada akhirnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments
ZERO
huhu kasihan banget hidup si Raka, yok bisa yok jadi dark hero hoho
2021-10-16
0
Nothing
Gila ... PC nya spek nya gila wkwkwk. bener kata Kevin, itu mimpi ultimate semua lelaki
2021-08-21
1
IG : pena.dyoka
akhirnya up selamat datang kembali
2021-08-19
3