Di dalam sebuah kamar bernuansa gelap, namun mewah dan luas. Seorang laki laki masih setia bergelung di balik selimut tebalnya, padahal waktu sudah menunjukan pukul 10 pagi. Hingga ketukan diiringi seruan dari balik pintu kamarnya mengusik pagi indah itu.
"Den Ano... Den..."
Bibi pelayan capek mengetuk pintu sambil manggil-manggil, tapi tidak mendapat sahutan dari si pemilik nama. Bibi pelayan itu mencoba sekali lagi, kali ini membawa serta nama Tuan Bagaskara.
"Den Ano... bangun Den. Tuan Bagas udah pulang, nungguin Aden di bawah."
Mata Geano langsung terbuka lebar dan bangkit terduduk, begitu mendengar bokap dakjalnya di sebut.
"Papih ada di bawah bi?" Tanya Ano memastikan, barangkali telinganya salah dengar.
"Iya Den..." Jawab si bibi.
"Mampus..." Geano langsung turun dari tempat tidur, dan bergegas ke kamar mandi.
Sementara si bibi pergi dari sana setelah yakin Tuan mudanya bangun.
Hanya beberapa menit saja Geano sudah selesai melakukan ritual mandi celupnya. Kaos abu abu berlengan panjang dengan celana jeans menjadi pilihannya. Lalu segera turun untuk menemui bokapnya.
Di bawah sana, Bagaskara beserta para bodyguard-nya sedang menatap kearah tangga, dimana tempatnya berdiri saat ini. Raut wajah Bagaskara selalu tidak bersahabat, maka dari itu Geano memberikan julukan pria itu dengan sebutan bokap dakjal.
Geano memang tinggal satu rumah dengan Bagaskara, tapi jarang sekali bertemu. Pria itu terlalu sibuk mengurus bisnis yang tersebar di beberapa kota di Indonesia, bahkan terkadang sampai berminggu-minggu tidak pulang. Padahal Bokapnya itu pemilik perusahaan, tapi jam kerjanya melebihi kerja rodi yang tak kenal waktu.
Geano menghembuskan nafasnya sebelum memasuki ruang keluarga, tempat dimana Bagaskara menunggu.
"Pih" sapa Ano seraya mendudukkan dirinya di sofa sebrang, berhadapan dengan Bagaskara.
"Hem..." Bagaskara mengangguk, " gimana kuliah kamu?" Tanya Bagaskara langsung.
"Baik Pih" jawab Ano singkat, tidak mau si bokap bertanya panjang kali lebar.
"Gimana kamu sama Lula?"
"Baik baik aja Pih, aku udah minta maaf sama dia kemarin. Kita udah balikan"
Bagaskara hanya menganggukkan kepala, tidak jadi marah, karena putranya menurut dengan perintahnya.
Kemudian Bagaskara kembali berucap "kamu jaga dia, jangan sampai di miliki orang lain. Papih akan siapkan pernikahan untuk kalian dalam waktu dekat."
Bagaskara bangkit sambil merapikan jasnya.
"Ta- tapi Pih..."
"Papih tidak mau mendengar penolakan apapun dari mulut kamu. Kamu satu satunya anak papih, dan Lula adalah calon pendamping yang pas buat kamu." Perintahnya mutlak.
Geano terdiam menahan kesal, tanpa bisa membantah. Manik hitamnya terus menatap punggung Bagaskara yang mulai bergerak menjauh, bersamaan para kacung yang mengekor di belakangnya.
"Emang bokap dakjal!!!" Umpatnya setelah pria yang di sebut itu menghilang.
Kalau ia tidak menurut dengan perintah Bagaskara, maka namanya akan di hapus dari hak waris, dan menjadi gelandangan.
Tidak bisa.
***
"Ayriiiin!!!" Kanaya berseru sambil menubruk sahabatnya ketika pintu di buka. Membuat wanita bertubuh tinggi dan langsing itu terhuyung ke belakang.
"ehhh ehhh, santai Bu..." kata Ayrin, tapi tak berusaha melepaskan.
"kangen banget tau ay, lama gak ketemu..."
"Tapi, gue gak bisa napas Nay..." Cicit Ayrin dengan wajah berpura-pura sesak napas.
"OPS, sengaja..." Kanaya terkikik sambil melepas pelukannya.
"Sialan Lo!!" Ayrin ikut tertawa, dan menarik tubuh Kanaya untuk di peluk.
"Lo kesini sama siapa?" Ayrin bertanya setelah melepas pelukannya.
"Sama..." Kanaya menoleh ke belakang, bersamaan Anindhita dan Thita yang muncul dari balik pintu, sedang berjalan ke arahnya.
"Tuh" tunjuknya. Ayrin lantas mengikuti arah pandang Kanaya, dan sosok yang membuat Ayrin terpukau adalah gadis cantik dengan style sedikit tomboi. Anindhita.
"Anak Tante!!!" Seru Ayrin, ia berjalan mendekat sambil merentangkan kedua tangannya lebar, dan langsung memeluk Anindhita yang masih sibuk dengan ponselnya itu.
Gadis itu pun kaget karena tiba-tiba saja tubuhnya di peluk. Namun hanya bisa diam, mau berontak tapi gak sopan.
"Kamu cantik banget sayang. Mirip sama Tante" puji Ayrin sambil menangkup kedua pipi Anindhita.
"Liat deh, mata sama hidungnya mirip gue kan Nay?" Ayrin menyentuh hidung dan mata Anindhita seolah menunjukan kemiripannya pada Kanaya.
"Iya mirip..."
Kanaya mengangguk sambil menahan senyum, bukan dengan Ayrin. Tapi karena melihat wajah putrinya yang kebingungan menghadapi kelakuan Ayrin.
"Bun..." Ucap Anindhita tanpa suara, ia memasang wajah sedihnya seolah meminta pertolongan.
"Gak apa apa" balas Kanaya juga tanpa suara.
Ia memaklumi tingkah Ayrin, sahabatnya itu memang ingin sekali memiliki anak perempuan, tapi belum di kasih. Atau lebih tepatnya belum mendapat momongan, karena rahimnya bermasalah akibat insiden penculikan dulu.
"Ada apa sih sayang, rame banget?" Suara Edo mengudara, mengalihkan perhatian keempat wanita itu.
"Eh ada Kanaya? dateng kapan? Kok gak masuk sih?" Edo menyapa dengan serentetan pertanyaan.
"Ini di tahan sama istri kamu." Jawab Kanaya sekenanya.
"Iya" Ayrin terkikik. "Abis aku seneng banget yank, anak aku mau ikut kesini. Biasanya susah banget di temuin." Ayrin kembali merangkul Anindhita, membuat wajah gadis itu pucat pasi.
"Iya yank, aku juga seneng." Jawab Edo, lalu melirik ke arah Anindhita sambil berkata. "Yang sabar ya Tha..." Kata Edo sambil menahan senyum. Dan Anindhita hanya bisa pasrah dengan tersenyum kecut.
"Gak apa apa om, aku juga seneng bisa ketemu Tante Ayrin."
Edo bisa menebak jika Anindhita tidak nyaman, tapi ia tak bisa berbuat banyak, karena tak tega jika menegur sang istri yang terlihat sangat bahagia dengan kehadiran Anindhita.
"Ayo Nay masuk, ngobrolnya di dalem aja..." Ajak Edo sambil merangkul Ayrin, dan Anindhita ikut terseret karena Ayrin tak melonggarkan sedikitpun rangkulan-nya.
Kanaya dan Thita pun menyusul di belakang.
"Itu apaan Nay?" Tanya Ayrin begitu mereka duduk di sofa, ruang keluarga.
"Kue buat kamu, aku bikin sendiri loh, cobain deh..." Kanaya membuka kotak yang di bawanya. Hingga memperlihatkan keseluruhan isinya. Red Velvet cake dengan taburan crusty cashew nut yang melapisi bagian luarnya, benar-benar menggoda.
"Di jamin enak gak nih? Gak kaya kemarin kemarin kan rasanya?" Ayrin sengaja menggoda Kanaya, karena waktu itu ia menjadi bahan percobaan untuk mencicipi hasil cake buatan Kanaya yang masih gagal.
"Enak dong, tanya aja sama Dhita. Iya kan sayang." Kanaya menoleh ke arah Dhita. Dan gadis yang di sebut namanya hanya mengangguk sebagai jawaban.
Tanpa menunggu lama, Ayrin langsung memanggil bibi pelayan untuk membawakan minuman dan pisau untuk memotong cake tersebut.
Melihat kesempatan di saat Ayrin sedang sibuk dengan cake dan perbincangan ngalor ngidul bersama bundanya, Anindhita pun berpamitan untuk ke toilet.
Tapi alih alih ke toilet, Anindhita justru malah keluar ke teras depan. Ia butuh udara segar dan ketenangan dari Tante Ayrin, sembari mencoba menghubungi abangnya, Adelion.
Sambil menunggu panggilan tersambung, Anindhita bersandar di bawah pohon yang berada tidak jauh dari pagar rumah Ayrin.
Namun tiba tiba saja dua orang pria datang menghampiri Anindhita, dan tanpa aba aba merampas ponselnya. Bukannya berteriak, Anindhita justru mengejar dan melawan pria itu dengan kemampuan beladiri-nya. Namun sayang, sekuat apapun melawan tetap saja tenaga Anindhita tak sebanding dengan dua pria tersebut. Hingga beberapa pukulan mendarat di tubuh dan wajah Anindhita.
"Banci!!!"
🍁🍁🍁
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments
TriAileen
ad novel sebelumnya gak? yg nyeritaan kanaya
2021-09-05
1
Imoest Yaya
hm, oby sibuk banget kayaknya sampe upnya lamaaaaa banget tp tetap semangat ya..
2021-08-23
1
Irata
akhirnya bisa komen n ngevote
2021-08-23
1